Konten dari Pengguna

Budaya Hustle Haruskah Generasi Muda Selalu Sibuk untuk Dianggap Sukses?

Ayyu Puspitta
Mahasiswa semester 7 yang senang menulis isu-isu ekonomi dan sosial. Dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
9 Desember 2024 17:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayyu Puspitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar hustle culture/Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar hustle culture/Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
Bagi generasi muda kesuksesan memiliki arti yang sangat beragam, tetapi mayoritas memandang stabilitas finansial sebagai kunci utama. Hasil survei dari Populix terhadap 1.841 responden di Indonesia menunjukkan bahwa 45% dari Gen Z dan Milenial mendefinisikan kesuksesan sebagai tercapainya stabilitas finansial. Fokus pada aspek finansial dapat dipahami, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang masih belum stabil sehingga menciptakan tantangan tersendiri dalam mencapai stabilitas finansial.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Kompas.id yang merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 10 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) termasuk dalam kategori pengangguran atau tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan maupun pelatihan (NEET). Ketidakseimbangan antara jumlah lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja menyebabkan persaingan ketat untuk memperoleh pekerjaan stabil.
Selain itu adanya tekanan sosial karena ekspektasi bahwa kesuksesan hanya datang dari produktivitas tanpa henti. Lingkungan yang turut mempengaruhi kerap memaksa generasi muda untuk mencapai keberhasilan dengan cepat, sehingga sebagian dari mereka terdorong untuk terlibat dalam lebih dari satu pekerjaan atau terjebak dalam fenomena hustle culture demi bisa mencapai stabilitas finansial dan kesuksesan.
(Ardiana Sintia Putri Mahasiswa Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara) menceritakan pengalamannya dalam menerapkan Hustle Culture, Menurutnya “Hustle culture ini masih efisien untuk diterapkan karena kebutuhan untuk memiliki pemasukan lebih besar sehingga memutuskan untuk bekerja di beberapa tempat”. Kata Ardiana.
ADVERTISEMENT
Mengenal Hustle Culture
Hustle Culture atau giat bekerja merupakan cara hidup untuk memaksakan diri dalam bekerja lebih keras dari yang diperlukan, tanpa istirahat dengan tujuan untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan. Budaya sibuk untuk terus bekerja lebih cepat dan lebih kuat di semua bidang serta mencoba menghabiskan waktu sebanyak mungkin di tempat kerja. Budaya hustle pun terlihat seperti latihan motivasi berenergi tinggi dengan harapan akan imbalan serta keyakinan bahwa usaha yang cukup akan menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Hal ini berkorelasi dengan semangat dan ambisi generasi muda dalam dunia profesional atau dunia kerja yang kerap dikaitkan dengan motivasi, produktivitas dan performa kerja, sehingga budaya kerja keras mendorong mereka untuk kerja terus menerus, kapan saja, di mana saja dan membentuk lingkungan serba cepat sehingga menyebabkan jam kerja yang panjang. Dikutip dari bbc indonesia.com, “Laporan ADP Research Institute’s People at Work 2023 mensurvei 32.000 pekerja di 17 negara, menunjukkan bahwa orang-orang yang berusia 18 hingga 24 tahun cenderung bekerja ekstra selama delapan jam dan 30 menit bebas kerja per minggu dengan memulai lebih awal, lembur atau bekerja saat istirahat dan makan siang”. Menurut Nela Richardson divisi ekonomi di ADP Research Institute, ketidakamanan kerja tampaknya menjadi pendorong terbesar di balik ketekunan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Selain itu dalam lingkungan ekonomi yang tidak stabil, di mana mereka kesulitan untuk mengumpulkan kekayaan dan mencapai tonggak kesuksesan rasanya pekerjaan bisa hilang kapan saja, dan menimbulkan kecemasan.
Social Comparison
Hustle culture sering kali didorong oleh pengaruh eksternal, terutama dengan berkembangnnya teknologi yang memungkinkan orang lain untuk menampilkan “aktivitas produktif” mereka di media sosial. Hal ini memicu fenomena Social Comparison dimana individu cenderung membandingkan diri dengan pencapaian orang lain dan merasa tidak puas jika tidak terlihat produktif. Hal ini pula salah satu cara untuk membentuk identitas dan status sosial, karena dianggap selalu kerja keras dengan produktivitas yang tinggi sehingga lebih mudah untuk mencapai kesuksesan.
