Konten dari Pengguna

Menelaah Pendidikan Nasional

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
24 Desember 2022 18:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menelaah Pendidikan Nasional. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Menelaah Pendidikan Nasional. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
VoxPol Center menyampaikan hasil survei tentang Kinerja Pemerintah dari Perspektif Demokrasi, Hukum, Ekonomi, dan Politik Aktual. Saya tidak akan membahas hasil survei, tapi saya akan menyampaikan bahwa semua itu (demokrasi, hukum, ekonomi, dan politik) bersumber dari manusia. Kualitas manusia adalah kuncinya. Dan kualitas manusia merupakan produk dari pendidikan. Jadi, andai kita ingin agar semua hal yang ada di Indonesia itu berkualitas, benahilah pendidikan.
ADVERTISEMENT
Apakah pendidikan saat ini belum baik? Kita bisa lihat apa yang ada di permukaan. Apakah demokrasi, hukum, ekonomi, dan politik kita ini sudah baik? Selama masih ada politik uang, berarti demokrasi dan politik kita masih jauh dari sempurna. Begitu juga di ranah hukum. Selama masih ada transaksi peradilan bukan untuk mencari kebenaran, berarti hukum kita masih carut marut.
Ekonomi? Hampir sama saja. Selama masyarakat miskin dan pengangguran masih banyak, artinya ekonomi kita kurang menggembirakan. Semua itu sebenarnya sangat berkaitan dengan pendidikan.
Jadi kesimpulannya sangat jelas. Pendidikan kita masih jauh dari kata sempurna.
Demokrasi bukanlah tujuan, tetapi sekedar cara untuk mencapai tujuan. Tujuannya sendiri tentu berkaitan dengan kesejahteraan, kenyamanan, ketenangan, keamanan, kedamaian, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nah, ketika demokrasi itu tidak mengarah ke tujuan tersebut, maka perlu dibenahi ulang. Demokrasi sebagai salah satu kegiatan yang langsung berkaitan dengan masyarakat harus memberikan keteladanan. Itulah pendidikan demokrasi yang membuat masyarakat merasakan manfaatnya.
Berangkat dari premis itu, pendidikan nasional menjadi kunci utama dari berbagai pembenahan kehidupan di masyarakat. Semua partai politik dan segenap komponen bangsa harus menyadari pentingnya pendidikan ini. Janganlah pendidikan dijadikan komoditas dan/atau kepentingan kelompok partisan.
Kita tahu bahwa keduanya bersifat jangka pendek dan transaksional yang akan merusak pendidikan itu sendiri. Dampaknya sangat berbahaya bagi kelangsungan negara yang bermartabat dan berdaya saing. Bagaimanapun, politik berada pada kisaran waktu jangka pendek. Sedangkan pendidikan bersifat jangka panjang. Bila tujuan jangka panjang dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek, masa depan negara jadi suram. Akibat tujuan-tujuan yang hanya mengarah pada kepentingaan sesat. Bahkan mungkin diantaranya sesat dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Sistem Pemilihan Umum pada akhirnya memang melahirkan pasangan Presiden-Wapres terpilih. Selanjutnya melahirkan para menteri yang akan bertugas merealisasikan Visi – Misi Presiden dan wakilnya.
Hanya saja, realita yang tidak terbantahkan menunjukkan bahwa walaupun penentuan menteri itu merupakan hak prerogatif Presiden, namun pada kenyataanya pimpinan partai pengusunglah yang menentukan. Bahkan mereka seakan-akan mempunyai hak juga untuk menentukan postur kementerian dan personalia alias menterinya.
Keadaan ini tentu sangat mempersulit keadaan. Loyalitas menteri tidak sepenuhnya kepada Presiden, tetapi juga ke partai. Sehingga para menteri cenderung sangat pragmatis, kurang mengedepankan kepentingan ideologi negara. Akibatnya, Presiden terlihat sibuk bekerja, sementara menterinya sibuk urusan partai semata. Kecuali beberapa menteri yang memang loyal kepada Presiden.
Untuk ke depan, sistem presidensial dan hak prerogatif Presiden harus diberikan secara utuh. Tidak sekedar basa-basi politik. Dalam waktu yang sama, Presiden juga harus benar-benar memilih menteri sesuai dengan kapabilitas, kompetensi, kecintaan terhadap Indonesia, pengalaman kepemimpinan, wawasan keindonesiaan, serta pemahaman terhadap bidang kementeriannya. Bukan sekedar kepintaran, apalagi yang pintarnya sekedar-sekedar saja.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk kementerian pendidikan, berhubung bidang ini sangat-sangat penting, maka harus benar-benar serius dalam penentuan nahkodanya. Sekali lagi, pintar saja tidak cukup. Karena, seperti kata Nelson Mandela, kurang lebih "untuk menghancurkan sebuah negara, tidak perlu dengan senjata canggih, tapi cukup dengan menjadikan pendidikannya tidak bermutu". Dus, jangan main-main dengan pendidikan.
Untuk menjadikan manusia yang bermartabat dan berdaya saing, pendidikan harus memperkuat karakter pribadi, kecintaan terhadap Indonesia, kebiasaan kolaborasi, saling menolong, inovatif, kreatif, kompetensi keilmuan dan teknologi, bijak/hikmat (wisdom), kepemimpinan yang tidak "mencla-mencle", kemampuan jejaring, kepiawaian negosiasi dan komunikasi, kemampuan entrepreneurship, serta keluhuran budi pekerti, moralitas, spiritualitas dan etika.
Modal insani itulah yang harus disiapkan sejak dini. Bukan sekedar transfer pengetahuan, penjejalan informasi, dan hafalan.
ADVERTISEMENT
Insan yang kuat kepribadiannya, cinta negara, dan memiliki kompetensi inilah yang bisa berdiskusi sejajar dengan pihak siapapun dalam kancah internasional seperti forum-forum PBB dan WTO. Mereka sungguh-sungguh dalam berdebat di lembaga dunia. Bukan memelas, karena mereka tidak akan menjual sumber daya alam untuk kepentingan kelompok dan sesaat. Negara jadi tujuannya. Kesejahteraan masyarakat jadi cita-cita nya.
Ekonomi Indonesia akan kokoh dan berdaulat. Tidak tergantung pada kucuran impor. Tetapi justru bisa jadi eksportir dengan "fair international business". Hukum akan memberikan ruang keadilan, tidak dimatikan oleh pihak yang ‘merasa’ berkuasa.
Semua ini tercapai ketika pendidikan telah berjalan dalam khittah-nya. Tanpa pendidikan yang kuat dan berkualitas, demokrasi hanya menghabiskan waktu, dana, dan energi. Sudah saatnya menteri pendidikan jangan terjebak sebagai petugas biasa yang mengelola kementerian secara rutin business as usual. Sulit menerima masukan, padahal hidup di tengah kemajemukan gagasan dan semangat kebersamaan.
ADVERTISEMENT