Konten dari Pengguna

Paris 1919 dan Pertemuan Tiga Negarawan

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Politik, Sastra, dan Sejarah
11 Mei 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Georges Clemenceau, Woodrow Wilson, dan David Lloyd George. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Georges Clemenceau, Woodrow Wilson, dan David Lloyd George. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun 1919, Eropa porak-poranda, namun secercah harapan muncul di jantung Kota Paris. Merpati perdamaian coba diterbang-tinggikan di atas puing reruntuhan sisa perang. Paris tahun 1919, sebagaimana diungkapkan sejarawan Margaret Macmillan, menjadi ibukota dunia. Tak pernah terbayangkan sebelumnya akan diadakan pertemuan diplomatik yang sangat bersejarah di Istana Versailles, bangunan megah simbol kejayaan Bourbon selama berabad-abad, yang mempertemukan seorang atheis pemuja positivisme Comte, seorang ilmuwan politik sekaligus presbiterian religius, dan seorang anak desa dari Wales. Inilah pertemuan tiga negarawan besar dunia: Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, dan Perdana Menteri Inggris David Lloyd George. Dunia akan dibentuk ulang, sejarah ada di persimpangan jalan.
ADVERTISEMENT
Kegelapan Eropa
Beberapa tahun sebelum diadakan pertemuan diplomatik yang sangat bersejarah di Paris pada 1919, Eropa memulai -sebagaimana disebut oleh Henry Kissinger- bunuh diri budaya (cultural suicide), yakni Perang Dunia I. Perang besar (Great War) yang dimulai pada 1914 ini merupakan kulminasi dari berbagai kompleksitas politik yang membelit Eropa, yang pada akhirnya akan bermuara menjadi casus belli terjadinya perang yang sangat destruktif dan mengerikan. Tahun 1914 menjadi tahun yang konsekuensial dan menandai dimulainya sebuah era baru dalam sejarah Eropa dan dunia. Sejarawan Barbara Tuchman dalam bukunya The Guns of August, menyebut tahun 1914 ibarat jam yang berdentang, yang menandakan akhir Abad ke-19 dan awal zaman kita (Abad ke-20).
Tahun 1914 menjadi penanda kehancuran sempurna dari keseimbangan Eropa yang terbentuk sejak Kongres Wina satu abad sebelumnya. Perdamaian yang cukup stabil dan panjang di Eropa raib dalam sekejap. Margaret Macmillan secara tepat mendeskripsikannya menjadi sebuah judul buku, The War That Ended Peace, perang yang mengakhiri perdamaian. Keseimbangan Eropa mulai rapuh terutama sejak dekade akhir Abad ke-19, terutama setelah berakhirnya kepemimpinan Otto von Bismarck di Jerman, yang membuat ambisi Kaiser Wilhelm II tak lagi bisa dibendung.
Kaiser Wilhelm II. Sumber: Shutterstock.
Setelah berhasil muncul sebagai pemenang pada 1871 dengan mempecundangi Prancis, Jerman yang bersatu menjadi dominan sebagai kekuatan benua, terutama di Eropa Tengah. Jerman menjadi sangat militeristik, karena sebagaimana diterangkan Barbara Tuchman, pelajaran yang diambil Jerman sejak 1870 adalah bahwa satu-satunya sumber kebesaran Jerman adalah senjata dan perang. Wilhelm dengan ambisi weltpolitik-nya, berusaha membangun dominasi kekaisaran global Jerman, tanpa memandangnya secara realis. Kesalahan pertama yang dilakukan Wilhelm setelah mangkatnya Bismarck dari jabatan, selain meningkatkan persaingan dengan Inggris, adalah dengan memutus hubungan baik dengan Rusia. Padahal Bismarck selalu mewanti-wanti bahwa Jerman harus tetap berteman baik dengan Rusia. Wilhelm membuka jalan bagi Tsar Alexander III untuk beraliansi dengan Prancis pada 1892.
ADVERTISEMENT
Memasuki Abad ke-20, persaingan kekuatan di Eropa semakin meruncing. Jerman semakin curiga kepada Inggris dan Prancis, setelah Raja Edward VII berkunjung ke Paris pada 1903, dan pada April 1904 terbentuklah Aliansi Entente antara Inggris dan Prancis. Wilhelm sangat membenci pamannya, Edward VII, dan atas dukungan Friedrich von Holstein dan Kanselir Bernhard von Bülow, semakin berambisi untuk menjadikan Jerman kekuatan laut menyaingi Inggris, padahal Bismarck sudah mewanti-wanti untuk tidak mengusik Inggris di lautan.
