Konten dari Pengguna

Tri Dharma Berkarakter Budaya: Memperkuat Ideologi Pancasila dan Kesejahteraan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
16 September 2022 10:19 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Forum Dengar Pendapat ICMI-Kemendikbudristek tentang RUU Sisdiknas. Foto: dok @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Forum Dengar Pendapat ICMI-Kemendikbudristek tentang RUU Sisdiknas. Foto: dok @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
Peran pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, maka tujuan pendidikan berdasarkan UU Dikti No 12 Tahun 2012 dan UU Sisdiknas Tahun 2003 mendefinisikan pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya (alam dan masyarakat). Pendidikan itu membentuk manusia yang berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.
Agama, budaya dan sains menjadi sandaran yang mendasar dalam menata peradaban dunia. Sebuah negara yang memiliki peradaban yang cemerlang berkorelasi kuat dengan nilai agama, budaya, sains dan inovasi. Karya monumental yang memberikan kemaslahatan bagi rakyat merupakan perwujudan dari ilmu pengetahuan yang beradab dan inovasi. Ilmu pengetahuan merupakan sistem yang mengikat hukum-hukum kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Kuhn, 1962; 1972).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, integrasi agama dan budaya dengan sains akan membawa peradaban bangsa yang lebih humanis dan egaliter, selain kekuatan sains dan teknologi. Agama sebagai penuntun nilai dan menjaga agar produk sains digunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain sains merupakan produk kebudayaan yang sejalan dengan nilai lokal maupun nilai global. Oleh karena itu, agama, budaya dan sains merupakan bagian terintegrasi dalam pengembangan dan pelaksanaannya.
Sains bergerak secara progresif dan kumulatif pada setiap rangkaian proses interaksi dan temuan berdasarkan hukum – hukum umum dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sayangnya, pengetahuan ’modern’ seringkali menjauh dari budaya dan kearifan lokal. Seakan-akan tradisional itu bukan ilmu. Padahal bisa saja ilmu pengetahuan yang memang berbasis 'ainul yaqin' atau 'tangible' itu belum mampu menerangkan hal-hal yang gaib, 'intangible' atau 'haqul yaqin'.
ADVERTISEMENT
Seharusnya sains menghadirkan kesetaraan dan berasimilasi dengan tradisi masyarakat lokal. Tetapi tidak jarang sains dapat mendegradasi nilai agama dan tradisi budaya. Ini semakin terasa pada karakter gotong royong bangsa Indonesia yang semakin tergerus oleh paham individualisme dan pragmatisme. Kesalahpahaman menyebabkan daya pandang yang terlalu materialistik, menggerus kekayaan alam, tapi menihilkan aspek ekologi dan lingkungan.
Selain itu, bisa jadi teknologi meyumbangkan keretakan sosial budaya, bila tidak dilandasi dengan aspek agama dan budaya. Misalnya penggunaan teknologi informasi untuk produksi hoaks berbasis media sosial. Pendidikan yang eksklusif juga juga bisa membuat keeratan sosial memudar.
Dalam perjalanannya, masa transisi penemuan sains menghasilkan efek disrupsi dan ketidakpastian (uncertainty) terhadap sistem dan tatanan budaya dan sosial ekonomi. Kuhn (1962; 1972) menyebutnya sebagai tahap anomali, suatu keadaan krisis dan arah revolusi untuk menemukan kembali normal sains. Kondisi ini tidak mesti mendegradasi tatanan nilai yang melekat dalam masyarakat tetapi secara bertahap mampu menghasilkan integrasi dan tatanan baru kebudayaan yang lebih beradab.
ADVERTISEMENT
Samho dan Yasunari (2009) memaknai budi pekerti pada manusia Indonesia yaitu manusia Indonesia yang melekatkan kekuatan batin dan berkarakter. Ini merujuk kepada manusia yang memiliki pendirian yang teguh ketika berpihak pada nilai kebenaran secara sadar. Lebih jauh berkarakter tercermin pada sikap dan perbuatan serta tutur katanya terhadap sesama manusia berdasarkan nilai agama dan budaya.
Dengan demikian, budi pekerti bagian dari produk integrasi nilai agama, budaya dan ilmu pengetahuan yang melahirkan manusia Indonesia yang memiliki tutur kata, akhlak mulia, sikap dan perbuatan yang selaras dengan nilai agama, kebudayaan dan nilai kemanusian secara universal. Namun demikian, jangan sampai agama hanya sekedar simbolistik dan fanatisme buta.
Selanjutnya makna pikiran manusia Indonesia yang maju adalah kecerdasannya dapat menjauhkan dan membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam relasi sosial yang lebih kompleks. Ini artinya manusia Indonesia tidak mudah terpedaya dengan pengaruh negatif yang datang dari dalam dan luar karena mereka memiliki kecerdasan kognisi sebagai pertahanan karakter. Kekuatan ini akan menghindarkan bangsa Indonesia dari perilaku hoaks yang semakin masif dan cepat akibat teknologi informasi yang semakin canggih.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan dan kemajuan pikiran manusia Indonesia tidak berarti tidak menerima kemajuan yang datang dari luar, tetapi kemajuan disini adalah manusia Indonesia berpikir secara realitas dan mendasar untuk kepentingan keselamatan umat manusia dan alam. Sehingga manusia Indonesia mampu menerima pengetahuan yang datang dari berbagai pelosok dunia untuk perbaikan. Integrasi agama, sains, budaya dapat menghilangkan kebodohan serta arogansi intelektual.
Lebih jauh, makna kemajuan dari tatanan fisik tidak hanya berkaitan dengan jasmani tetapi juga rohani. Kesalehan individual dan sosial sehingga mampu memerdekakan dirinya dari tindakan negatif, destruktif, dan rakus.
Inilah yang mendorong Ki hajar Dewantara untuk melahirkan perguruan taman siswa untuk membebaskan manusia nusantara (saat itu) menjadi manusia merdeka dari segala jenis penjajahan fisik jasmani, rohani, pembodohan dan ekonomi. Oleh karena itu, sewajarnya saat ini ilham dari bapak pendidikan adalah perguruan tinggi sebagai institusi yang otonom melahirkan saintis memiliki rasa cinta kebangsaan dengan kekuatan sains-teknologi, menghasilkan inovasi untuk kepentingan bangsa melalui penelitian dasar dan terapan sehingga dosen sebagai insan religi akademis mampu mengabdikan dirinya untuk nusa dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Menurut Ma’arif (2009), Indonesia sebagai negara penganut agama dan ideologi Pancasila, harus mampu mentransformasikan nilai ilmu pengetahuan yang sinergi dengan nilai agama dan budaya ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Wujud yang diharapkan adalah rasa kecintaan kita terhadap bangsa dan negara harus dipupuk melalui pendidikan yang terintegrasi dengan akar agama dan nilai budaya lokal dalam pengembangan sains dan teknologi.
Fatwa Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara mampu memerdekakan dirinya secara utuh sebagai manusia Indonesia. Beliau rela melepaskan label “Raden Mas” pada dirinya dan mengganti namanya yang semula Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Pengabdiannya terhadap pendidikan sungguh menjadi ilham menuntun manusia nusantara menjadi merdeka. Terdapat 3 fatwa dalam dunia pendidikan (1) tetep, antep, mantep, (2) ngandel, kandel, kendel dan bandel dan (3) neng, ning, nung dan nang. Lalu filosofinya dalam dunia pendidikan yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Filosofi ini tidak lekang dengan waktu di berbagai arus perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Dalam Samho dan Yasunari (2009), Ki Hajar Dewantara berkehendak pendidikan harus bermakna sebagai kejernihan berpikir dan keyakinan prinsip hidup yang selaras dengan nilai sosial. Manusia Indonesia tidak mudah terombang ambing oleh hal yang dapat merusak tatanan nilai nilai sosial dan budaya. Selanjutnya makna "antep" adalah manusia Indonesia memiliki kepercayaan diri dan keteguhan hati yang ditunjukan dengan pribadi yang ulet meraih cita cita. Lebih jauh istilah "mantep" adalah pendidikan mengantarkan manusia Indonesia sebagai manusia yang merdeka menentukan tujuan hidupnya secara jelas.
"Ngandel" dalam istilah Jawa adalah orang yang memiliki pendirian yang teguh/tegak sedangkan “kendel” bermakna ksatria dan keberanian. Selanjutnya makna dari "bandel" adalah manusia indonesia yang ‘tahan ujian’. Ki hajar Dewantara merefleksikan bahwa manusia Indonesia yang berbudi pekerti, maju pikiran dan jasmaninya adalah manusia yang memiliki pendirian yang teguh terhadap kebenaran terhadap ilmu pengetahuan, berani dan ksatria menegakkan keadilan dan tahan uji, yang dibuktikan tidak mudah terpedaya hasutan (Samho dan Yasunari, 2009).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya makna ‘neng, ning, nung dan nang" adalah bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan memiliki corak religius dan berkebudayaan. Pendidikan mampu menghadirkan kebahagiaan batiniah (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung).
Ini bermakna bahwa manusia Indonesia dalam menjalankan proses pendidikan tidak mengutamakan paksaan tetapi pendidikan Indonesia harus mampu menggali karakter dan potensi manusia Indonesia melalui rasa sadar dan senang untuk mengantarkannya kepada tujuan dan cita citanya. Selanjutnya, unsur religius memiliki tempat khusus dalam pendidikan karena sangat berkaitan erat dengan kemaslahatan. Manusia Indonesia dalam mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan harus menghayati secara dalam agar kelak dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Tahapan Pengembangan Pendidikan Tinggi
Budi pekerti, pikiran dan jasmani maju nilai yang melekat dalam Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Peranannya sebagai penjaga moral yaitu manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan dan memiliki budi pekerti. Selanjutnya manusia Indonesia yang maju pikiran dan jasmaninya harus menghasilkan inovasi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu peran PT menjadi lokomotif dalam menghasilkan manusia Indonesia yang berbudi pekerti, berpikiran maju serta sehat rohani jasmani.
