Setelah Merayakan Kemerdekaan…

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2022 10:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Merayakan Kemerdekaan, Mengambil Hikmah untuk Langkah Kedepan. Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Merayakan Kemerdekaan, Mengambil Hikmah untuk Langkah Kedepan. Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
Setelah vakum akibat pandemi. Perayaan peringatan HUT RI tahun ini kembali seperti biasanya. Ramai, gegap gempita dan mengasyikkan. Bahkan, di berbagai tempat seremonial merayakan kemerdekaan bangsa yang ke-77 ini masih berlangsung. Harapan kita semoga banyak hikmah yang dapat dipetik dari momentum ini. Bukan hanya sebagai wujud 'balas dendam' akibat hadirnya pandemi Covid-19. Tetapi rasa syukur atas kemerdekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah mengisi kemerdekaan itu menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Intinya, berbagai bentuk perayaan baik yang bersifat resmi maupun hiburan haruslah menjadi penguat untuk lebih mencintai bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Jika kembali mengingat, bulan Agustus di 77 tahun lalu penuh dengan berbagai peristiwa penting bagi perjalanan bangsa ini. Misalnya ada tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus. Peristiwa yang akhirnya membuat Jepang bertekuk lutut pada sekutu. Kemudian ada juga peristiwa Rengasdengklok yang berlangsung sehari sebelum proklamasi kemerdekaan. Kemudian, sampailah bangsa ini pada satu titik yang kita kenal dengan Hari Kemerdekaan.
Catatan perjalanan bangsa meraih hari bersejarah itu tidaklah mudah. Jika kita hari ini merayakannya penuh canda - tawa, mereka dulu melewati hari-harinya dengan ancaman senjata. Tidak sedikit yang diantaranya mengorbankan jiwa hanya untuk sebuah takdir baik bagi generasi penerusnya.
Oleh karena itu, sangat naif andai hari ini kita justru melukainya dengan berbagai perilaku yang merusak harkat dan martabat bangsa. Banyak tontotan aparat untuk menjaga keamanan, harga diri, dan martabat tetapi malah justru berperilaku menyedihkan dan memalukan. Cukup sudah berbagai tragedi miris yang terjadi beberapa waktu ini menjadi pelajaran untuk kita melangkah kedepan. Melangkah memikirkan apa sebenarnya yang kita harapkan dari tujuan hidup berbangsa dan bernegara ini.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak berkategori buruk, tapi saat ini sepertinya negara kita sedang tidak baik-baik saja. Tata kelola pemerintahan sepertinya sudah terjebak pada kesepakatan politik praktis semata. Mereka yang menguasai politik praktis lah yang bisa menguasai panggung kepemimpinan. Partai-partai mulai sibuk sowan satu sama lain. Sementara sisanya --- meskipun punya kecakapan tapi harus berpuas menjadi penonton atau berperan figuran.
Akibatnya banyak persoalan hanya habis di meja perundingan yang mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan rakyat. Padahal pesan founding father bangsa ini justru sebaliknya. Kepentingan bangsa dan negaralah yang lebih utama. Tidak heran akhirnya slide-slide kehidupan bangsa lebih banyak diisi dengan tarik ulur kepentingan (pribadi/golongan) itu semata. Parahnya lagi, kondisi yang kronis ini menyebar hampir di seluruh lini. Pola-pola pemilihan kepala daerah sampai lurah juga sama saja. Mudah-mudahan pemilihan Ketua RW atau RT tidak terkontaminasi.
ADVERTISEMENT
Di dunia pendidikan pun demikian. Dengan kepiawaian akademik yang mumpuni untuk membedakan benar- salah, dunia pendidikan yang diharapkan menjadi sumber keteladanan juga mulai membodohkan dirinya. Gelar akademik yang seharusnya sejalan dengan tingkat kepercayaan itu sudah mulai memudar. Kelak, mungkin gelar-gelar akademik itu sudah tidak diperlukan lagi jika memang kehadirannya hanya menambah persoalan bangsa. Kepintaran hanya untuk menutupi kebodohan. Bahkan ada indikasi beberap kampus mulai jual beli kursi masuk. Sangat menggelikan dan memalukan.
Kondisi yang demikian menyebabkan bangsa ini semakin terjerembab dalam berbagai krisis. Diantaranya adalah krisis keteladanan dan krisis jati diri. Referensi kehidupan sudah gelap dengan berbagai tindak kejahatan. Saling hujat untuk saling menjatuhkan, saling tangkap untuk saling melindungi, dan bahkan saling bunuh hanya untuk saling menutupi. Ada polisi menggerebeg kantor polisi karena ada pesta narkoba. Bagaimana bisa jadi suri teladan bila sudah begini?
ADVERTISEMENT
Sehingga tidak salah di akar bawah, masyarakat juga sudah mulai 'beringas' sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya. Sifat ini yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh para (calon) pemimpin. Budaya suap - menyuap yang saat ini susah diberantas tersebut menjadi santapan bagi mereka yang ingin memuluskan kepentingannya. Termasuk memuluskan jalan mempertahankan kekuasaan.
Lantas, apa yang bisa dibanggakan bagi generasi penerus bangsa? 1x24 jam mereka menyaksikan ini semua. Perlahan tapi pasti, mereka mulai meniru adegan-adegan itu. Tidak usah berharap hadirnya sopan-santun dalam pergaulan kesehariannya. Bahkan tanpa menunggu perjalanan waktu yang panjang, mereka bisa saja lebih buas dari apa yang kita bayangkan. Bila keadaan tidak dibenahi secara total dan masif.
Agaknya nafsu memuluskan jalan agar kepentingan pribadi/golongan tercapai inilah yang menjadi sebab utama hadirnya para koruptor. Bukan karena ketidakmampuan finansial yang menyebabkan mereka berani menjarah uang negara. Sangat pantas kalau kemudian temuan Transparency International Indonesia memberi nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 hanya sebesar 38. Masih jauh dari rata-rata IPK secara global.
ADVERTISEMENT
Nah, setelah kita bersukacita merayakan kemerdekaan ini, ada tugas besar yang harus dituntaskan bersama: membumihanguskan perilaku koruptif. Yakni perilaku yang destruktif terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan. Termasuk sadisme dan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan. Jika dulu musuh bersama itu adalah penjajah. Di era kemerdekaan ini, penjajah itu adalah para koruptor beserta kroninya. Mereka yang dalam diam berkompromi menggerogoti bangsa ini harus kita lawan.
Kita harus bisa. Minimal dengan memerdekakan diri dari perilaku koruptif dan destruktif.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)