Wilhelm berupaya untuk memperbaiki hubungan dengan Rusia, terutama melalui Tsar Nicholas II, yang disebutnya Nicky. Diadakan pertemuan dua kaisar di Björkö, dimana Wilhelm berhasil membujuk Nicholas untuk menandatangani Perjanjian Björkö, Perjanjian Aliansi Jerman-Rusia. Namun setelah kembali ke Rusia, Nicholas atas desakan menterinya, membatalkan perjanjian karena akan mengganggu aliansi dengan Inggris dan Prancis. Jerman dalam posisi yang semakin terancam setelah terjadi pertemuan antara Edward VII dan Tsar Nicholas di Reval pada 1908.
ADVERTISEMENT
Masing-masing negara, terutama Jerman, semakin gencar merumuskan dan mempersiapkan rencana militernya. Jerman begitu terobsesi atas superioritas kekuatan militernya. Hal ini tercermin dalam ungkapan Marsekal Colmar von Der Goltz dalam bukunya The Nations in Arms, bahwa: Kami (Jerman) telah memenangkan posisi kami melalui ketajaman pedang kami, bukan melalui ketajaman pikiran kami. Kepala Staf Umum Jerman, Count Alfred von Schlieffen menjadi salah satu tokoh yang menyusun rencana militer Jerman di Eropa. Rencana Schlieffen (Schlieffen Plan) adalah rencana militer untuk menyerang Prancis habis-habisan, dan menyiapkan pasukan untuk melawan Rusia di Timur.
Rencana Schlieffen adalah menyerang Prancis melalui Belgia yang netral. Schlieffen berhenti menjadi Kepala Staf Umum pada 1906, dan digantikan oleh Jenderal Moltke. Tidak hanya Jerman, Prancis pun siap dengan rencana militernya. Jenderal Ferdinand Foch, ahli strategi sekaligus Direktur Ecole Superieure de la Guerre, memperkenalkan doktrin ofensif. Foch berujar bahwa, keinginan untuk menaklukan adalah syarat kemenangan. Kedua negara, Jerman dan Prancis, saling memendam curiga dan menyalakan bara dalam sekam yang akan mengakibatkan kebakaran besar di Eropa.
ADVERTISEMENT
Inggris dalam posisi wait and see, namun Inggris menegaskan apabila netralitas Belgia dilanggar maka Inggris akan terlibat perang. Hal ini masuk akal, karena arsitek dari Belgia yang netral adalah Perdana Menteri Inggris dekade 1860-an, Lord Palmerston. Memasuki tahun 1914, tepatnya pada 28 Juni, Franz Ferdinand dibunuh oleh seorang nasionalis Serbia. 28 Juli Austria menyatakan perang pada Serbia, setelah ultimatumnya pada 23 Juli tak dihiraukan. Rusia segera melakukan mobilisasi pasukan ke perbatasan yang dibalas ultimatum Jerman pada 31 Juli agar Rusia melakukan demobilisasi. Wilhelm menyatakan Deklarasi Kriegsgefahr (bahaya perang) pada Rusia. Duta Besar Jerman di St. Petersburg, Count Pourtalès menyerahkan surat deklarasi perang Jerman atas Rusia kepada Menteri Luar Negeri Sergei Sazonov. Eropa memasuki dunia katastropik, terutama setelah Prancis dan Inggris terlibat dalam perang. Perang Dunia I dimulai, Eropa dipenuhi kegelapan.
ADVERTISEMENT
Paris 1919
Di Amerika Serikat, seorang ilmuwan politik dan penganut presbiterian yang sangat religius, Woodrow Thomas Wilson, baru terpilih sebagai Presiden saat Eropa tengah dilanda Perang Besar. Sebagaimana dicatat Robert Zoellick dalam bukunya, America in the World, pada 4 Agustus 1914, Wilson menyatakan Deklarasi Netralitas. Ia enggan AS ditarik pada konflik kekuatan di Eropa. Menteri Luar Negerinya, William Jennings Bryan, memiliki pandangan serupa tentang idealisme perdamaian. Pada Desember 1914, Bryan menawarkan mediasi antara negara Kristen yang berperang. Mantan Presiden Theodore Roosevelt, sebagaimana dicatat Kissinger dalam bukunya, Diplomacy, mencela idealisme Wilson dan Bryan yang menurutnya: jauh lebih baik bagi suatu bangsa memiliki tradisi Frederick Agung dan Bismarck, daripada tradisi Wilson-Bryan dalam kebijakan luar negeri.
Peta Eropa saat Perang Besar 19114-1918. Sumber: Shutterstock.
