OTT Rektor: Menyedihkan Sekaligus Memalukan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2022 9:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto bersama anggota senat UAI. Foto: Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Foto bersama anggota senat UAI. Foto: Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sehubungan seharian Sabtu 20 Agustus 2022 ada kegiatan Wisuda di kampus UAI, handphone pun tidak saya buka hampir seharian. Akhirnya pada hari Minggu pagi, saya dikagetkan oleh telepon dari Radio Elshinta yang memohon wawancara tentang Operasi Tangka Tangan (OTT) terhadap Rektor Perguruan Tinggi di Lampung. Karena saya sama sekali belum update infonya, saya mintalah informasi tentang itu.
ADVERTISEMENT
Setelah tim Elshinta mengirimkan berita tentang tangkap tangan gratifikasi rektor tersebut, saya pun masih memastikan kebenarannya. Bagi saya tragedi ini sangat memprihatinkan, menyedihkan, dan sekaligus memalukan.
Dalam wawancara pendahuluannya, saya menegaskan bahwa meskipun peristiwa OTT ini sangat tidak kita harapkan terjadi, tetapi tetap harus diambil hikmahnya. Berapapun besar uang yang dijadikan alasan OTT itu masalah relatif. Namun gratifikasi dan/atau korupsi adalah mutlak tidak boleh ada di instansi apapun. Apalagi di lembaga pendidikan yang sebenarnya justru diharapkan melahirkan generasi-generasi anti korupsi. Kampus harus jadi komunitas jujur.
Instansi pendidikan adalah tempat membina SDM agar mempunyai karakter dasar kemanusiaan, termasuk integritas dan kejujuran. Selain tentunya lembaga pendidikan tetap memberikan materi-materi kompetensi keilmuan, teknologi, kedisiplinan, kolaborasi, berpikir kritis, inovatif, kolaboratif, dan profesionalisme. Tanpa sifat dasar jati diri kemanusiaan yang menjunjung tinggi kebenaran, keahlian baik hard skill maupun soft skill itu tetap saja akan destruktif terhadap makna pendidikan. Dan hal itu akan berdampak pada kehidupan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Orang akan sangat pandai dan profesional tetapi hanya untuk kepentingan duniawinya saja. Perusahaannya pun tidak membawa berkah. Bisa saja perusahaan itu maju, tetapi tidak peduli terhadap masyarakat sekitar dan negara. Begitu juga instansi pemerintah yang diisi oleh orang-orang pintar yang kurang mempunyai basis karakter positif kemanusiaan akan sulit selesai dari penyakit korupsi dan gratifikasi. Dengan kondisi yang demikian, pemberantasan korupsi hanya menjadi jargon semata. Di belakang, mereka bersekongkol untuk mengeruk keuntungan bagi kehidupan pribadi dan kelompoknya.
Itulah sebabnya saya katakan di Radio Elshinta bahwa ambil hikmah kejadian OTT Rektor ini. Diantaranya adalah jadikan sebagai momentum untuk melakukan pembenahan total. Apalagi kejadian ini dipicu oleh pola ujian mandiri (UM) yang dilakukan kampus tersebut. Memang saat ini, PTN diperbolehkan melakukan UM setelah mereka menjalankan pola masuk berbasis rapor dan ujian yang dikelola secara nasional terpusat.
ADVERTISEMENT
Celah UM inilah yang memungkinkan pimpinan universitas bermain mata dengan pihak calon mahasiswa. Di dalam kolom UM itu biasanya ada besar sumbangan pendidikan yang akan diberikan calon. Di sinilah celah main mata terbuka. Si calon mahasiswa tentu khawatir tidak diterima menjadi mahasiswa PTN idamannya, bila besar sumbangannya minimalis. Celah jual beli kursi melalui jalur UM ini menjadi terbuka. Jadilah komersialisasi pendidikan yang tentu sangat destruktif terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Apalagi bila ada permintaan khusus dari pimpinan universitas. Ngeri. Walaupun jumlah yang main mata ini tidak terlalu banyak, tetapi hal ini jelas merusak makna pendidikan itu sendiri. Sangat berbahaya.
Upaya main mata ini diperlukan persekongkolan yang masif. Artinya rektor tidak terlibat sendiri. Banyak tangan yang bergerak, baik dari pihak yang menerima maupun yang memberi. Barangkali ini yang harus diungkapkan KPK secara tuntas nantinya. Perilaku koruptif pada penerimaan mahasiswa baru ini biasanya akan berimplikasi pada aktivitas pengelolaan keuangan kampus yang lainnya. Mengapa? Karena perilaku koruptif itu tidak akan puas bergerak di satu titik. Terus mengendus celah-celah yang ada. Dan sifatnya menular.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masalah UM ini sendiri pun perlu ditinjau kembali. Apakah sudah waktunya UM bagi PTN ini dihapuskan saja? Bukankah PTN memang bertugas secara khusus untuk menampung para calon mahasiswa yang mempunyai talenta tetapi punya kendala biaya? Cukup banyak alokasi APBN untuk PTN. Mulai dari biaya pembangunan gedung, infrastruktur pendidikan serta pembelajaran, laboratorium dan teknologi pendukungnya, serta biaya operasional pendidikan pun dialokasikan di APBN. Sehingga seharusnya PTN fokus untuk menjaring calon mahasiswa berbasis nilai-nilai akademik dan non-akademik saja. Cukup dua basis ini yang dijadikan kriteria kelulusan. Itulah sebenarnya tugas PTN Bukan malah mengintip besaran kekayaan calon mahasiswa itu.
Lalu bagaimana calon mahasiswa yang tidak bisa ditampung di PTN? Disinilah momentum bagi pemerintah dan juga PTN untuk melakukan pengelolaan pendidikan tinggi secara berkeadilan bersama PTS. Kehadiran PTS yang jumlahnya melebihi PTN itu bukankah untuk menanggulangi mereka yang belum punya status mahasiswa?
ADVERTISEMENT
Apalagi asesmen kampus tidak melihat status negeri atau swastanya. Saat ini pun, secara umum PTS sudah mulai membaik dan tidak sedikit memiliki kinerja yang sejajar maupun melebihi beberapa PTN. Bila memang ada sisi pengelolaan dari PTS yang kurang, jalan keluarnya adalah kerjasama dan pembinaan PTS oleh PTN atau PTS Unggul. Dengan demikian secara rataan, mutu PTS akan terdongkrak naik. Dan mahasiswa tetap mendapatkan proses pembelajaran dengan standar baik. Sehingga SDM Indonesia meningkat mutunya secara sistematis.
Kembali ke soal korupsi dan gratifikasi. Apapun alasannya lembaga pendidikan harus senantiasa bersih bahkan harus menjadi teladan dalam upaya mematikan hadirnya niat dan perilaku koruptif. Ekosistem pendidikan harus dilakukan secara total untuk membangun karakter mahasiswanya yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, selain memperkuat kompetensi hard skill dan soft skill.
ADVERTISEMENT
Terakhir, apakah mungkin sistem pemilihan rektor PTN --- termasuk dekan, ketua program studi dengan masing-masing senatnya masih selalu sarat dengan berbagai kepentingan? Bahkan, mungkinkah ada jalan yang salah saat kita meraih gelar-gelar akademik itu? Sehingga secara sadar kita melupakan faktor penting yang harus dimiliki. Bukan sekedar mendapatkan gelar. Bukan sebatas meraih kursi kekuasaan.
Semoga OTT Rektor di PTN lampung itu menjadi kisah yang terakhir. Aamiin.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)