Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hakikat Pendidikan
22 Februari 2021 6:25 WIB
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
HAMPIR GENAP setahun sejak bulan Maret 2020 para siswa, orang tua, dan guru di Indonesia harus menghadapi penutupan sekolah yang berdampak kepada 62,5 juta siswa, mulai dari tingkat pra-sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Tsunami pembelajaran online telah terjadi hampir diseluruh dunia selama pandemi Covid-19, secara tiba-tiba mengharuskan elemen pendidikan untuk mempertahankan pembelajaran secara online. Kondisi saat ini mendesak untuk melakukan inovasi dan adaptasi terkait pemanfaatan teknologi yang tersedia untuk mendukung proses pembelajaran.
Namun, paling mendesak dan mendasar yang harus dilakukan adalah pengujian dan evaluasi pendidikan jarak jauh (PJJ) hampir yang belum pernah dilakukan secara serempak sebelumnya.
Berikut mengutip beberapa keluhan dan realita dari sekian banyak kendala pendidikan jarak jauh dengan on line;
ADVERTISEMENT
Meskipun pemerintah telah mengambil banyak langkah secara tepat waktu untuk mendukung pembelajaran dari rumah, pandemi Covid-19 masih menjadi tantangan besar bagi pendidikan.
Dampak ekonomi akibat pandemi covid-19 berakibat dengan banyaknya orang tua kehilangan penghasilan dan pekerjaan. Dengan asumsi guncangan pendapatan yang disebabkan pandemi diperkirakan akan terjadi tambahan anak di Indonesia yang akan mengalami putus sekolah baik sekolah dasar dan sekolah lanjutan.
Asumsi lainnya jika sebagian besar sekolah tetap ditutup hingga pertengahan Juli 2021, menurut perhitungan rata-rata maka anak-anak akan kehilangan sekitar sepertiga dari apa yang seharusnya mereka pelajari dalam satu tahun. Pembelajaran berkaitan dengan kapasitas mereka untuk dapat menghasilkan sesuatu di masa depan, karena melalui pembelajaran, mereka mendapatkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi produktif.
ADVERTISEMENT
Siswa yang kurang beruntung kemungkinan akan menjadi yang paling terdampak. Sebagai contoh, anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu kemungkinan besar akan tertinggal dibandingkan teman sebaya mereka yang lebih mampu yang memiliki akses lebih baik pada pembelajaran secara daring, sementara sebagian besar anak-anak berkebutuhan khusus tidak akan dapat mengakses layanan khusus.
Menjadi catatan utama konteks disparitas akses dan gangguan terhadap siswa-siswa yang yang berasal dari keluarga prasejahtera dan yang berada di daerah pedesaan. Mereka adalah siswa yang, bahkan dalam kondisi normal sudah menghadapi hambatan untuk mengakses pendidikan. Sekarang mereka perlu menghadapi hambatan tambahan yang muncul akibat ketidaksetaraan untuk mengakses infrastruktur teknologi.
Melansir data KPAI, dari delapan provinsi yang dipantau beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didiknya yang putus sekolah karena tidak memiliki alat daring, tidak mampu membeli kuota internet dan akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.
ADVERTISEMENT
Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang "MENIKAH," laki-laki maupun perempuan, yang usianya berkisar 15-18 tahun. Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orang tua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas. Saat didatangi wali kelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan menikah, atau bekerja.
Jutaan rakyat Indonesia saat ini berusaha untuk mendukung keluarga dan pendidikan anak-anak mereka selama pandemi Covid-19 masih berlangsung. Mereka memastikan bahwa anak-anak mereka dapat terus belajar menjadi suatu investasi pada modal sumber daya manusia Indonesia dan pemulihannya, dan pada suatu sistem pendidikan yang lebih berketahanan terhadap berbagai krisis yang mungkin terjadi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Artinya saat ini dan ke depan jika orientasi, kebijakan, dan praktik pendidikan di Indonesia tidak berubah, akan lebih banyak anak yang tertinggal dalam proses pembelajaran, utamanya bagi kelompok ekonomi miskin. Wajar muncul kekhawatiran “lost generation” bisa terjadi dan menggagalkan generasi emas Indonesia 2045.
Masalah pandemi Covid-19 berdampak ekonomi dan pendidikan, fenomena disparitas, krisis angka putus sekolah dan banyak lagi masalah yang terjadi seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Utamanya terkhusus bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan.
Bagaimanapun hakikat pendidikan sejatinya adalah untuk mengarahkannya demi kehidupan, bukan hanya sekadar formalitas saja. Sebagaimana kata-kata bijak filsuf Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 SM) “Non scholae, sed vitae discimus”, Belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup.
ADVERTISEMENT
Maka nyatanya pendidikan seharusnya yang diarahkan pada satu tujuan yaitu untuk memanusiakan manusia dan bermanfaat bagi kemanusiaan yang mampu mengembangkan secara seimbang unsur pribadi manusia: jasmani, rohani, intelektual, estetika dan sosial.
** Asep Totoh-Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kab.Bandung