Social comparison dan hustle culture ini saling memperkuat karena memicu rasa tidak puas dan tekanan untuk mengikuti standar kesuksesan yang sering kali tidak realistis sehingga mendorong generasi muda untuk terjebak dalam pola kerja berlebihan yang merugikan kesejahteraan fisik dan mental generasi muda.
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terjebak dalam hustle culture sering merasa bersalah saat mengambil waktu istirahat meskipun bekerja sesuai jam kerja normal (7-8 jam per hari). Ketakutan dengan membentuk diri yang selalu sibuk ini dilakukan generasi muda tak lain karena adanya keterikatan antara social comparison dengan keinginan untuk meraih kesuksesan dengan mencapai kestabilan secara finansial serta diakui status sosialnya.
Kesibukan tidak hanya meningkatkan stres dan kecemasan, tetapi juga membuka jalan bagi sejumlah masalah lain yang berdampak pada kesehatan mental, emosional dan fisik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan 745.000 kematian akibat stroke dan penyakit jantung yang diakibatkan karena terlalu banyak bekerja dalam satu tahun. Menurut psikolog Samanta Elsener, perilaku akibat hustle culture bisa menyebabkan seseorang meninggalkan tanggung jawab dan mudah marah bahkan sering overthinking.
ADVERTISEMENT
Selain itu akan berkontribusi pada stress dan kecemasan kronis, yang mengurangi keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kenyataannya adalah tidak ada orang yang bisa siap sedia 24/7/365 untuk selalu bekerja.
Tekanan Finansial
Tekanan finansial menjadi salah satu faktor yang mendorong generasi muda terjebak dalam hustle culture. Belum adanya kestabilan dalam ekonomi serta meningkatnya biaya hidup, mengharuskan generasi muda untuk bekerja lebih keras atau menambah pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi ini mendorong banyak generasi muda untuk melakukan pekerjaan tambahan. Selain itu menurut Badan Pusat Statistik , tingkat pengangguran terbuka pada usia (15-24 tahun) di Indonesia mencapai sekitar 16% pada tahun 2023. Hal ini tentunya akan menciptakan persaingan ketat dalam mencari pekerjaan stabil dan menambah tekanan bagi generasi muda untuk bisa mencapai kestabilan finansial. Tekanan finansial ini akan mendorong generasi muda melakukan hustle culture, bekerja lebih keras bahkan mengorbankan kesehatan fisik dan mental, karena dalam hustle culture produktivitas berlebihan dianggap sebagai hal positif dan menjadi cara untuk mencapai stabilitas finansial dan bisa dikatakan sukses.
ADVERTISEMENT
Menyusun Ulang Definisi Kesuksesan
Mencapai stabilitas keuangan tidak harus untuk bekerja selalu sibuk namun bagaimana pekerjaan tersebut dapat bermanfaat secara pengetahuan dan skil yang pada akhirnya memberikan hasil yang sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Mengelolah keuangan ataupun gaji menjadi hal yang penting karena dengan cara tersebut generasi muda bisa memperkirakan kondisi keuangannya dalam mencapai stabilitas keuangan yang mereka inginkan. Dibandingkan dengan mengadopsi budaya hustle yang ekstrem, para generasi muda perlu menyadari pentingnya work life balance dan menjaga kesehatan mental.
Seperti (Hanum Salsabila Zakia Lulusan dari Universitas Teknologi Yogyakarta), sebagai seorang Fresh graduated yang baru saja terjun di dunia kerja menyadari pentingnya untuk menerapkan Work Life balance. “Adanya keseimbangan antara waktu untuk kerja dan bersosial, jangan mencampur kedua hal tersebut karena akan berpengaruh kepada diri kita”. Kata Hanum
ADVERTISEMENT
Hal ini pun membuktikan bahwa mereka tidak perlu bekerja keras atau ambisius, tetapi lebih pada menemukan cara untuk bekerja secara efektif tanpa mengorbankan aspek lain dalam hidup.
Budaya hustle mendorong generasi muda untuk selalu sibuk dan bekerja tanpa henti bukanlah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Kesuksesan yang sejati adalah ketika seseorang mencapai tujuan hidupnya tanpa mengorbankan kesehatan mental, fisik dan hubungannya dengan orang-orang di sekitar. Generasi muda perlu memahami bahwa hidup adalah perjalanan jangka panjang, keberhasilan tidak hanya diukur dari kesibukan atau banyaknya proyek yang dikerjakan dan tidak membandingkan tingkat kesuksesan dengan orang lain karena pada akhirnya keberhasilan akan lebih bermakna jika kita menikmati setiap prosesnya serta memberikan waktu istirahat untuk diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT