Kampanye & Keberpihakan Kampus

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
29 Juli 2022 9:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampanye dan Keberpihakan Kampus. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye dan Keberpihakan Kampus. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tanggal 14 Februari 2024 pemerintah akan melakukan prosesi pemungutan suara. Masyarakat yang telah ditetapkan sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya. Memilih presiden dan wakilnya serta anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
Kita semua berharap, keterpilihan itu memang karena pemilih yakin sosok yang dipilih bisa membawa bangsa ini lebih baik. Persis seperti janji-janji yang dinarasikan saat kampanye.
Meskipun tahapan pemilu itu lumayan banyak dan panjang, tapi biasanya yang ‘dirayakan’ dan menjadi top of mind hanya 3: kampanye, pemungutan suara, penetapan hasil. Jika dikerucut lagi, puncak hingar-bingarnya ada pada sesi kampanye. Masa dimana masyarakat kadang berkesempatan menjadi raja. Kaos diberikan, transportasi ditanggung, makan siang disajikan, serta berbagai service selalu berdatangan.
Masa kampanye memang menjadi momentum yang harus dimanfaatkan oleh para kandidat. Para kandidat tidak sendiri, bersama sang ahli, mulai dari strategi politik, komunikasi, dan lain sebagainya berjibaku untuk meyakinkan pemilih. Bahkan tidak sedikit yang mencoba berkampanye di luar jadwal. Mencuri start sampai bergerilya di masa tenang. Bahkan ada juga di hari pencoblosan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memastikan transaksi pemilih dengan kandidat itu memberi hasil. Meraup suara.
ADVERTISEMENT
Barangkali karena begitu urgen sisi kampanye ini sehingga muncul wacana untuk menghadirkan kampanye di kampus. Wacana yang sebenarnya tidak perlu untuk dibahas lagi. Konsep kampus dengan kemerdekaan mimbar akademiknya itu sudah final. Kampus tentunya harus mampu berperan sebagai masyarakat akademis yang kuat dengan daya nalar dan intelektualitas.
Memang benar bahwa kampus tidak hanya memiliki jumlah suara yang banyak, namun suaranya juga potensial. Suara potensial ini memiliki implikasi luas, termasuk potensi untuk mendapatkan suara-suara lainnya. Saat ini jumlah mahasiswa di Indonesia tercatat lebih dari 8 juta orang. Kampanye di kampus akan sarat dengan tantangan konsep dan prosesnya akan impactfull.
Selain mahasiswa, warga kampus lainnya juga cukup menarik. Mulai dari dosen, tenaga kependidikan, bahkan sampai pekerja atau mitra pendukung lainnya. Sehingga tidak hanya secara angkanya yang cukup menggiurkan. Tapi potensi keberpihakannya bisa terpetakan.
ADVERTISEMENT
Nah, peta keberpihakan inilah yang bisa menyebabkan kampus nantinya terjebak pada langkah-langkah politik praktis. Pertama, praktik kampanye kita masih berorientasi mengumpulkan massa. Massa itu kemudian selalu diklaim sebagai pendukungnya. Banyak massa yang hadir, banyaklah pendukungnya. Menyeretkan mahasiswa untuk bermain peran sebagai massa pendukung tentu sama dengan menguburkan idealismenya.
Sejatinya kampus adalah ladang bagi mahasiswa untuk menyuburkan nalar kritisnya. Selain ditopang dengan berbagai asupan ilmiah, posisi mahasiswa memang sedang disiapkan sebagai pribadi berintegritas tinggi. Tidak memihak, kecuali pada kebenaran.
Menghadirkan kampanye di kampus dengan peserta kampanye yang tidak bisa dilepaskan atribut politik praktisnya. Dimana ujung harapannya adalah keberpihakan. Ini artinya sama saja kita sedang membenturkan posisi mahasiswa yang seharusnya menjaga netralitas itu.
ADVERTISEMENT
Kedua, polarisasi sosial sebagai residu pentas politik lalu masih belum hilang sampai saat ini. Tanpa menghadirkan seremonial kampanye di kampus saja, tidak sedikit kampus yang merasakan efeknya. Apalagi jika kampanye diadakan di kampus. Mungkinkah kandidat yang hadir itu siap untuk tidak ‘tipis telinga’? Jika siap, pendukung fanatiknya belum tentu.
Kondisi demikian, bukan hanya akan menghitamkan polarisasi yang telah terjadi. Kelak, para kandidat yang bertarung hanya akan memandang kampus sebagai basis ‘kawan’ atau ‘lawan’ semata.
Andai pun ada yang mengusulkan dengan mengambil jalan tengah, dimana boleh saja kampus dijadikan tempat kampanye tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya tanpa atribut atau dengan mekanisme yang menyesuaikan kondisi. Usulan kampanye bersyarat ini justru secara tidak langsung menjadi bukti. Bukti bahwa kampus bukan tempat yang tepat untuk berkampanye.
ADVERTISEMENT
Apalagi wacana kampanye masuk kampus itu tanpa konsep akademik dan intelektualitas, tentu harus ditolak segera. Karena kampanye sekedar pengumpulan massa tanpa diskursus berbobot itu kontra produktif terhadap esensi pendidikan politik bermartabat. Tidak hanya di kampus, termasuk di pesantren dan sekolah-sekolah setingkat SLTA. Dimana pemilih pemulanya dominan.
Praktik kampanye kacau yang terlalu berorientasi massa harus dihindari. Begitu juga kampanye tersembunyi tidak boleh ada. Kebiasaan lembaga pendidikan yang mengusung keterbukaan, nalar, dan etika akademik jangan sampai terkotori oleh hawa nafsu pemenangan politik sesaat. Ini bukanlah cita-cita negara.
Mari kita sambut pentas politik 2024 dengan penuh kesantunan, mengedepankan nuansa persatuan, dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi/keluarga/partai/golongan.
Saat ini, biarkanlah kampus dan satuan pendidikan lainnya berjibaku untuk menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa. Calon-calon pemimpin yang kelak ketika berkuasa tidak lupa dengan janji-janji manisnya saat kampanye.
ADVERTISEMENT
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)