Voice vs Noise dalam Petisi Civitas Academica

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
5 Februari 2024 14:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Civitas Academica dan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Ciputat membacakan Seruan Ciputat saat Deklarasi Alumni dan Civitas Academica UIN Syarief Hidayatullah Jakarta atas penyelenggaraan pemerintahan dan Pemilu 2024, Senin (5/2/2024). Foto: Muhammad Iqbal/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Civitas Academica dan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Ciputat membacakan Seruan Ciputat saat Deklarasi Alumni dan Civitas Academica UIN Syarief Hidayatullah Jakarta atas penyelenggaraan pemerintahan dan Pemilu 2024, Senin (5/2/2024). Foto: Muhammad Iqbal/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam satu minggu terkahir kita di gegerkan dengan beberapa petisi terkait dengan kemunduran demokrasi pemerintah, di mana petisi yang digaungkan oleh civitas academica menjadi spotlight dalam perbincangan publik baik di kedai-kedai kopi ataupun media sosial. Dimulai dari
ADVERTISEMENT
petisi Universitas Gajah Mada (UGM) yang disebut dengan Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1). Lewat petisi itu, mereka mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap telah keluar jalur. Kemudian, Universitas Islam Indonesia (UII) mengkritik kondisi pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap menyalahgunakan wewenang jelang pemilu, Kamis (1/2).
Dilanjutkan Universitas Indonesia dengan menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dijalankan tanpa intimidasi, tanpa ketakutan, berlangsung secara jujur dan adil pada Sabtu (3/2). Selanjutnya Seruan Padjadjaran yang melihat serta meninjau banyaknya pelanggaran etika dan cedera nilai demokrasi menyambut pesta politik tahun ini pada Sabtu (3/2).
Terakhir Petisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di mana mereka menilai, eskalasi pelanggaran konstitusi dan hilangnya etika bernegara seperti tiada henti. Mulai dari KPK yang dikebiri, pejabat yang doyan korupsi, DPR yang tak berfungsi membela anak negeri dan sebagian hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak punya etika dan harga diri pada Sabtu (3/2).
ADVERTISEMENT
Gerakan awal yang dipelopori oleh Civitas Academica terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, mencapai puncak pada tanggal 21 Mei 1998. Hal ini dimulai sebagai respons terhadap Krisis ekonomi tahun 1997 yang kemudian meluas ke isu politik, memantik hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam aksi yang digelar mahasiswa UI pada Maret 19
98, beberapa Guru Besar, bahkan mantan Rektor UI, Profesor Mahar Mardjono, turut berpartisipasi dengan mahasiswa. Pada tanggal 5 dan 11 Februari 1998, mahasiswa UGM berhasil menghadirkan hingga 30.000 orang mahasiswa se-Yogyakarta dalam aksi protes, di mana turut hadir mantan Rektor UGM, Profesor Dr. Teuku Jacob, mantan Rektor UNS Profesor Dr. Koento Wibisono, serta sejumlah dosen terkemuka seperti Dr. Amien Rais, Dr. Riswanda Imawan, dan Dr. Afan Gaffar.
ADVERTISEMENT
Ada perbedaan penyebab antara kondisi pada reformasi tahun 1998 dengan fenomena tahun 2024. Pada tahun 1998, gerakan Civitas Academica dipicu oleh krisis ekonomi, sedangkan pada tahun 2024, pemantik gerakan ini adalah Krisis etika dan moral yang merusak kepercayaan pada pemerintah, khususnya melalui pelanggaran nilai-nilai konstitusi dan demokrasi dalam Pemilu 2024.
Dengan munculnya para guru besar yang merasa terpanggil untuk memberikan teguran keras terhadap pemerintah. Bukan tanpa sebab para Guru besar dan civitas academica mengeluarkan petisi tersebut, inilah bentuk dari tri dharma perguruan tinggi terkait pengabdian ke masyarakat.
Dalam hal ini bentuk pengabdian dengan mengingatkan pemerintah terkait dengan penyimpangan tersebut sehingga, kembalinya marwah Pemerintah di mata rakyat dan serta menghalau isu delegitimasi pemerintah terkait manuver Presiden dan Pejabatnya dalam Perhelatan Demokrasi yang akan berlangsung di tanggal 14 Februari nanti.
