Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berbohong Setinggi Langit Demi Cita-cita Setinggi Tanah
24 November 2017 18:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Eugene Panji, sebelum Naura & Genk Juara, pernah membuat sebuah film yang sangat kuat dalam memotret cita-cita. Judulnya: CIta-Citaku Setinggi Tanah.
Cita-Citaku Setinggi Tanah bercerita tentang anak-anak sekolah dasar yang sedang mengejar cita-cita mereka yang beragam. Ada yang ingin menjadi aktris; ada yang ingin menjadi tentara.
Namun, menariknya, fokus cerita berpihak kepada Agus, tokoh utama yang cita-citanya paling sederhana. Agus ingin makan di restoran Padang.
Cita-cita Agus yang setinggi tanah itu lantas membuat Agus ditertawakan teman-temannya. Tapi, setelah cerita berjalan lebih jauh, terbukti bahwa Aguslah yang paling konsisten dan jujur dalam menjalani proses menuju cita-cita.
Ia bekerja lebih keras. Bertemu dengan lebih banyak orang. Menjalani lebih banyak hal baru. Dan, pada akhirnya, mendapatkan lebih banyak pelajaran.
ADVERTISEMENT
Film Cita-Citaku Setinggi Tanah kerap disebut sebagai film anak-anak. Tidak ada salahnya, karena obrolan yang mendominasi memang terkait dengan dunia anak-anak.
Namun, selain buat anak-anak, film ini juga mengandung banyak pelajaran yang bisa orang dewasa petik. Apalagi, belakangan ini kian marak saja orang-orang dewasa yang mengejar cita-citanya secara tidak jujur.
Sebelumnya kita pernah mendengar ada sosok Dwi Hartanto, yang hidup dalam kebohongan selama lebih kurang dua tahun.
Ada pula, bekas mahasiswa UI yang didepak pada semester 2, tapi bisa lanjut S2 di Malaysia. Doktor jadi-jadian dari UNJ . Hingga yang sedang ramai sekarang: ilmuwan Indonesia yang mengaku dinominasikan untuk penghargaan Nobel.
Kebohongan mereka jelas bermacam-macam rupanya. Namun, dilihat dari perjalanan akademiknya, tampak bahwa semuanya adalah orang-orang yang terbilang pintar.
ADVERTISEMENT
Mereka setidaknya sudah berada di tahap yang tidak semua orang bisa capai.
Tanya pun berkecamuk di kepala. Kenapa mereka harus berbohong?
Berbohong di ranah akademik jelas bukanlah hal yang mudah. Progres akademik selalu menuntut dokumen-dokumen yang keabsahannya sangat diperhatikan.
Untuk proses verifikasi pun pihak yang ragu bisa sesimpel bertanya kepada pihak yang menyerahkan sertifikat, ijazah, atau penghargaan.
Maka, ketika orang-orang di atas berbohong, mereka jelas tengah berjudi. Taruhannya adalah mukanya sendiri.
Berbagai kalangan mungkin telah menjelaskan soal alasan orang-orang macam ini berbohong.
Saat kasus Dwi Hartanto merebak, misalnya, ada psikolog yang berkata bahwa kebohongannya mengarah ke patologis. Sementara ada pula yang berkata bahwa Dwi Hartanto hanya mencari perhatian.
ADVERTISEMENT
Apapun itu, kebohongan mereka bukanlah sesuatu yang terjadi satu kali dan dilakukan oleh satu orang. Banyak yang melakukannya, dan tidak hanya sesekali saja. Ini yang kemudian mencemaskan.
Orang pintar tentu tetap butuh yang namanya pengakuan—baik itu dalam wujud sertifikat ataupun penghargaan. Tanpa pengakuan, kepintaran hanya akan berlaku untuk diri sendiri dan lingkaran terdekat—belum untuk dunia.
Selain itu, penghargaan juga adalah kelanjutan dari kepintaran yang sifatnya paling praktikal. Setelah ada penghargaan, banyak jalan terbuka lebar. Hidup lebih gampang.
Namun, apakah karena hal-hal itu, kita harus rela berbohong setinggi langit? Bukankah segala bentuk penghargaan hanyalah simbol yang merangkum segala proses?
Mendapat penghargaan seharusnya tidak seperti main game, yang levelnya bisa diatur dan jalan ceritanya bisa diloncat.
ADVERTISEMENT
Penghargaan adalah bukti bahwa seseorang memiliki kemampuan, dan telah berupaya lebih besar dibandingkan dengan orang lain.
Buat saya pribadi, “ingin diakui, tapi tak mau berproses,” adalah cita-cita yang sangat rendah. Jauh lebih rendah daripada cita-cita Agus yang ingin makan nasi padang.