Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sepatu Bukan Hanya Bungkus Kaki
24 Juli 2018 15:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Gally Magido Rangga, bos sepatu Wayouts dan Exodos57, menunjukkan produk sepatunya. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Anda pernah menonton film Iran “Children of Heaven” yang disutradarai Majid Majidi? Jika sudah, tentu Anda mendapatkan satu paparan kisah perjalanan kakak beradik dari keluarga miskin yang hilang sepatu dan harus bergantian menggunakan sepatu lusuh untuk sekolah.
Derai air mata dan simbol kemuraman hidup terus berkelindan dalam setiap adegan film tersebut. Terutama dua tokoh anak kecil yang bernama Ali dan Zahra yang begitu bersikeras ingin memiliki sepatu baru, tetapi mereka tidak mampu wujudkan karena ketidakberdayaan ekonomi.
Irama sendu yang berbalut semangat perlawan dalam film “Children of Heaven” melarikan ingatan pada sosok Gally Magido Rangga (35) seorang pemilik brand sepatu Wayout dan Exodos. Mungkin tidak banyak orang yang mengenal Gally di balik label sepatu Wayouts dan Exodos57 yang terkenal itu.
ADVERTISEMENT
Lelaki yang pernah merasakan kerasnya dunia jalanan Bandung itu memang lahir dari ketidakberdayaan. Gally seperti Ali tokoh dalam film “Children of Heaven”. Keinginan memiliki sepatu dimiliki mereka berdua, tetapi bukan berarti menyerah pada nasib begitu saja.
“Dulu saya ingin punya sepatu tapi ga bisa karena ga punya duit,” ucapnya merunut sejarah awal bisnis sepatu.
Keinginan memiliki sepatu menjadi kereta dorong yang perlahan memindahkan tubuh dan semangat Gally dari dunia jalanan ke dunia perusahaan. Sepatu boots menjadi pupuk yang menyemai dan menumbuhkan keinginan merubah hidup yang sekian lama kering diterjang debu jalanan.
Perajin menyelesaikan pembuatan sepatu merk Wayout dan Exodos57 di bengkel produksi. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
Berawal dari menjual sepatu perempuan bersama sang rekan Klaudia, Gally menasbihkan diri sebagai shoesmaker. Satu klaim yang sungguh luar biasa nekat dilakukannya, karena saat itu jujur dirinya tidak sedikitpun memahami dunia sepatu.
ADVERTISEMENT
Membawa semangat seorang Samurai tak bertuan, Gally mempelajari jalan pedang pembuat sepatu. Setiap usaha sepatu, produksi, bahan dan desain selalu menjadi perhatiannya. Dirinya memantau, membidik bahkan menyusun strategi penyerangan. Tepatnya adalah Cibaduyut yang menjadi petapaan dan penempaan diri.
Baca Juga: Menjaga Pusaka Sepatu Perajin Cibaduyut
Meski jalanan yang selama ini menjadi rumah dia tinggalkan, tetapi tungku pemberontakan yang dia cecap di jalanan tak pernah dia matikan. Sampai dirinya memantapkan diri menjadi pembuat sepatu dengan karakter dan keinginannya sendiri.
”Kisaran Februari 2011 saya mulai usaha sepatu yang saya beri nama Wayout,” ucapnya dengan mata menerobos celah pepohonan siang itu.
Label Wayout yang kini berdiri di singgasana merek sepatu lokal sebenarnya bukan hanya sebatas merek. Wayout yang berarti jalan keluar bagi Gally merupakan solusi sekaligus penegasan untuk menjadi manusia baru yang memiliki sasaran bidik lebih jelas di masa depan.
ADVERTISEMENT
Gally yang ditemui di bengkel dan tempat jualan di daerah Buah Batu Bandung ini, menegaskan jika modal usahanya sebenarnya hanya kenekatan semata. Diawali modal Rp2 juta hasil menjual sepatu perempuan dari orang lain, diolahlah modal tidak seberapa itu menjadi bisnis berdua antara Gally dan Klaudia.
Perjalanan bisnis tentu tidak mudah, begitu pula yang dirasakan Gally. Berbagai kendala dialaminya dalam mengembangkan bisnis sepatu. Apalagi sebagai orang yang tidak memiliki bekal pendidikan seni, desain atau menejemen, membuatnya goyah.
“Jalanan memberi saya modal semangat pantang menyerah,” ucap lelaki yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) ini.
Perajin menyelesaikan pembuatan sepatu merk Wayout dan Exodos57 di bengkel produksi. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
Gally mengakui dengan tegas investasi mental yang dia dapat dari jalanan yang keras, memberinya banyak keliaran dalam berpikir dan menyelesaikan persoalan dengan baik. Hal itu pun yang pada akhirnya memberi karakter khas pada konsep desain sepatu Wayout buatannya.
Mempertahankan karakter sepatu buatannya memang menjadi nilai yang khas di mata para kolektor dan pencinta sepatu. Karakter Wayout yang sangar dengan pola desain dan warnanya yang khas melahirkan produk sepatu yang lebih raw tidak rapi. Sementara untuk warna Wayout terkenal dengan warna cokelat tan, oliv, dan hitam.
Selain mengandalkan desain yang khas menurut Gally, kolaborasi dan komunitas merupakan dua mata pisau yang ampuh dalam menjalankan bisnis sepatunya. Baginya memadupadankan 2 hal tersebut salah satu cara pengembangan bisnis sepatunya.
ADVERTISEMENT
“Setelah Wayout stabil, saya mencoba membuka segmen pasar baru yang lebih muda yakni Exodos57,” ucap Gally seraya menjelaskan Exodos57.
Exodos57 sebagai brand baru dirinya, mulai lahir pada 2016. Menurutnya Exodos57 memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan dengan Wayout. Exodus sendiri diambil dari bahasa Yunani yang berarti jalan keluar, sedang 5 mengandung makna anugerah dan 7 merupakan dari kesempurnaan.
Di luar dugaan Gally sendiri, Exodos57 yang lebih bergenre sneakers ini mendapat respons positif dari pasar. Sepatu kanvas-kulit yang mengusung penggabungan bahan kulit, kanvas, dan tenun dari Yogyakarta ini digemari banyak kalangan. Tidak tanggung-tanggung Presiden Joko Widodo yang menggemari sepatu sneakers pun melirik produk ini.
Terlepas dari bahasan tersebut, menurut Gally memulai usaha apa pun harus diawali dari sesuatu yang disukai. Hal yang disukai menurutnya akan membuat pekarya melahirkan produk-produk yang memiliki ruh.
ADVERTISEMENT
“Jangan ngikut sesuatu yang lagi tren. Tapi coba buat sendiri, agar produk kita memiliki karakter yang berbeda,” tegasnya.
Gally memang telah melampui Ali tokoh anak kecil dalam film “Children of Heaven”. Dirinya tidak hanya mampu membeli sepatu, melainkan membuat sepatu untuk dirinya dan orang lain. Dari sepatu itulah kini mantan pengamen itu berdikari dan meneriakkan kegelisahan hidupnya sekian lama di jalanan.
Sepatu itu bukan bungkus kaki, melainkan cermin siapa dirimu sesungguhnya. (Agus Bebeng)