Membaca Manuver Politik Panglima TNI

Badrul Arifin
Alumnus S1 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Aktivis Sanggar Maos Tradisi (SMT). Pernah bekerja di Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS.
Konten dari Pengguna
10 Juni 2017 6:25 WIB
Tulisan dari Badrul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panglima TNI Gatot Nurmantyo (Foto: Beawiharta/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Gatot Nurmantyo (Foto: Beawiharta/REUTERS)
ADVERTISEMENT
"Sudahlah, fokus saja kepada tupoksi sebagai alat pertahanan. Enggak usah berpolitik. (Gatot) Enggak usah genit-genit dalam berpolitik," ujar Masinton, seusai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Rabu (24/5/2017).
ADVERTISEMENT
Penulis sepenuhnya sepakat dengan apa yang dikatakan politikus PDI-Perjuangan ini. Bagi penulis, Jenderal Gatot Nurmantyo sudah offside dari posisinya sebagai Panglima TNI. Sejak terpilih menjadi Panglima TNI pada 2015 lalu, ia kerap melakukan manuver politik dengan bersikap dan mengeluarkan berbagai pernyataan kontroversial.
Kegelisahan penulis terhadap manuver-manuver politik Jenderal Gatot bukanlah tanpa alasan. Kita tahu bangsa ini mempunyai kisah traumatik taktala rezim junta militer memegang kekuasaan selama lebih dari 30 tahun.
Sejarah telah membuktikan di bawah rezim junta militer, represifitas terjadi di mana-mana dan kapan saja. Tentunya kita semua tak mau sejarah kelam itu kembali terulang.
Banyak Bermanuver
Kisah itu dimulai taktala Jokowi mengajukan nama KASAD Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal Panglima TNI kepada Komisi I DPR RI.
ADVERTISEMENT
Padahal bila mau mengikuti tradisi bergiliran pengisian jabatan panglima TNI, seharusnya kali ini calon Panglima berasal dari unsur Angkatan Udara bukan Angkatan Darat. Entah menyesal atau tidak, yang pasti keputusan Jokowi telah memberi konsekuensi terciptanya iklim politis di tubuh TNI.
Kita tentu masih ingat bagaimana secara sepihak, Gatot menghentikan hubungan latihan perang dengan Tentara Australia. Padahal secara prosedur harusnya penghentian itu harus disetujui oleh Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Presiden.
Kemudian Panglima kelahiran Tegal, 13 Maret 1960 ini disebut-sebut terlibat dalam mobilisasi gerakan islam konservatif yang mengepung Jakarta di akhir tahun 2016.
Gambar sang Panglima yang kerap dipakai dalam pelbagai poster maupun meme yang diposting oleh akun-akun sosial media dari golongan islam politik setidaknya mengindikasikan bahwa ada hubungan harmonis antara Panglima dengan kalangan islam politik.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperkuat dengan laporan dari Allan Nairn, seorang Jurnalis Investigatif yang mempunyai track record dalam meliput aktivitas militer di Indonesia, dalam laporannya Nairn menyatakan bahwa Jenderal Gatot terlibat dalam rencana makar terhadap pemerintahan Jokowi.
Meskipun laporan Nairn itu telah dibantah Gatot dengan tetap menegaskan bahwa Jokowi adalah Panglima tertinggi TNI dan karenanya ia tak mungkin berkhianat. Tak lupa ia juga menyatakan bahwa Allan Nairn adalah orang gila, sehingga tak perlu ditanggapi.
Akan tetapi, meskipun sang jenderal dengan tegas membantah, gelagatnya yang terus-menerus mengeluarkan berbagai pernyataan politis semakin memperkuat suatu sinyalemen bahwa Sang Jenderal haus akan kekuasaan.
Tak selesai sampai di situ, ia kembali bermanuver. Di Rapimnas Partai Golkar pada pertengahan bulan lalu ia tak sekadar menghadiri undangan rapimnas, lebih dari itu ia membacakan puisi karya Denny JA dengan judul ‘’Bukan Kami Punya’’.
