Konten dari Pengguna

Mengurai 'Kemiskinan yang Berwajah Perempuan'

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Jurnalis di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Genta Andalas.
19 November 2024 11:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengurai 'Kemiskinan yang Berwajah Perempuan'. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Mengurai 'Kemiskinan yang Berwajah Perempuan'. Foto: iStock

Kemiskinan bukan hanya soal keterbatasan ekonomi tetapi juga wajah nyata dari ketidakadilan gender yang berlangsung lama.

ADVERTISEMENT
Kemiskinan "Berwajah Perempuan," menyoroti realitas bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan terjerat dalam kemiskinan, terbelenggu dalam situasi ekonomi yang rentan dan minim akses terhadap sumber daya ekonomi yang layak. Fenomena ini dikenal sebagai feminisasi kemiskinan, di mana perempuan secara proporsional lebih tinggi menjadi korban kemiskinan dibandingkan laki-laki. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, feminisasi kemiskinan semakin terlihat nyata, dengan data menunjukkan bahwa perempuan menghadapi lebih banyak rintangan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Secara global, perempuan mengalami ketidakadilan ekonomi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Menurut laporan UN Women 2020, hampir 60% perempuan di seluruh dunia dalam pekerjaan yang tidak terlindungi atau sektor informal, diperkirakan 73,5 persen perempuan dalam pekerjaan upahan tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial yang berarti mereka sering tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun akses pada hak-hak ketenagakerjaan. Di negara-negara berkembang, seperti di sebagian besar wilayah Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika, ketergantungan perempuan pada pekerjaan informal mencapai 70% atau lebih. Kondisi ini membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, seperti pandemi atau resesi, yang langsung menempatkan mereka dalam kemiskinan ekstrem.
Di Indonesia, feminisasi kemiskinan juga sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, yaitu sekitar 61,29% dibandingkan dengan 84,49% untuk laki-laki. Lebih lanjut, laporan BPS menunjukkan bahwa dari perempuan yang bekerja, sebagian besar berada di sektor informal yang kurang mendapatkan jaminan sosial. Selain itu, ada kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan di Indonesia rata-rata mendapatkan upah 23% lebih rendah dari laki-laki, meskipun memiliki beban kerja dan kompetensi yang serupa.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utama feminisasi kemiskinan adalah ketidaksetaraan dalam akses pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi perempuan. Di banyak negara berkembang, perempuan masih menghadapi hambatan besar dalam menyelesaikan pendidikan. Data Unicef menyebutkan bahwa terdapat 119 juta anak perempuan yang tidak bersekolah di seluruh dunia. Mirisnya, di negara-negara yang terkena dampak konflik, anak perempuan dua kali lebih mungkin tidak bersekolah daripada anak perempuan yang tinggal di negara-negara yang tidak terkena dampak. Beban tanggung jawab domestik dan perkawinan dini turut jadi penyebab perempuan putus sekolah. Tanpa pendidikan yang memadai, perempuan menjadi lebih sulit memperoleh pekerjaan yang layak dan cenderung terjebak dalam siklus kemiskinan yang turun-temurun, belakangan ini viral dengan istilah kemiskinan struktural.
ADVERTISEMENT
Selain pendidikan, norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga juga memperparah feminisasi kemiskinan. Di berbagai budaya, termasuk Indonesia, perempuan sering kali dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan 2,6 kali lebih banyak waktu untuk pekerjaan domestik tak berbayar dibandingkan laki-laki. Hal ini mengurangi peluang perempuan untuk berkarier atau mencari pekerjaan yang lebih produktif, karena banyak waktu dan energi habis untuk pekerjaan rumah tangga.
Faktor lain yang turut memperparah feminisasi kemiskinan adalah keterbatasan akses perempuan pada kepemilikan aset dan hak ekonomi. Di banyak negara, hukum atau norma adat menghalangi perempuan untuk memiliki tanah atau properti, yang seharusnya dapat menjadi modal penting dalam usaha keluar dari kemiskinan. Menurut laporan UN Women, di negara-negara seperti India dan Nigeria, perempuan hanya memiliki sekitar 13-15% dari total tanah yang dimiliki. Di Indonesia, meski tidak ada hambatan hukum, banyak perempuan yang tidak memiliki kepemilikan tanah karena aturan warisan atau budaya yang masih bias gender.
ADVERTISEMENT
Dalam data hasil survei yang disajikan UN Women, "Facts and figures: Economic empowerment", Petani perempuan memiliki akses, kontrol, dan kepemilikan terhadap lahan serta aset produktif lainnya yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan petani laki-laki. Contohnya, hanya kurang dari 15 persen dari pemilik lahan pertanian secara global yang merupakan perempuan, meskipun angka ini berbeda-beda di setiap negara. Mengurangi kesenjangan gender dalam produktivitas di sektor pertanian dan kesenjangan upah dalam pekerjaan di sistem agrifood dapat meningkatkan PDB global hingga 1 persen, atau setara dengan hampir USD 1 triliun.
Pandemi COVID-19 memperburuk feminisasi kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia. UNDP melaporkan bahwa pandemi mengakibatkan penurunan partisipasi tenaga kerja perempuan di seluruh dunia, dengan dampak terberat dirasakan oleh pekerja perempuan di sektor informal. Di Indonesia, UN Women 2020 menjelaskan Covid 19 berpotensi mempertaruhkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan bagi perempuan dan anak perempuan di Indonesia. Perempuan di Indonesia sangat bergantung pada pendapatan dari usaha keluarga. Namun, Covid-19 telah mengurangi pendapatan tersebut hingga 82%. Survei BPS menunjukkan bahwa perempuan lebih terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi dibandingkan laki-laki, karena banyak dari mereka bekerja di sektor yang paling rentan, seperti industri pariwisata, perdagangan kecil, dan layanan.
ADVERTISEMENT
Mengatasi feminisasi kemiskinan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multisektor. Di tingkat global, pemerintah dan lembaga internasional seperti PBB dan Bank Dunia telah memulai berbagai program pemberdayaan perempuan melalui pelatihan keterampilan dan pemberian akses keuangan. Di Indonesia, beberapa program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi perempuan telah membantu membuka akses pembiayaan bagi mereka yang ingin memulai usaha. Namun, ini masih langkah awal, karena perubahan struktural dalam kebijakan dan sistem pendidikan sangat diperlukan untuk memberdayakan perempuan secara lebih efektif.
Namun, feminisasi kemiskinan bukanlah masalah yang dapat diselesaikan hanya dengan program pemberdayaan. Perlu adanya reformasi kebijakan yang lebih besar, termasuk kesetaraan dalam pendidikan, penghapusan norma-norma gender yang menekan perempuan, dan hukum yang melindungi hak ekonomi perempuan. Negara perlu menyediakan kebijakan sosial yang mendukung, seperti memperkenalkan pendidikan gender sejak dini, jaminan sosial bagi pekerja sektor informal, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Feminisasi kemiskinan adalah masalah yang begitu kompleks. Ketidaksetaraan ekonomi berbasis gender bukan hanya persoalan perempuan, tetapi juga ancaman bagi kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dibutuhkan reformasi kebijakan, perubahan sosial, serta komitmen kolektif agar perempuan bisa memiliki akses yang sama dalam meraih kesejahteraan dan menghapus kemiskinan yang membelenggu.