Kemiskinan Multidimensional

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
2 November 2022 11:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat Menghadiri Pertemuan Di IIUM, Malaysia. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Saat Menghadiri Pertemuan Di IIUM, Malaysia. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persoalan kemiskinan menjadi selalu menjadi isu yang krusial. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga bagi seluruh negara. Persoalan kemiskinan di berbagai negara masuk ke dalam kategori penting untuk ditanggulangi. Bahkan target "zero poverty" atau tidak ada lagi kemiskinan di dunia ini menjadi salah satu tujuan utama dalam MDGs (Millennium Development Goals).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sebenarnya cukup jelas bahwa Sila ke 5 menegaskan tentang Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tersirat dan tersurat dalam sila ke-5 ini tentang tidak ada lagi disparitas sosial (termasuk ekonomi) bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya, sudah sampai dimana upaya pemerintah untuk mencapai kondisi yang diharapkan. Salah satu indikatornya adalah berkurangnya kemiskinan.
Kemiskinan sering diukur dengan kekayaan atau pendapatan seseorang terutama kepala keluarga. Indikatornya berkaitan dengan moneter. UNDP mengukur indeks kemiskinan moneter pada saat Covid19 yakni pendapatan seseorang sekitar USD 1,90 per hari (UNDP, 2022).
Adapun sebelum ada pandemi, angka itu dipatok sebesar USD 2,15. Artinya, kepala keluarga yang penghasilannya di bawah USD 1,90 USD dapat dikategorikan miskin di saat pandemi. Perubahan indikator dari USD 2,15 ke USD 1,90 menunjukkan adanya efek pandemi.
ADVERTISEMENT
Mereka yang penghasilannya diatas USD 1,90 masih dikategorikan aman. Padahal bila merujuk ke indikator sebelum pandemi orang tersebut sudah dapat dikategorikan miskin.
Kemiskinan yang Sembunyi
Kelemahan model kemiskinan moneter dengan indikator tunggal ini belum tentu mencerminkan kemiskinan sebenarnya. Ditengarai bahwa kemiskinan ini berkaitan dengan faktor lainnya yang sulit ditunjukkan oleh indikator tunggal seperti kemiskinan moneter.
Bank Dunia (2022) menemukan ada sekitar 39% keluarga yang diduga miskin tetapi tidak tercakup dalam kemiskinan moneter. Tentunya angka kemiskinan yang sembunyi (atau disembunyikan) ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Selain akan menjadi bumerang dalam pengambilan kebijakan, juga berpotensi akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan baru. Misalnya ketika ada penyaluran bantuan sosial.
Dari kondisi tersebut maka sangat diperlukan indikator-indikator tambahan untuk menduga kemiskinan. Bank Dunia membuat konsep MPM (Multidimensional Poverty Measure) yang dimodifikasi dari konsep MPI (Multiple Poverty Index) hasil karya UNDP dan Oxford University (2010). MPM dan juga MPI mengukur kemiskinan keluarga mencakup indikator hidup layak, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
ADVERTISEMENT
Unit analisisnya adalah keluarga. Untuk kategori hidup layak parameter yang diukur berkaitan dengan sumber energi keperluan masak, sanitasi, sumber air minum, penerangan, tipe rumah, dan aset lainnya. Untuk komponen pendidikan berkaitan dengan lamanya dan kehadiran di sekolah. Adapun parameter kesehatannya berkaitan dengan gizi dan kematian balita.
Satria June, mahasiswa S2 Statistika dan Sains Data menerapkan konsep MPI ini pada Provinsi Jawa Barat. Data diambil dari Susenas 2021 dan Podes 2021. Dari pendekatan MPI ini ditemukan ada 8 Kabupaten/Kota yang indeks kemiskinan cukup tinggi, yakni Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Sukabumi.
Bila MPI ini dianalisis lagi melalui pemodelan, banyak peubah (variabel) yang menjadi penyebab tingginya indeks. Biasanya faktor-faktor itu berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Bukan Sekedar Angka
Persoalan yang lebih mendasar lagi setelah angka kemiskinan itu dipublikasikan adalah terkait upaya penanggulangannya. Jangan sampai angka kemiskinan hanya dijadikan sebagai syarat untuk menghadirkan alokasi anggaran pada APBN/APBD semata.
Realisasi anggaran yang telah disepakati haruslah tepat sasaran. Menyasar kepada mereka yang telah dikategorikan miskin. Bukan malah dinikmati dengan berbagai seremonial atau prasyarat penyaluran yang notabene justru tidak bisa mereka nikmati.
Para Bupati dan aparat di daerah yang berkategori miskin perlu melakukan upaya ekstra keras program eradikasi kemiskinan. Penyediaan program-program ekonomi seperti pembinaan UMKM, kemudahan akses perolehan kredit, kemudahan izin berusaha, penyediaan pasar yang memadai, dan subsidi usaha mikro.
Pemerintah daerah juga harus menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas, Poliklinik, selain RSUD yang mudah dijangkau masyarakat. Dan perlu menyediakan fasilitas pendidikan serta balai-balai pelatihan untuk materi-materi yang dibutuhkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sebaiknya diajak melihat daerah-daerah lain yang tingkat kemiskinannya tidak berat. Mereka harus dibiasakan terbuka untuk belajar dan menerapkan gagasan untuk meningkatkan taraf ekonominya.
Pemerintah harus bercita-cita agar masyarakatnya bisa hidup layak dan mampu meningkatkan APK (Angka Partisipasi Kasar) sampai Perguruan Tinggi (PT). Dari kajian penulis (Saefuddin, 2022) terlihat bahwa APK PT mempunyai dampak terhadap peningkatan PDRB.
Dengan demikian, pertumbuhan kemiskinan bisa diminimalisir. Selain karena upaya mitigasinya yang tepat sasaran, namun lebih utamanya adalah karena mentalitas miskin itu juga semakin terkikis. Sehingga, bukan tidak mungkin status kemiskinan multidimensional kabupaten/kota itu berubah secara cepat dari miskin ke sejahtera. Aamiin.