ADVERTISEMENT
Puisi tersebut memuat bait-bait yang menyindir pemerintahan saat ini. Sesuatu yang sebenarnya tak etis dilakukan oleh seorang Panglima TNI yang secara institusi merupakan bagian dari pemerintahan saat ini.
Seharusnya Panglima TNI menyadari bahwa TNI merupakan bagian dari pemerintahan. Kritikan panglima TNI juga menjadi sebuah senjata makan tuan yang seharusnya mengenai tubuh TNI itu sendiri. Seolah-olah pesan kritik panglima melalui puisi, memberikan kesan bahwa TNI merupakan institusi yang terpisah dari Pemerintah.
Atau dengan kata lain, puisi Gatot menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Dengan bermaksud menelanjangi situasi dan kondisi faktual, sama halnya Gatot membeberkan ketidakbecusan pemerintah –suatu organisasi di mana Gatot duduk sebagai salah satu pemimpin strategisnya.
ADVERTISEMENT
Menukil dari statemen politikus PDIP lainnya, Andreas Pareira, Panglima TNI ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Sudah banyak yang menilai bahwa Jenderal Gatot memiliki maksud lain. Salah satunya artikel dari Rahmat Tayib Chaniago.
Ia menilai Jenderal Gatot tengah membangun pencitraan sebagai orang yang paham mengenai situasi dan kondisi bangsa saat ini, atau boleh jadi menyasar kontruksi sebagai calon pemimpin bangsa masa depan. Apalagi nama Jenderal Gatot disebut-sebut dalam bursa calon wakil presiden yang hendak di ajukan Golkar pada 2019 nanti.
Seolah tak jera dengan manuvernya, Jenderal Gatot kembali mengeluarkan statemen kontroversial. Dalam pernyataannya kala mengisi safari Ramadan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta baru-baru ini, Ia mengatakan:
ADVERTISEMENT
Secara substansi, pernyataan tersebut jika dibaca sepintas bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Akan tetapi jika kita baca secara saksama, Jenderal Gatot sebagai representasi TNI tidak pantas megatakan demikian.
Kritik terhadap demokrasi itu adalah wilayah sipil, bukan militer. Dalam konteks inilah kritik Panglima TNI terhadap demokrasi itu menjadi berlebihan.
Yang paling anyar adalah kengototan Jenderal Gatot yang menginginkan dilibatkannya TNI dalam penanganan Terorisme dalam RUU Terorisme yang sedang digarap oleh DPR. Sebab baginya terorisme itu adalah kejahatan luar biasa.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kehendak Jenderal Gatot mendapat penolakan dari Aktivis HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka beranggapan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme hanya akan mengancam supremasi sipil.
Menurut Ketua SETARA Institute Hendardi, pelibatan TNI secara eksplisit harus ditolak dengan alasan:
ADVERTISEMENT
Tentunya kita yang anti terhadap dwi fungsi ABRI dan pro terhadap supremasi sipil akan menangkap betapa manuver-manuver Jenderal Gatot menunjukkan sinyal jarum jam perjalanan bangsa akan kembali diputar ke belakang, ke rezim otoritarian Orde Baru, di mana tentara berpolitik di wilayah sipil.
Orde Baru (Foto: Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Orde Baru (Foto: Canva)
Diberi Panggung
Bila mau dibandingkan dengan era SBY dalam mengelola militer, tak ada satupun Panglima TNI yang ganjen bermanuver seperti Jenderal Gatot. Para Panglima TNI di bawah kepemimpinan SBY terlihat patuh terhadap panglima tertinggi TNI. Tak ada Panglima yang wara-wiri berbicara di banyak kesempatan. Selain itu tak ada yang berani mengkritisi ataupun mendahuli sikap Sang Presiden.
Barangkali kita akan menilai bahwa SBY yang sebagian pengamat mengatakan berasal dari kalangan militer reformis ini tau betul bagaimana menjinakkan militer, lebih khusus di kalangan elitnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan era Jokowi, Ia terlihat masih meraba-raba melihat watak dari kalangan elit militer. Sehingga hal ini berimbas pada sikapnya yang kurang tegas dan menjurus kearah kompromistis.
