Penetrasi Agama Terhadap Sains

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
26 September 2022 6:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Agama dan Sains. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Agama dan Sains. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah agama punya peran dalam membangun dan memajukan sains? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, dan bisa tergantung. Memang tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Karena memang agama berkaitan dengan spiritualitas dan masuk ke wilayah gaib. Cenderung intangible. Tujuannya menjadikan manusia lebih tenang, berbudi luhur, dan masyarakat jadi rukun. Sejatinya demikian.
ADVERTISEMENT
Tentu untuk menuju ke harapan-harapan itu, agama perlu alat atau metode. Di dalam hal ini, sains sangat berperan. Ketenangan pribadi dan kerukunan masyarakat salah satunya memerlukan ilmu kesehatan, termasuk kesehatan masyarakat. Dan untuk itu, ilmu-ilmu dasar khususnya biologi dan kimia menjadi sangat penting. Begitu juga ilmu turunannya yang semakin saling kait mengait. Misalnya biokimia, epigenetik, biofisika, dan banyak lagi sain transdisiplin.
Dengan alasan sederhana itu, sebenarnya agama dan sains tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung dalam kehidupan manusia. Pas sekali apa yang dikatakan Einstein bahwa ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan pincang. Bila pernyataan ini dilanjutkan berarti seseorang bila tidak beragama dan tidak berilmu, berarti pincang dan buta. Pengertian seseorang ini juga bisa berarti masyarakat. Karena masyarakat adalah kumpulan orang-orang.
ADVERTISEMENT
Adalah wajar bila banyak filosof dan ilmuwan Islam yang memberikan sumbangan perkembangan sains dan peradaban abad 7 sampai abad 13. Al Khawarizmi adalah ilmuwan muslim yang meletakan dasar-dasar aljabar dan algoritma. Keduanya sangat berperan dalam perkembangan teknologi informasi. Juga Ibnu Sina yang sangat terkenal di dunia kesehatan dengan nama Avecena, ialah saintis muslim yang meletakan dasar-dasar ilmu kesehatan.
Begitu juga dalam ilmu kebumian dan geografi banyak ilmuwan muslim yang telah melakukan pembuatan peta dunia. Christopher Columbus yang dikenal sebagai penemu benua Amerika (1492) mempelajari geografi hasil karya ilmuwan muslim seperti Al-Masudi (871-957), Al-idrisi (1100-1165), Ibn Batuta (1304-1369), Ibn Khaldun (1332-1406), dan banyak lagi.
Masa keemasan Islam itu berkembang dengan baik di masa itu karena penguasaannya terhadap sains. Hal ini tentunya karena kemampuan untuk selalu belajar, keterbukaan, dan toleransi yang tinggi dari masyarakat dan pemimpin Islam. Setelah itu, memang terjadi keredupan sumbangsih ilmuwan muslim terhadap perkembangan ilmu dan manfaatnya untuk rahmatan lil alamin.
ADVERTISEMENT
Salah satu indikator sumbangsih ilmuwan terhadap perkembangan sains adalah perolehan Hadiah Nobel. Model ini bisa dikatakan paling prestius sehubungan proses penelusuran, pengkajian, penilaian dan penentuan yang sangat komprehensif. Begitu seseorang memperoleh Hadiah Nobel, ilmuwan-ilmuwan lainnya mengakui dan takjub pada penerimanya. Dan penerima Nobel itu langsung jadi rujukan.
Bila dilihat dari data penerima Hadiah Nobel dan dikaitkan dengan latar belakang agama, kira-kira agama apa yang mempunyai indeks penetrasi tinggi? Dalam tulisan ini indeks penetrasi agama terhadap ilmu berkaitan dengan jumlah penduduk agama tersebut dan banyaknya saintis penerima Hadiah Nobel dari kelompok agama itu. Rumusnya menjadi persentase penerima Hadiah Nobel dari agama tertentu dibagi persentase jumlah penduduk beragama tersebut.
