Lagi, Budaya Membaca

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 10:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Budaya Membaca Harus Diperkuat Sejak Dini. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Budaya Membaca Harus Diperkuat Sejak Dini. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
Senin lalu (5/12), saya merasa beruntung karena berkesempatan hadir pada acara peluncuran buku Prof. Jimly Asshiddiqie. Acara peluncuran buku ini tidak hanya menggenapkan capaian jumlah buku yang berhasil ditulisnya, yakni menjadi 75 buku. Namun ahli hukum yang sekarang diamanahkan menjadi senator di DPD RI ini juga sekaligus meresmikan Jimly Books Corner di beberapa perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Di tengah kegaduhan politik yang seakan hanya tersandera pada tujuan tampuk kekuasaan, Prof Jimly sepertinya ingin menyadarkan kita untuk kembali menghidupkan budaya membaca dan menulis yang telah memudar. Ditambah dengan keramaian media sosial yang seakan memaksa netizen untuk terus ‘menunduk’ dan lupa akan perjalanan waktu. Kita semakin disibukkan dengan mengejar jumlah follower atau subscriber dan menikmati sensasi-sensasi dari konten viral — meskipun diantaranya unfaedah.
Tentu, bukan menafikan kemajuan teknologi. Teknologi sangat memiliki peran penting bagi perjalanan bangsa ini untuk maju. Kita harus menguasai dan menjadikannya sebagai akselerator percepatan pembangunan bangsa. Hanya saja, ketidakmampuan dalam mengelola hadirnya kemajuan teknologi juga harus diwaspadai. Alih-alih berharap melangkah maju, malah kita semakin melaju ketertinggalannya. Jangan sampai justru kita menjadi budak teknologi itu.
ADVERTISEMENT
Temuan dari survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dilaksanakan pada awal 2022 lalu telah mengungkapkan media sosial menjadi konten teratas yang diakses masyarakat Indonesia. Tidak hanya konten, waktu akses pun sungguh sangat fantastis. Publikasi We Are Social pada Juli lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan durasi penggunaan media sosial per hari yang tertinggi, yakni 3 jam 16 menit. Di atas rata-rata global yang ‘hanya’ 2 jam 29 menit per hari. Bahkan, bila dilihat secara khusus di perkotaan, bisa jadi durasi bermedia sosial itu lebih panjang lagi.
Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, kita pun beralibi bahwa ini adalah era dimana aktivitas literasi seperti membaca dan menulis itu semakin mudah. Melalui berbagai platform yang ada, membaca dan menulis kini bisa dimana saja. Sayangnya, kondisi nyata semakin menunjukkan bahwa budaya membaca dan menulis ini semakin rapuh. Daya baca tidak mendalam, daya menulis hanya berupa pesan-pesan pendek.
ADVERTISEMENT
Kultur membaca dan menulis tidak terbangun. Inilah yang disebut oleh Cak Nur (Alm Prof. Nurcholis Madjid) di awal reformasi bahwa Indonesia adalah "oral society" bukan "writing society".
Tidak salah, jika Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) yang diantaranya memetakan kapasitas membaca siswa itu masih jauh dari harapan. Pemerintah saat ini tidak hanya bergegas menjadikan skor PISA sebagai salah satu agenda pendidikannya, namun juga mulai serius memetakan jalan untuk meraih skornya yang terbaik. Biar bangga di mata dunia.
Proses evaluasi pembelajaran nasional yang saat ini dikenal dengan istilah Asesmen Nasional (AN) mulai menduplikasi tes yang berpola ala PISA. Pertanyaan selanjutnya, apakah kita mampu mendongkrak budaya itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya? Apakah ekosistem persekolahan kita sudah disiapkan menjadi "writing and reading society"? Saya masih ragu.
ADVERTISEMENT
Hasil AN yang masih menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa SD - SMP masih di bawah kompetensi minimum dan siswa SMA hanya baru mencapai kompetensi minimum. Semua itu perlu kesungguhan para guru dalam membangun budaya belajar yang terus menerus agar hasilnya bisa maksimal.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjaga pencapaian yang maksimal tersebut agar terus berkelanjutan? Pendekatan formal yang terlalu regulatif sulit menjadi fondasi yang kokoh. Kemendikbudristek jangan sekedar jadi lembaga birokrasi yang senang mengejar target-target, sementara esensi pendidikan terabaikan.
Semua pihak harus mengambil perannya agar kebiasaan ini terus berjalan secara simultan. Untuk mengoptimalisasinya, selain melakukan berbagai program seperti yang sudah ada seperti penyediaan bahan bacaan, memaksimalkan peran perpustakaan, memasifkan gerakan membaca dan menulis, mendorong tumbuhnya komunitas literasi, dan lain sebagainya, tetapi kita juga harus meminimalisir tumbuhnya perilaku-perilaku unfaedah tadi. Bangun kreativitas menulis para siswa sejak dini.
ADVERTISEMENT
Ketika berbagai perilaku yang minim gagasan yang terus menerus tersebar dan ketika gagasan minim referensi terus terjadi, akan sulit kita menumbuhkan semangat literasi yang bergairah. Ditambah lagi dengan realitas dunia yang semua orang bisa berkomentar ini plus kebenaran bukan hanya dilihat dari kuatnya nalar, tetapi lebih cenderung dimenangkan oleh mereka yang kebetulan berkuasa memanen follower.
Bahkan, tidak jarang selalu berakhir dengan debat tak berkesudahan antara follower dan haters. Semua sering terjebak dengan perang hoax. Penalaran jadi berkurang, kebencian yang justru menebal.
Sekolah dan kampus juga sudah seharusnya gelisah dalam memandang gejala ini. Agenda literasi jangan sampai terpenjara dalam ruang-ruang ritual yang sempit. Membaca bukan hanya sebatas untuk menambah daftar panjang kajian pustaka pada karya tulis semata. Menulis juga bukan hanya sebatas memperbanyak tulisan yang notabene adalah bentuk daur ulang tulisan-tulisan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ujungnya, ritual-ritual semacam ini hanya akan merobohkan bangunan-bangunan akademik. Para pendidik dituntut untuk menjadi model pembelajar.
Sebagai kaum akademik, membaca dan menulis itu haruslah dipandang sebagai hak. Sebagaimana hak kita untuk hidup dengan sehat. Untuk meraih hidup sehat, kita akan melakukan berbagai cara dan berbagai alasan agar sehat itu bisa diraih.
Sebaliknya, jika membaca dan menulis itu hanya dipandang sebagai kewajiban. Dapat dipastikan, ketika tujuannya tercapai — kepangkatan dicapai, tunjangan dibayar– kewajiban pun berkemungkinan akan hilang. Semua terjebak oleh tujuan-tujuan materi, bukan esensi.
Nah, ketika dunia akademik dengan sekolah dan perguruan tinggi saja salah kaprah dalam memandang aktivitas ini. Bagaimana dengan masyarakat pada umumnya? Sulit "writing and reading society" akan terbentuk.
ADVERTISEMENT
Padahal membaca - menulis itu sendiri adalah agenda keabadian. Tidak ada waktu pensiunnya, kecuali kematian.