Persoalan Gaya Hidup

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2022 16:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat Bedah Buku Refleksi Pemikiran Islam Mohammad Natsir Arsitek NKRI. Foto. Dok UAI
zoom-in-whitePerbesar
Saat Bedah Buku Refleksi Pemikiran Islam Mohammad Natsir Arsitek NKRI. Foto. Dok UAI
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi di hadapan seluruh jajaran pimpinan Polri dan para tamu menegaskan "hati-hati dengan gaya hidup". Sebenarnya pernyataan ini berlaku untuk semua orang. Baik itu pejabat teras pemerintahan, pegawai biasa, para direktur BUMN, perusahaan swasta, pimpinan perguruan tinggi, dan seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Semuanya harus memahami anjuran Presiden Jokowi tentang gaya hidup ini.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup adalah tampilan luar seseorang yang kasat mata. Bisa berupa pakaian dan aksesorisnya, bisa juga perilakunya. Secara umum gaya dan perilaku itu saling berkaitan. Mereka yang berperilaku sombong, biasanya perlente.
Dalam situasi saat ini dimana Indonesia (dan bahkan dunia) masih dalam masa transisi untuk bangkit kembali. Kita baru saja selesai dengan terpaan pandemi covid19 yang tidak mudah. Dana pembangunan dialokasikan ke upaya penanggulangan covid19.
Banyak usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) gulung tikar. Efeknya tidak lain adalah PHK, kemiskinan, pengangguran. Situasi yang cukup memprihatinkan. Bayangkan, bila dalam situasi begini, ada orang-orang pamer kekayaan. Yang muncul adalah kecemburuan sosial, bukan keprihatinan sosial. Tentu tidak kondusif terhadap kerukunan warga.
Yang melandasi gaya hidup adalah sifat dasar yang ada di dalam manusia itu sendiri, yakni ego. Keinginan untuk selalu dilihat atau bahkan dipuji orang membuat seseorang bergaya hidup mewah. Kebutuhan egonya merasa terpenuhi bila ada orang yang memperhatikan, dan bahkan memujinya. Walaupun secara diam-diam banyak juga yang menayangkannya, mencemooh atau merasa "sebel".
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, perilaku hedonis dan gaya hidup mewah itu tidak kondusif bagi suasana damai dan kerukunan sosial. Dengan adanya aparat atau siapapun yang bergaya hidup mewah cenderung membuat segregasi sosial. Hal ini tidak bagus untuk membangun kebersamaan. Itulah sebabnya Presiden Jokowi berkali-kali mengingatkan "hati-hati dengan gaya hidup mewah".
Gaya hidup mewah bukan saja terjadi pada orang atau kelompok orang, juga pada tampilan tampak luar fasilitas. Masih ada gedung-gedung mewah dan mentereng tetapi di dalamnya kurang memperhatikan aspek kesehatan dan estetika. Misalnya fasilitas WC kurang memadai, kurang nyaman, dan bau. Tentu keadaan ini akan menurunkan citra kesungguhan pemilik atau pengelola gedung tentang fungsionalitasnya.
Umumnya memang masyarakat kita tertarik pada tampilan luar. Bahwa di dalamnya kurang terurus, hampir tidak peduli. Gedung-gedung mewah yang tampilan luarnya "wah" sering terjadi di pemerintahan. Banyak sekali gedung-gedung mentereng milik pemerintahan dari pusat ke daerah. Umumnya pandai sekali membangun, tetapi kurang biasa memelihara.
ADVERTISEMENT
itu juga soal gaya hidup mewah. Hati-hati, demikian kata Presiden Jokowi.