ADVERTISEMENT
Pihak Pemerintah istana langsung merespons hal tersebut, melalui diskusi publik yang di fasilitasi oleh media massa. Bahkan terlontarlah ujaran dari Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyatakan Presiden Joko Widodo "menghormati hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk bagi para civitas academica yang baru-baru ini menyampaikan kritik.
Kendati demikian, Kita cermati di tahun politik, jelang pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral," kata Ari di Kompleks Kemensetneg Jumat (2/2). Muncul Juga petisi Tandingan yang digagas oleh 17 orang yang mengatasnamakan Alumni dan Akademisi Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dengan ini kami menyatakan Indonesia baik-baik saja dan sedang dalam proses demokrasi pemilihan umum yang sehat dan demokratis," kata perwakilan Universitas Indonesia (UI) Kun Nurachadijat membacakan maklumat di Jakarta, Jumat (2/2).
Kemudian ditimpali lagi oleh salah satu Anggota TKN Prabowo-Gibran Emanuel Ebenezer, "Ini saya jujur, saya menjadi prihatin dengan sikap para akademisi-akademisi, yang sebagian tahu kecenderungan partisannya kepada siapa," Prime time news yang tayang di Metro TV, pada hari Sabtu (3/2).
Dari kegaduhan di atas, dapat dianalisis dengan Teori Informasi Shannon dan Weaver dalam ilmu komunikasi, yang mempertimbangkan bagaimana informasi disampaikan, diterima, dan diproses oleh individu dalam masyarakat, terutama melalui media sosial dan komunikasi digital. Voice dan noise dalam konteks teori Shannon dan Weaver merujuk pada konsep yang penting dalam proses komunikasi:
ADVERTISEMENT
Voice (Suara): Merupakan pesan yang disampaikan secara jelas dan efektif kepada penerima. Voice adalah informasi yang diinginkan atau disampaikan dengan tujuan tertentu. Dalam konteks opini publik, voice mewakili pesan atau informasi yang sengaja disampaikan oleh individu atau kelompok untuk mempengaruhi pandangan atau sikap publik terhadap suatu isu, tokoh, atau entitas tertentu.Voice di sini adalah originalitas yang disampaikan oleh para Civitas academica dan guru besar yang melakukan petisi tersebut.
Noise (Ketidakjelasan atau Gangguan): Merupakan segala sesuatu yang mengganggu atau menghalangi transmisi atau penerimaan pesan dengan benar. Noise dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk ketidakjelasan dalam pesan itu sendiri, gangguan teknis dalam proses komunikasi, atau distraksi dari pesan-pesan lain yang bersaing.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks opini publik, noise dapat berupa informasi yang bertentangan, kontroversial, atau tidak jelas, yang dapat membingungkan atau mengurangi efektivitas pesan yang ingin disampaikan. Sedangkan noise adalah sanggahan, pernyataan yang dimaksudkan untung membuat bias Petisi tersebut. Baik yang dilontarkan oleh Pemerintah melalui Staff Kantor Kepresidenan, Petisi tandingan dari 17 alumni serta salah satu anggota TKN Paslon 02.
• Tujuan (destination) Dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah terkait penurunan nilai etika dan moral yang mengancam demokrasi.
• Penerima (receiver) Penerima pesan dalam hal ini adalah seluruh masyarakat Indonesia
Voice (suara) dalam konteks ini merujuk pada pesan yang disampaikan secara jelas dan efektif oleh para penggagas petisi, sementara noise (gangguan) adalah segala sesuatu yang mengganggu atau mengurangi efektivitas pesan tersebut, seperti sanggahan atau pernyataan yang dimaksudkan untuk membuat bias. Jangan sampai karena Noise yang digaungkan pemerintah menjadi pemantik deligitimasi pemerintah seperti reformasi tahun 1998. Bukan krisis ekonomi yang menjadi pemantik melainkan krisis kepercayaan yang menjadi puncak gunung es yang mencair dan menghancurkan semua yang sudah dibangun sejak titik nadir tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Publik harus dapat menilai dalam kegaduhan ini dan dapat memilah originalitas pesan yang disampaikan dengan memahami isi dari petisi tersebut. Fokus pada platform-platform yang paling relevan dan hindari menyebarkan pesan di saluran yang terlalu ramai atau terlalu dipenuhi dengan informasi yang bersaing. klarifikasi, mengoreksi informasi yang salah. Menggunakan sumber informasi yang tepercaya dan didukung oleh bukti yang kuat dan disampaikan oleh ahli di bidangnya.