Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
Repotnya Bikin Peta Dunia Karena Pergeseran Medan Magnetik Bumi
18 Januari 2019 20:04 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
ADVERTISEMENT
Ilustrasi. (Pixabay)
BANDUNG, bandungkiwari – Sistem navigasi menjadi yang paling terdampak akibat perubahan medan magnet bumi yang menjadi pusat perhatian ilmuwan dunia baru-baru ini. Para ilmuwan dituntut bekerja keras untuk memperbarui peta dunia yang sebelumnya direvisi tiap 5 tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Guru Besar geofisika global dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Satria Bijaksana , mengatakan perubahan posisi medan magnetik sebagai hal yang lazim. Karena itu ilmuwan sudah mengantisipasinya dengan mendirikan stasiun-stasiun yang memantau medan magnetik bumi.
Total ada sekitar 300 stasiun medan magnetik di seluruh dunia, dua stasiun di antaranya terdapat di Indonesia, yakni di Tangerang dan Lombok. Untuk merevisi peta, para ilmuwan mengumpulkan data magnetik dari semua stasiun tersebut. Semua data diolah, diverifikasi, dan dibikin World Magnetic Model.
Model ini menjadi sumber dalam menentukan peta terbaru dan lengkap. Satria menerangkan, model inilah yang menentukan sistem navigasi.
“Jadi kalau sekarang kita punya pesawat terbang di Eropa utara, kalau terjadi sesuatu dengan GPS, bagaimana mereka bisa menemukan posisi. Mereka balik ke kompas. Tapi kompas mereka harus dikalibrasi karena yang ditunjukan kompasnya bukan utara sebenarnya, jadi perlu peta. Nah koreksi itu bisa berbeda dari waktu ke waktu, kalau ada model itu ada petunjuk kalibrasi buat kompas,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Selain untuk pesawat terbang, banyak sekali yang tergantung pada navigasi berdasarkan medan magnetik bumi, seperti pengeboran minyak, pengendalian satelit, penentuan posisi kapal selam, dan lain-lain.
Masalahnya, jika kecepatan gerak kutub seperti yang terjadi saat ini, para ilmuwan memerlukan model yang dibuat kurang dair 5 tahun sekali. Jika pembuatan model tetap dilakukan 5 tahun sekali, maka pembaruan peta dikhawatirkan terlambat.
Namun untuk membuat model kurang dari 5 tahun sekali, menurut Satria, cukup merepotkan meski mungkin saja dilakukan.
“Sebetulnya agak tricky. Trickynya begini, ini data dikumpulkan dari kurang lebih 300 stasiun seluruh dunia. Datanya dikumpulkan, dianalisa, butuh waktu berapa lama. Begitu hasil, harus verifikasi, begitu diterbitkan, kemudian ganti lagi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Memang hal itu masih mungkin dilakukan, tapi tentunya memerlukan sumber daya manusia maupun dana yang besar. “Sebenarnya ga apa-apa cuma dari segi effort ini kayaknya sesuatu yang sepadan antara hasil yang diinginkan dengan resource dan biaya yang diperlukan,” katanya.
Meski demikian, dengan teknologi komputasi yang ada sekarang ini bisa saja model tersebut dikerjakan dalam waktu lebih singkat. Model ini terutama diperlukan bagi negara-negara yang terdampak akibat pergerakan medan magnetik bumi seperti Amerika dan Eropa.
Untuk negara-negara yang memiliki medan magnetik yang lemah seperti Indonesia, relatif tidak terpengaruh dengan pergeseran medan magnetik. Misalnya menurut World Magnetic Model 2015, perubahan posisi Indonesia terhadap kutub magnet utara sebesar 1 derajat. Sementara di negara lain ada yang mencapai 4 derajat. “Kita di Indonesia tenang. Perubahan di Indonesia kecil,” kata alumnus ITB yang S2 dan S3-nya diraih di Kanada. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
Live Update