PTN BH & Klaster Kampus Di Indonesia

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
3 September 2022 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bersama Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor UI3). Foto. Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Bersama Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor UI3). Foto. Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
Secara umum PT (Perguruan Tinggi) di Indonesia ada dua, PTN dan PTS. PTN dikategorikan berdasarkan perkembangan dan kematangannya (terutama fasilitas dan SDM) ada 3 jenis. Pertama PTN BH (berbadan hukum), kedua PTN BLU (Badan Layanan Umum), dan ketiga adalah PTN Satker (Satuan Kerja). Ketiganya mempunyai perbedaan dalam otonomi manajemen, terutama yang berkaitan dengan pendapatan.
ADVERTISEMENT
PTN BH mempunyai otonomi yang sangat luas dalam hal perolehan dan pengelolaan pendapatan. Adapun PTN BLU sedikit lebih otonom daripada PTN Satker. Keleluasaan PTN BLU dibatasi dengan kewajiban melaporkan pendapatannya kepada Kementerian (Dikbud Ristek). Adapun PTN Satker betul-betul dalam kontrol Kemendikbud Ristek.
Terlepas dari otonomi pengelolaan keuangan, ketiga jenis PTN itu masih mendapat alokasi dana APBN untuk gaji dosen dan tendik, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Dalam hal ini PTN BH dan BLU leluasa dalam memperoleh dana dari sumber lain. Seperti CSR penelitian, kerjasama-kerjasama kegiatan dengan industri dalam dan luar negeri, serta ‘income generating’ lainnya dari berbagai sumber. Termasuk sumber orang tua mahasiswa.
Salah satu hak yang diberikan kepada PTN BH dan BLU ini adalah UM atau Ujian Mandiri. Selain seleksi bersama seluruh PTN melalui jalur testing dan jalur rapor. Persoalan muncul di area UM. Walaupun konsepnya dibuat seobjektif mungkin dengan berbasis kriteria akademik dan indikator lainnya, seperti talenta kewirausahaan, kepemimpinan, dan lain-lain. UM ini tetap ada celah bagi pimpinan PTN untuk menerima calon mahasiswa melalui jual beli kursi (secara tersembunyi). Walaupun ada juga upaya UM ini dilakukan untuk afirmasi kelompok rentan yang selalu kesulitan masuk PTN. Tetapi sama sekali bukan karena iming-iming uang atau fasilitas dunia lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kejadian gratifikasi UM di Unila itu adalah berkah bagi para pengelola PT dan Kemendikbud Ristek. Dengan demikian mereka bisa membenahi secara total tentang PTN dan kaitannya dengan mutu SDM Indonesia dalam menjalankan roda pembangunan yang lebih bermakna. Termasuk apa hakikatnya ada klasifikasi PTN. Bukan sekedar pola penerimaan mahasiswa baru.
Bagi PTN, tidak ada kesulitan untuk menampung mahasiswa berapapun jumlahnya. Karena animo masuk PTN masih sangat besar. Secara umum rataan indeks seleksi nasional melalui jalur ujian ataupun rapor itu sekitar 1:10. Artinya PTN bisa menyeleksi mahasiswa secara ketat. Ketika bangku kosong ada sekitar 1.000, calonnya ada sekitar 10.000 orang.
Bahkan ada beberapa PTN yang sangat ketat, bisa jadi 1:20. Dari fakta ini sebenarnya tidak perlu lagi ada pola-pola lain dalam menjaring mahasiswa. Reasoningnya sangat lemah. Jadi, alasan untuk menutup UM sangat kuat. Kecuali untuk program afirmasi tertentu yang tetap juga unsur akademik dan kesungguhan calon untuk mencari ilmu berbobot tinggi.
ADVERTISEMENT
Lalu apa gunanya klaster PTN? Tentu masih diperlukan, tetapi harus dilihat secara holistik terpadu (integrated holistic) dengan pembangunan ekonomi, riset, pengembangan sains teknologi, serta IDUKA (industri, dunia usaha dan dunia kerja). PTN atau bahkan PT secara keseluruhan jangan dibiarkan bergerak sendiri-sendiri. Mereka harus menjadi bagian tak terpisahkan dan bahkan aktor utama dalam 'knowledge based development'. Integrasi konsep ini sudah barang tentu bisa mendapatkan income sangat besar, terutama bagi PTN BH. Dan efek signifikan terhadap ekonomi negara. Selain sumber pendapatan juga dignity PT jadi naik. Kesadaran inilah yang harus dibangun oleh para pengelola pimpinan PTN.