ADVERTISEMENT
PT dalam membangun manusia Indonesia yang utuh memerlukan pentahapan dan pemfokusan. PT yang lebih menitikberatkan pada proses pengajaran dan pembelajaran dikelompokkan sebagai PT Pengajaran (teaching university). Selanjutnya PT yang sudah memiliki budaya riset dan sarana penelitian di kelompok PT penelitian (research and discovery university). PT ini tidak hanya melakukan penelitian sebagai tugas utamanya tetapi menemukan hal baru dan inovasi baru yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia industri.
Oleh sebab itu, PT ini perlu merancang kerjasama jangka panjang dengan dunia usaha dan industri untuk mengembangkan dunia usaha. Temuan peneliti pada PT (research and discovery university) adalah produk inovasi yang dapat memiliki manfaat secara ekonomi bagi dunia usaha sehingga merangsang penyerapan tenaga kerja, lalu berdampak pada engagement economy.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya terdapat PT yang menitikberatkan pada PT wirausaha (entrepreneur university). PT yang fokus pada penciptaan wirausaha adalah PT yang sudah memiliki kemapanan dan penemuan inovasi teknologi terapan yang bermanfaat bagi masyarakat kecil untuk mengembangkan dunia usaha dari skala kecil, menengah dan besar. PT ini sudah memiliki hak paten dari hasil riset yang bisa disebarluaskan kepada masyarakat. PT ini juga memiliki unit bisnis berbasis hasil riset sebagai penghasilan utama kampus. Bobot UKT (Uang Kuliah Tunggal) sangat kecil dibandingkan dengan hasil usaha dari unit bisnisnya. Proses akreditasi pun sebaiknya diklasifikasikan atas dasar tahapan PT tersebut. Tidak bersifat generalis.
Proses pengembangan PT yang tertuang jelas Pasal 48 UU dikti 12 Tahun 2012 mengatur bagaimana kerja sama pemerintah (termasuk pemda), PT dan industri. Ketentuan tersebut adalah (1) Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja sama antara PT dengan DUDI (dunia usaha, dunia industri) serta masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat; (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (3) Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK (saat ini bersatu dalam BRIN); dan (4) Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antara Perguruan Tinggi dengan DUDI (dunia usaha dan dunia industri) dalam bidang Penelitian.
ADVERTISEMENT
Intinya UU 12/2012 cukup baik dalam mengatur PT agar mempunyai kekuatan dalam riset. Walaupun dalam operasionalisasinya masih terkendala. Termasuk pemda tidak merasa ada kewajiban memfasilitasi kampus. Industri juga masih terkendala regulasi dan birokrasi. Para dosen juga masih berkutat dengan administrasi BKD (Beban Kinerja Dosen).
Isu–isu Perguruan Tinggi Dalam Rencana Undang Undang Sisdiknas
Niat baik pemerintah untuk merevisi dan menggabungkan UU Dikti Tahun 2012, UU Sisdiknas Tahun 2003, UU Guru dan Dosen 2005 ke dalam satu undang – undang Sisdiknas perlu diapresiasi dan mendapat perhatian dari stakeholder. Namun Rancangan UU Sisdiknas ini masih memiliki banyak hal yang perlu diperbaiki termasuk menerjemahkan landasan filosofis pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Rancangan UU Sisdiknas ini juga cenderung menurunkan peran PT sebagai lembaga masa depan pembangun peradaban bangsa yang kuat dengan sains, teknologi, dan inovasi. PT sebagai sumber ilmu dan motor penggerak ekonomi masih belum terlalu nampak dalam RUU Sisdiknas 2022 ini.
ADVERTISEMENT
PT sejatinya sebagai institusi yang selayaknya menghasilkan manusia Indonesia yang bermartabat dan unggul berkekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi untuk membangun ekonomi. Dalam RUU Sisdiknas masih belum kentara. Terlihat misalnya, kata penelitian hanya 4, kata tentang pengabdian hanya 3, kata inovasi hanya berjumlah 1 kata, bahkan tidak ditemukan kewirausahaan. Padahal semuanya menjadi kata kunci di era saat ini.
Sementara UU Dikti Tahun 2012 sangat jelas mengembangkan pentahapan Universitas terutama dalam dunia penelitian dan kerjasama PT dengan dunia industri, alumni, pemerintah daerah dan masyarakat. Artinya, kerjasama "quadruple helix" ini tidak ditemukan di RUU Sisdiknas. Bila RUU itu dibuat dekade 70, mungkin masih relevan. Tapi bukan di tahun 2022. Untuk itu, bila isu-isu penting ini bisa diakomodir dalam RUU Sisdiknas 2022, ada harapan Perguruan Tinggi dapat menjadi lokomotif entrepreneurial science based development.
ADVERTISEMENT
Semoga.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)