Bryan mengundurkan diri pada Juni 1915 dan diganti oleh Robert Lansing. Lansing menganggap bahwa Jerman adalah ancaman bagi AS, namun bahkan sampai pemilu 1916 Wilson masih menjadi promotor perdamaian dengan slogan pemilunya: Peace, Preparedness, dan Prosperity. Wilson memiliki gagasan perdamaian tanpa kemenangan, peace without victory untuk menyelesaikan perang di Eropa. Sayangan betapapun Wilson menjaga agar AS tidak terlibat konflik di Eropa, peristiwa serangan Jerman atas kapal AS membuat Wilson mendeklarasikan perang di Kongres pada 2 April 1917. Masuknya AS ke dalam perang di Eropa, mempercepat kekalahan Jerman, dan para sekutu pemenang perang merencanakan pertemuan untuk membangun ulang Eropa dan dunia yang porak-poranda. Paris dipilih sebagai lokasi pertemuan yang sangat bersejarah itu.
ADVERTISEMENT
Pada 4 Desember 1918, Wilson menuju ke Paris menggunakan Kapal George Washington. Menlu Lansing, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tasker Bliss, dan Dubes AS di Paris Henry White membersamai sang Presiden. Wilson tiba di Pelabuhan Brest pada 13 Desember, disambut Menteri Luar Negeri Stephen Pichon. Di Paris, Georges Clemenceau dan Presiden Raymond Poincare menyambut hangat Wilson. Wilson datang dengan rencana idealisnya atas perdamaian dunia, yang terkenal dengan Empat Belas Pasal Woodrow Wilson. Pandangan Wilsonian ini berusaha membongkar habis persaingan kekuatan di Eropa, yang bagi beberapa negarawan Eropa sangat asing.
Perdana Menteri Inggris, David Lloyd George menyebut kedatangan Wilson sebagai seorang misionaris untuk menyelamatkan Eropa dengan khotbahnya. Secara sinis, Clemenceau mengaku saat berbicara dengan Wilson ia seperti berbicara dengan Yesus. Ini menandai perbedaan pandangan tiga negarawan besar yang bertemu dalam Konferensi Perdamaian Paris 1919.
ADVERTISEMENT
Clemenceau, seorang yang dididik menjadi seorang dokter, memilih karir sebagai seorang politisi. Ia menyaksikan langsung bagaimana Prancis dipermalukan pada 1870, dan memiliki ‘dendam’ terhadap Jerman. Ia menjadi raksasa politik di Prancis, bahkan Edward VII menyebutnya sebagai The Tiger. Masuk akal apabila Clemenceau menginginkan balasan yang setimpal bagi Jerman pada 1919, namun kemudian membentuk ulang politik Eropa dengan perimbangan kekuatan yang bertahan sejak masa Richelieu dan Mazarin. Idealisme Wilsonian tentu asing bagi negarawan tua yang memimpin Konferensi ini. Namun secara realis, Clemenceau juga sadar betul bahwa tidak mungkin AS tidak dilibatkan dalam diplomasi pasca-perang. Pada akhirnya ia berusaha, setelah negosiasi yang panjang, menerima proposal Wilson, termasuk pendirian Liga Bangsa-Bangsa.
David Lloyd George, yang memimpin Inggris setelah pengunduran diri Herbert Asquith, membangun kabinet koalisi Liberal-Tory. Lloyd George, walaupun berasal dari Partai Liberal tidak terlalu dekat dengan ide Gladstonian. Ia, sebagaimana Clemenceau, percaya pada peimbangan kekuatan di Eropa. Namun Wilson menjadi bintang yang tak bisa redup lagi sinarnya. Wilson telah menjelma menjadi sebuah harapan di seluruh dunia, dari Timur Tengah hingga Vietnam. Konsep penentuan nasib sendiri (self determination) telah menjadi harapan bagi banyak orang di dunia. Kendati ide Wilson terutama tentang Liga Bangsa-Bangsa terwujud, AS tak terlibat dalam lembaga yang digagas Wilson ini karena oposisi yang lantang dari Kongres.
ADVERTISEMENT
Clemenceau dan Lloyd George, walaupun di permukaan menerima idealisme Wilsonian dengan beberapa kompromi, tetapi di belakang membentuk dunia dengan perimbaang kekuatan Inggris-Prancis, terutama di Timur Tengah. Pertemuan tiga negarawan itu tak pernah dibingkai kesepakatan, jika pun ada kesepakatan, tidak lebih dari basa-basi diplomasi. Paris 1919, yang diharapkan menciptakan perdamaian permanen, justru menjadi sebab tragedi yang lebih besar di masa depan. Dunia yang dibentuk ulang itu begitu rapuh, dan Eropa tidak lama sejak itu akan terlibat perang yang lebih besar dan destruktif.