Spirit Idul Fitri

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
10 Mei 2022 7:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Puasa bagi umat Islam menjadi momentum yang paling istimewa. Selain sebagai upaya untuk menguatkan pengendalian diri, juga menjadi momen kontemplasi dan muhasabah diri menuju insan yang lebih bertakwa.
ADVERTISEMENT
Idul Fitri 2022 ini kembali menemukan ritual dan fenomenanya. Setelah dua tahun tidak boleh mudik karena pandemic Covid-19, sebagian besar masyarakat muslim akhirnya bisa berlebaran di kampung halamannya.
Negara kembali hadir menjamin ritual lebaran dan mudik warganya, negara bisa memfasilitasi dan menyediakan sarana infrastruktur, moda transportasi, dan mengawal akses perjalanan yang semakin aman dan nyaman bagi warganya yang hendak mudik ke kampung halaman.
Sejatinya mudik itu urusan hati yang tidak bisa tergantikan dengan nominal uang berapapun, semua itu karena kerinduan teramat mendalam, kasih sayang dan kecintaan pada orang tua, saudara, kerabat, tetangga dan kampung halaman.
Mudik lebaran bagi kaum muslim menjadi sebuah momen puncak dan ritus paling suci yang menandai berakhirnya momen bulan puasa. Bagi sebagian besar orang di Indonesia pulang kampung saat mudik lebaran akan dapat menghidupkan kembali kenangan-kenangan masa kecil dan juga menguatkan jati diri pribadi seorang muslim.
ADVERTISEMENT
Mudik di Indonesia setidaknya memiliki beberapa dimensi, Pertama, dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Kedua, dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Ketiga, dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan, saling berbagi rejeki dengan sanak saudara dan tetangga menjadi keharusan setiap berkumpul bersama.
Keempat, dimensi kultural. Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Secara hermeneutis, mudik adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan.
Dan Kelima, dimensi spiritual. Mudik menjadi momen sakral dengan silaturahim dan saling maaf memaafkan dengan sanak keluarga di kampung halamannya. Senjatinya mudik bukan hanya pulang ke tanah kelahiran, bertemu dengan orang tua, berkumpul dengan sahabat, memakai baju baru, bagi-bagi rejeki, menghirup udara segar aroma lembah, bukit, dan pepohonan di kampung halaman. Lebih jauh lagi, ini adalah saat di mana kita mulang ke udik untuk merekalibrasi diri secara spiritual.
Ilustrasi mudik saat lebaran. Foto: Shutter Stock
Melalui silaturahim dan saling bermaaf-maafan inilah manusia memiliki kesempatan untuk menelusuri kembali relung-relung ruang batinnya, dan juga menafsirkan kembali fitrahnya sebagai hamba Allah swt. Momen Idul Fitri kiranya bisa jadi sarana untuk menyucikan atau pemurnian diri.
ADVERTISEMENT
Inilah fitrah yang bisa kita maknai untuk kembali ke jati diri kita yang paling orisinal dan genuine. Kita harus kembali kepada keluhuran hati nurani, harus kembali ke dalam suasana batin paling luhur dan lurus. Setelah sebulan penuh kita di gembleng secara spiritual maka sekarang kita telah memiliki energi spiritual baru.
Ramadan dan Idul fitri menjadi rangkaian waktu yang tak terpisahkan dalam munajat dan juga guna mencari keberkahan. Inilah waktu terbaik hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik (hablumminnallah) dan horizontal dengan sesama manusia (habluminannas) yang diuji dalam bingkai keimanan dan ketakwaan.
Perayaan Idul Fitri sebagai ekspresi kebahagiaan dan bentuk rasa syukur kita yang diwujudkan dalam silaturahmi dan saling bermaaf-maafan. Dengan kelapangan dada, ketulusan dan kemurahan hati untuk tulus memaafkan sesama merupakan spirit Idul Fitri yang perlu terus dijaga agar kita semua tetap bersatu dan bersaudara.
ADVERTISEMENT
Sesuatu hal paling penting yang sulit dilakukan adalah ketika sikap terbuka dan legawa untuk bisa meminta maaf dan saling memaafkan satu sama lain. Suasana kesucian Idul Fitri dinilai sangat tepat untuk saling memaafkan, mencairkan suasana penuh ketulusan hati, dan energi bahagia.
Mengutip Gerald G Jampolsky (2006) dalam Forgiveness: The Greatest Healer for All, menyatakan bahwa kekuatan memaafkan (the power of forgiveness) itu sungguh sangat dahsyat. Memaafkan orang lain itu merupakan langkah pertama untuk memaafkan diri sendiri. Ketika memaafkan, imunitas tubuh pemaaf itu semakin kuat dan semakin sehat. Jadi, memaafkan itu indah dan mengindahkan iman dan imun sang pemaaf. Iman dan imun pemaaf itu dapat merekatkan persaudaraan dan persatuan umat dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Senyatanya spirit Idul Fitri yang hakiki adalah menjadi hamba yang selalu menjaga nilai-nilai takwa dengan selalu istiqomah untuk tetap merawat dan melestarikan nilai-nilai ibadah ramadan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks kebangsaan puasa ramadhan hendaknya melahirkan insan yang tak hanya beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, namun juga cinta terhadap Tanah Air.
Harus diakui ada polarisasi dan keterbelahan masyarakat dalam kelompok yang luar biasa. Ramadan dan Idul fitri tahun ini pun sejatinya memiliki spirit untuk bisa memudikkan fitrah kemanusiaan menuju jalan kesucian, ketaatan, kedamaian, dan persaudaraan dengan mengokohkan kohesivitas sosial melalui silaturahmi keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Suatu keberkahan melalui ramadan, Idul Fitri dan mudik sebagai bangsa kita dapat melaluinya dengan suasana yang tenang, aman, nyaman, damai dan khidmat. Dua tahun Pandemi Covid-19 telah menguji kekuatan bangsa ini. Saatnya, seluruh elemen bangsa bergandeng tangan dan berkolaborasi untuk membangun bangsa ini.
ADVERTISEMENT