Dengan rumus itu kita bisa menarik kesimpulan penetrasi agama terhadap perkembangan sains. Semakin tinggi indeks penetrasi semakin tinggi peranan agama dalam perkembangan sains. Dari data yang diolah Pak Gita untuk kepentingan Youtube Endgame diperoleh informasi sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Persentase penduduk Kristen/Katolik 32,1% dan persentase penerima Hadiah Nobel beragama Kristen/Katolik 66,2%. Persentase penduduk Muslim 24,5% dan persentase penerima Hadiah Nobel beragama Islam 0,5%. Persentase penduduk beragama Hindu 15% dan persentase penerima Hadiah Nobel beragama Hindu 0,6%. Persentase penduduk beragama Budha 5% dan belum ada penerima hadiah Nobel. Persentase penduduk beragama Yahudi 0,18% dan persentase penerima Hadiah Nobel 23,3%.
Dari data itu indeks penetrasi masing-masing agama terhadap kemajuan sains sebagai berikut, Kristen/Katolik 2,06; Islam 0,02, Hindu 0,04, Budha 0 dan Yahudi 129,44. Agama Yahudi mempunyai nilai penetrasi tertinggi disusul oleh Kristen/Katolik, Hindu, Islam dan Budha. Penduduk Yahudi yang tidak banyak ternyata menyumbangkan penerimaan Hadiah Nobel yang sangat banyak. Penetrasi agama Yahudi sekitar 6.472 kali lipat agama Islam.
ADVERTISEMENT
Islam yang diakui pernah banyak sumbangsihnya terhadap peradaban sains di abad 7 sampai dengan 13 itu terjadi penurunan drastis di abad kontemporer ini. Terlepas setuju atau tidak terhadap pendekatan Hadiah Nobel ini, saya pikir negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, perlu mencari upaya baru agar tidak semakin tertinggal.
Semua ini akan berkaitan langsung dengan pendidikan, ekosistem dan budaya riset di negara tersebut. Sampai saat ini baru ada tiga orang ilmuwan Muslim yang mendapat Hadiah Nobel, yaitu Dr. Abdus Salam dari Pakistan untuk Fisika (1979), Dr. Ahmed Zewali dari Mesir untuk Kimia (1999) dan Dr. Aziz Sancar dari Turki untuk Kimia (2015). Adapun jumlah penerima Hadiah Nobel dari kaum Yahudi ada 147 ilmuwan. Padahal jumlah penduduk Yahudi hanya sekitar 20 juta atau 0,18% saja.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia sudah waktunya berpikir keras agar bisa menjadi leader dalam peradaban sains. Bila kita ingin menyeimbangi sumbangsih agama Yahudi diperlukan upaya ekstra keras. Pendidikan nasional harus benar-benar dibenahi secara total, komprehensif, menyeluruh mulai dari tingkat PAUD sampai Dikti. Walaupun pada ujungnya peranan pendidikan tinggi sangat penting dalam pengembangan keilmuan ini, tetap karakter dasar SDMnya harus dibenahi dan disiapkan sejak usia dini.
Selain itu, negara ini harus menjadikan pendidikan sebagai platform pembangunan. Pemanfaatan dana 20% APBN untuk pendidikan ini harus benar-benar dialokasikan untuk dunia pendidikan. Termasuk di dalamnya fasilitas, dukungan regulasi, gaji dan tunjangan SDM, dan atmosfir akademik dengan indikator yang jelas, misalnya jumlah paten penemuan para dosen dan peneliti.
ADVERTISEMENT
Selain itu, anggaran riset harus didongkrak mendekati 2-3% dari GDP. Perusahaan yang bergerak di dunia industri pun harus ikut memikirkan agar penetrasi ilmuwan Indonesia terhadap perkembangan sains meningkat tajam. Bila semuanya ditangani secara BAU (business as usual), sulit Indonesia akan harum dalam kancah keilmuan dunia.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)