Apalagi, idealisme melahirkan PTN BH tidak terlepas dari semangat lahirnya reformasi, termasuk reformasi pendidikan tinggi yang pada masa lalu dikungkung oleh kekakuan birokrasi dan intervensi kekuasaan. Sehingga, jejak perjuangan ini diantaranya melahirkan UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012. Tidak heran, jika RUU Sisdiknas yang sedang ‘diperjuangkan’ oleh Kemendikbud Ristek saat ini adalah ingin mengarahkan seluruh PTN untuk bertransformasi menjadi PTN BH. Ruhnya adalah semangat reformasi pendidikan, namun tentu saja persoalannya bukan hanya melakukan upaya perubahan status semata. Ingat, perubahan status jadi PTN BH bukan keleluasaan PTN dalam melakukan UM yang sumir.
ADVERTISEMENT
Misalnya, saat ini PTN BH dan BLU yang sudah leluasa dalam pengelolaan dana berbasis IGA (income generating activity) seharusnya dapat memanfaatkan hasil-hasil risetnya masuk ke pasar DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri). Sehingga keberadaan kampus berdampak signifikan terhadap ekonomi negara. Indonesia jadi kekuatan baru dalam kancah perekonomian dunia dengan kekuatan sains, teknologi, dan inovasi. Itulah yang harus dikejar.
Untuk itu diperlukan kesatuan konsep quadruple helix antara akademisi, industri, pemerintah, dan masyarakat. PT jangan dibiarkan sendiri tanpa uluran tangan industri. Begitu juga regulasi pemerintah harus kondusif terhadap kepedulian industri yang mengoptimumkan penemuan-penemuan, inovasi dan hasil riset PT. Dengan demikian akan terjadi gairah kemajuan ekonomi dengan kekuatan internal Indonesia sendiri. Yakni SDM, SDA, dan inovasi para intelektual di kampus dan alumninya.
ADVERTISEMENT
Banyak PTN BH saat ini yang sangat mumpuni untuk membangun ekonomi nasional. Apalagi saat ini hampir semua negara mengalami krisis energi dan pangan. Jangan dianggap persoalan ini akan selesai dengan sendirinya. Kita harus berperan dalam mencari solusi saat ini dan menjadi sumber kemajuan selanjutnya. Bila kita terlena, bisa saja krisis energi dan pangan dunia itu selesai, tetapi kita tetap menjadi penonton yang terus-terusan disuapi negara lain. Ngeri.
Bila dilihat potensi sumberdaya energi dan pangan, Indonesia sangat berkelimpahan. Yang kurang adalah sumber daya manusia kompeten serta sistem industri, riset, dan PT seharus satu kesatuan. Bukan entitas terpisah-pisah dengan kepentingan masing-masing. Inilah yang menyebabkan UM di PTN subur. Semua berlomba mencari mahasiswa lewat UM. Karena itu yang paling mudah. Mereka lupa bahwa disamping PTN itu ada PTS. Tidak heran banyak PTS yang berada dalam posisi ‘mati enggan hidup tak mau’. Bisa jadi mereka adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan tinggi, selain juga ada konflik internal.
ADVERTISEMENT
Marilah kita bersama-sama merajut pembangunan ekonomi yang bermakna dan berkelas. Revisi UU Sisdiknas yang ingin mengarahkan klaster PTN bermuara pada PTN BH bisa dijadikan momentum mendeklarasikan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Merdeka seutuhnya. Tapi tentu saja harus didahului dengan berbagai syarat. Bukan sekedar orientasi finansial yang berharap income dari UM semata.
Selain itu perlu juga transparansi skema yang mengakomodir kelanjutan studi siswa yang tidak mampu, termasuk transparansi porsi UM itu sendiri. Jangan biarkan calon mahasiswa potensial terpental masuk ke jurang pengangguran dini. Atau dunia kerja yang kurang berdampak bagi ekonomi keluarga dan negara. Integritas kepemimpinan dan manajemen kampus juga harus diperkuat. Termasuk tradisi Pilrek harus bisa lepas dari intrik kepentingan politik dan kekuasan yang selama ini sering menghantui.
ADVERTISEMENT
Benahi semua itu karena semuanya saling berkaitan. Bila dibiarkan liar, persoalan pendidikan (tinggi) akan terus melilit PT yang semakin pragmatis.
Negara akan maju bila pendidikannya maju. Itu yang harus kita sadari. Semoga.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)