Konten dari Pengguna

Dilema Manusia Gerobak di Ibu Kota

Allbi Ferdian
Jurnalis kumparan.com
7 Juni 2018 1:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Manusia Gerobak. (Foto: Antara/Dodo Karundeng)
zoom-in-whitePerbesar
Manusia Gerobak. (Foto: Antara/Dodo Karundeng)
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang yang tinggal di Ibu Kota, seperti Jakarta, munculnya manusia gerobak saat menjelang Lebaran sudah menjadi pemandangan biasa.
ADVERTISEMENT
Mereka menghiasi setiap trotoar, membawa gerobak dengan setumpuk barang bekas di dalamnya. Gerobak-gerobak itu dihiasi oleh anak-anak yang terpaksa mengikuti sang pemacu roda. Kemudian mereka berteduh di bawah pohon sembari menggelar alas duduk yang terbuat dari kardus bekas.
Dari sekian banyak manusia gerobak, sejatinya mereka terbagi menjadi dua golongan.
Pertama, manusia gerobak yang telah lama tinggal di Ibu Kota, dan bertahun-tahun berprofesi sebagai pemulung
Manusia Gerobak di Kawasan Condet (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Manusia Gerobak di Kawasan Condet (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Salah satu contohnya adalah Yanti. Dilansir dari kumparan.com, wanita berusia 35 tahun ini, telah mengadu nasib selama bertahun-tahun sebagai manusia gerobak bersama putrinya yang masih berusia 5 tahun. Ia mampu bertahan hidup dengan memulung kardus dan botol bekas untuk dikumpulkan dan dijual kepada pengepul.
ADVERTISEMENT
Dalam seminggu, ia bisa mendapatkan Rp 200 ribu dari hasil memulungnya. Yanti memastikan, bahwa selama ini, ia tak pernah meminta-minta kepada siapa pun. “Manusia gerobak itu ada banyak macamnya. Kalau saya tidak pernah meminta uang. Ada yang memulung, ada yang berpura-pura,” ujarnya.
Kedua, manusia gerobak musiman yang datang dari luar Jakarta, dan khusus beroperasi pada bulan Ramadan
Manusia Gerobak di kawasan otista (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Manusia Gerobak di kawasan otista (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Contohnya Sofyan (52), warga asal Brebes, Jawa Tengah. Ia merantau ke Jakarta bersama istrinya, Narsinah (50), dan dua orang anaknya, Dewi Sartika (8) dan Meli Safitri (15).
Sofyan mengaku tergiur dengan ajakan teman sekampungnya, yang mengatakan Jakarta akan ramai di bulan Ramadan. Namun, memulung bukan tujuan utama, melainkan mengemis dengan kedok sebagai pemulung.
ADVERTISEMENT
“Ya bawa-bawa gerobaklah, sekalian mulung, dan sekalian minta-minta. Paling sehari dapat Rp 200 ribu di kompleks warga,”
“Saya cuma musiman di sini. Siang hari kami berada di lapak, di bawah kolong Jalan Raya Pasar Minggu, dan bisa habis uang Rp 50 ribu, untuk rokok saya saja sudah Rp 20 ribu, jadi ya bisa habis sehari Rp 100 ribu sampai malam,” ucap Sofyan.
Untuk bisa memulung, Sofyan menyewa gerobak dari pengepul dengan biaya Rp 20 ribu per hari. Setelah Lebaran usai, ia berencana untuk kembali ke kampung halamannya.
Dari kasus tersebut, dapat kita lihat perbandingan antarkeduanya, di mana Yanti dan Sofyan memiliki penghasilan yang jauh berbeda. Hal inilah yang menjadi faktor melonjaknya urbaninasi saat menjelang Lebaran. Penghasilan yang menggiurkan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berada di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Lalu, dampak apa yang ditimbulkan dari fenomena tersebut? Adakah solusinya?
Respons Pemerintah
Dalam menyikapi hal ini, sebenarnya pemerintah telah memberikan imbauan kepada masyarakat. Pertama, Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi DKI Jakarta, Masrokhan, mengimbau kepada manusia gerobak untuk tak mengemis saat menjelang Lebaran.
Kedua, pemerintah telah mengadakan pangan murah, sehingga kehidupan masyarakat yang kurang mampu seharusnya bisa tercukupi.
Ketiga, masyarakat diimbau untuk membayar zakat, infak, dan sedekah ke tempat-tempat yang lebih terpercaya. Alasan ini mengacu pada dugaan adanya sebagian manusia gerobak yang muncul dari masyakarat yang berkecukupan.
Tiga kebijakan tersebut mungkin bisa menjadi alternatif dalam menyikapi masalah ini. Menimbang, pemerintah tidak bisa menindak tegas manusia gerobak tersebut, dikarenakan terbentur oleh Hak Asasi Manusia (HAM), di mana pemulung merupakan profesi yang selama ini dinilai tidak menyalahi aturan.
ADVERTISEMENT
Dilema Memberi Santunan
Terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tak bisa dimungkiri bahwa sebagian masyarakat mengalami dilema dalam memberi infak atau sedekah kepada para pengemis. Hal itu ditengarai dengan munculnya fenomena 'pengemis gadungan'.
Di sisi lain, saat bulan Ramadan, umat muslim dianjurkan untuk berlomba-lomba memberikan separuh rezekinya agar mendapatkan banyak pahala. Hal ini mengacu pada dalil berikut.
"Setiap amal manusia akan diganjar kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat. Allah Azza Wa Jalla berfirman: ‘Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya'' (HR. Muslim no.1151)
Sedekah Bukan Hanya dengan Uang
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu diketahui bahwa bersedekah tidak melulu tentang uang. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan santuanan kepada para pakir miskin, termasuk kepada manusia gerobak.
ADVERTISEMENT
Saya jadi ingat dengan iklan layanan masyarakat yang ada di kota Yogyakarta, "Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang," mungkin, kata-kata itulah yang seharusnya ditekankan kepada masyarakat.
Seperti pemerintah Yogyakarta yang mengimbau masyarakatnya untuk tidak memberikan uang kepada para pengemis. Melainkan menggantikannya dengan berbagai macam kebutuhan, seperti baju, celana, makanan, hingga kebutuhan sehari-hari.
Pemerintah juga mengimbau kepada masyarakat untuk memberikan sebagian uang kepada lembaga-lembaga pendidikan atau sosial dan keagamaan guna membantu para pakir miskin tersebut.
Hal ini bisa menjadi solusi untuk kemudian diterapkan di daerah perkotaan lainnya, salah satunya di Jakarta. Coba bayangkan, jika ini sampai diterapkan, maka manusia gerobak musiman akan membawa segudang baju hasil pemberian masyarakat yang mungkin bisa dibagikan kepada sanak saudaranya di kampung.
ADVERTISEMENT
Makan secukupnya selama hidup di kota, tidak menipu orang dengan berpura-pura sebagai pemulung, pulang membawa hadiah untuk tetangga dan keluarga. Bisa jadi, mereka akan berpikir ulang untuk kembali ke kota.
Tapi, semua itu kembali kepada diri kita masing-masing. Maukah menjadi bagian dari perubahan tersebut?