Jokowi sejatinya paham bahwa untuk menciptakan target pertumbuhan ekonomi, Ia butuh stabilitas keamanan dan pertahanan. Sehingga mau tidak mau ia merangkul kalangan elit militer dan tidak mau mengambil risiko dengan berlaku tegas kepada mereka.
Maka dari itu, Jokowi terkesan membiarkan Panglima TNI bebas bermanuver dan membangun wacananya soal negara ini sendiri. Sehingga tak heran namanya semakin hari semakin populer di tengah masyarakat.
Namanya pun dieluelukan untuk menjadi calon pemimpin masa depan bangsa. Maka jangan heran kalau Ia semakin laris menjadi pembicara dipelbagai ruang-ruang publik.
ADVERTISEMENT
Beragam rentetan pernyataan-pernyataan kontroversial yang berbau politis tersebut terjadi akibat sang Jenderal terlalu banyak diberi panggung. Panggung inilah yang coba dimanfaatkan Jenderal Gatot untuk mengumpulkan modal sosial-politik demi meraih legitimasi dan simpati publik.
Pertanyaan pun timbul: mengapa ia banyak mengisi mimbar-mimbar sipil? Apakah Jenderal Gatot sendiri yang meminta panggung atau jangan-jangan memang ada yang sengaja memberinya panggung?
Salah satu institusi yang kerap memberi Panglima TNI adalah kampus. Anehnya, di banyak kesempatan, semakin ke sini kampus-kampus sebagai lambang supremasi sipil yang secara ideologi berlawanan dengan militerisme acapkali mengundang sang jenderal untuk berbicara soal politik di hadapan civitas akademikanya.
Membaca Manuver Politik Panglima TNI (2)
zoom-in-whitePerbesar
Fenomena ini menunjukkan bahwa kampus tidak percaya diri akan kemampuannya dalam menganalisis dan memecahkan persoalan politik nasional sehingga menyandarkan permasalahan ini ke bahu serdadu pun adalah kunci jawaban terbaik.
ADVERTISEMENT
Padahal kita semua tau bahwa 20 tahun lalu kampus menjadi agent terdepan dalam menolak hal yang berbau militerisme. Di titik inilah kampus mengalami krisis dan secara sadar atau tidak, kampus memberikan legitimasi terhadap Militer bahwa ia masih dibutuhkan di tengah carut marut perpolitikan nasional kita.
Penulis masih ingat di akhir tahun lalu, penulis bersama teman-teman aktivis pro demokrasi mengorganisir dan melakukan protes untuk menolak kedatangan Jenderal Gatot ke UGM untuk berbicara soal Nasionalisme dan Kebangsaan.
Kami sepakat bahwa jika diskusi bersama Jenderal Gatot jadi terlaksana itu sama artinya dengan melakukan remiliterisasi kampus dan mengkhianati cita-cita reformasi yang menghendaki profesionalitas militer.
Akhirnya setelah melakukan serangkaian diplomasi dan pencerdasan terhadap pihak penyelenggara acara tersebut pun batal digelar.
ADVERTISEMENT
Bila berkaca dari peristiwa tersebut, sudah selayaknya masyarakat sipil perlu peka terhadap manuver-manuver politik yang dilancarkan Panglima TNI dan apa ancamannya buat kita.
Kita juga perlu paham bagaimana TNI seharusnya menempatkan posisinya sebagai professional army—yakni sebagai alat pertahanan Negara saja yang bekerja dalam kerangka defence and security reform—artinya ia sekadar bekerja sesuai porsinya dan bukan di ranah politik ataupun sipil.
Sebab reformasi telah mengamanatkan kita untuk memegang teguh prinsip dari doktrin: ‘’TNI Kembali ke Barak’’.
Oleh karena itu, sudah seyogyanya Panglima TNI memegang penuh prinsip Profesionalitas dan Kenetralan TNI. Jangan sampai menjadikan institusi TNI sebagai tunggangan demi memuaskan hasrat politik semata.
Saran penulis, jika Jenderal mau berpolitik tunggulah sampai masa pensiun tiba.
ADVERTISEMENT