Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kepemimpinan Ki Sunda Milenial
28 Juni 2021 9:03 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:43 WIB
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari kuantitasnya etnis Sunda merupakan etnis terbesar setelah Jawa, dengan jati diri Ki Sunda yang secara historis berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika melihat masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 sampai dengan akhir abad ke-16), maka tidak aneh jika jati diri Ki Sunda pun mengakar dengan kuat. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur bahkan sekarang dikhawatirkan jika banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.
Menonton salah satu tayangan youtube Kang Dedi Channel tanggal 06 Mei 2021, tayangan tentang lukisan truk sosok Kang Dedi Mulyadi dengan tulisannya “Nulung kanu butuh, Nalang kanu susah, Nganteur kanu sieun dan Nyaangan kanu poekeun”.
Menarik sekali empat kalimat yang tersemat dalam lukisan berbicara sosok pemimpin dan kepemimpinannya, kalimat itu pun bisa menginspirasi semua orang untuk saling tolong menolong dan memanusiakan manusia seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Setelah menjabat Bupati Purwakarta dua periode (2008-2018), Kang Dedi Mulyadi dipilih rakyat menjadi anggota DPR RI. Tampilannya khas, unik, selalu memakai Iket Sunda di kepalanya, dan pangsi (baju dan celana) Sunda, yang menggambarkan kecintaannya kepada budaya Nusantara. Sejatinya, beliau salah satu figur yang menghayati betul pesan Bung Karno, "Berkepribadian dalam kebudayaan".
Saat ini hemat penulis bagi semua pemimpin dan para wakil rakyat, khususnya yang dicontohkan Kang Dedi Mulyadi harus selalu hadir sebagai sosok yang merakyat dan pro-rakyat, hatinya teriris menyaksikan kemiskinan, tangannya sigap terulur untuk selalu peduli (care) dan selalu berbagi (share) kepada kaum fakir miskin.
Tugas lain Kang Dedi sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, beliau mampu hadir sebagai tokoh pluralis, sosok nasionalis dan aktif mengampanyekan toleransi, sekaligus politisi yang giat melestarikan kebudayaan dan memiliki keberpihakan kuat terhadap nelayan, petani dan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Kang Dedi sapaan akrabnya, bahkan candaannya bagi masyarakat yang dijumpainya namun tak kenal wajah menyebut dirinya “Haji Udin” dari Majalengka. Beliau politisi yang hadir dan memiliki ikatan kuat dalam kebudayaan lokal menghasilkan sikap inklusif, saling hormat-menghormati, bela rasa, solidaritas dan gotong-royong.
Menyoal orang Sunda, memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan suku lainnya, dalam penelitian Rahman (2018) di Kabupaten Purwakarta yang mengidentifikasi delapan karakteristik orang Sunda yaitu sopan dan santun, ramah, suka bergotong royong, lembut dan penyayang, gemar bergaul, agamis, kreatif dan rajin, serta toleran. Temuan ini memang tidak cukup mewakili dan tidak bisa digeneralisi kepada seluruh masyarakat Sunda.
Selalu menarik mencermati bagaimana kepemimpinan orang Sunda, fenomena kepemimpinan saat ini tidak bersifat unidimensional. Dewasa ini, lahir model kepemimpinan situasional yang memiliki makna jika efekttivitas kepemimpinan bergantung pada kecocokan antra karakteristik pemimpin dan situasi yang dihadapinya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan situasional berbeda dengan pendekatan behavioral, teori yang menggunakan pendekatan situasional antara lain model kepemimpinan kontigensi, model kepemimpinan situasional, path goal theory dan model kepemimpinan transformasional-transaksionak.
Agus A.Rahman (2019) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang Sunda mempersepsikan pemimpin Sunda sebagai orang yang memiliki gaya kepemimpinan Transformasional. Hal ini bisa dilihat dari jawabannya responden yang lebih condong ke karakteristik trnasformasional seperti mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan sendiri, mempunyai hubungan baik dengan anggotanya, berusaha sosok role model bagi anggotanya, dan selalu berusaha menasehati anggota jika melakukan kesalahan.
Alhasil, setiap Ki Sunda pada masa yang berbeda, harus menguasai budaya dan kearifan Sunda. Bukan hanya menguasainya, bahkan menjaga dan melestarikannya. Jika saja dulu kesundaan dijaga dan dilestarikan oleh Raja Sunda di Galuh, yakni Prabu Linggabuana dan Prabu Niskala Wastukencana. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Sunda di Pajajaran, yakni Prabu Siliwangi dan kelak oleh puteranya, Prabu Kian Santang. Maka kini kesundaan kembali harus dijaga dan dihidupkan kembali oleh pemimpin Sunda saat ini, namun mencari figur Ki sunda yang cocok saat ini tidaklah mudah.
ADVERTISEMENT
Pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah karakter orang Sunda dimaksud melekat pada seorang pemimpin sebagai "Maung Masagi" (manusia unggul dan masagi) ki Sunda yang ulet dan tangguh, yang bisa melahirkan konsepsi ketahanan pribadi,daerah atau nasional. Pemimpin ki Sunda yang memiliki nilai “Panca Jatidiri Insan”, yang meliputi pengkuh agamana (Spiritual Quotient), Luhung elmuna (Intellegence Quotient), Jembar Budayana (Emotional Quotient), Rancage Gawena (Adversity Quotient) (Suryalaga dalam Sudaryat;2014), ditambah tesis penulis dengan Motekar (Creativty Quoetient).
Selanjutnya kiprah pemimpin dalam kehidupan nyata yang dibutuhkan saat ini adalah memberikan ketauladanan berperilaku dengan memiliki nilai-nilai luhur yang dimiliki Bangsa Indonesia. Hal penting lainnya ki Sunda di mana pun berada harus mampu menunjukkan jati dirinya yang silih asah, silih asih, silih asuh sebagaimana salah satu ajaran mulia Ki Sunda yakni ajaran kasih sayang yang menyebutkan setiap warga itu kudu nulung kanu butuh nalang kanu susah, nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun, jeung welasan asihan deudeuhan.
ADVERTISEMENT
Tentunya butuh upaya mengembalikan identitas sekaligus kewibawaan orang Sunda, tak lepas dari kecintaanya terhadap tanah Sunda sekaligus refleksi dari sense of belonging (rasa memiliki) yang sudah di wariskan oleh para leluhur terdahulu.
** Asep Totoh - Dosen Ma’soem University, Kepala HRD Yayasan Bakti Nusantara 666 Cileunyi.