Duel Para Full-back Brasil di Final Liga Champions 2017

31 Mei 2017 14:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Alves merayakan kemenangan Juventus. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
zoom-in-whitePerbesar
Alves merayakan kemenangan Juventus. (Foto: Reuters/Alberto Lingria)
Sepak bola selalu tumbuh. Seiring semakin modernnya olahraga ini, taktik dan strategi semakin berkembang. Beberapa posisi yang pada era-era sebelumnya dianggap tidak terlalu penting, perlahan mencuat sebagai posisi yang teramat penting. Salah satunya adalah posisi full-back.
ADVERTISEMENT
Di era taktik dan strategi yang semakin kompleks, full-back amatlah penting. Seperti dalam sebuah tim yang tidak lagi menggunakan gelandang sayap ortodoks --laiknya Barcelona, Real Madrid, Juventus, atau Liverpool saat ini--, full-back amatlah dibutuhkan.
Pada era modern ini, para full-back tak hanya sekadar melakukan tugas pertahanan di sisi-sisi lapangan atau membantu tugas para pemain sayap saja. Tugas mereka lebih kompleks dari itu, terutama perihal melancarkan serangan. Full-back, pada tim-tim di atas, kini bertugas sebagai "satu-satunya" sumber serangan dari sisi paling pinggir lapangan (flank).
Karena di era modern ini, winger tidak lagi "sibuk" di flank, melainkan lebih banyak beroperasi di area halfspace dan bahkan ke area tengah. Jonathan Wilson, seorang analis sepak bola, pernah menyebut bahwa hal ini disebabkan karena banyak tim hanya menggunakan satu striker atau target man saja pada era ini. Imbasnya tugas pemain sayap lebih ditekankan membantu satu striker itu dan tugas winger diemban oleh para full-back.
ADVERTISEMENT
Dani Alves berduel dengan Alejandro Gomez. (Foto: Paolo Magni/ANSA)
zoom-in-whitePerbesar
Dani Alves berduel dengan Alejandro Gomez. (Foto: Paolo Magni/ANSA)
Maka, tak heran jika tim-tim top Eropa yang mengusung taktik tersebut terus disibukkan mencari full-back berkualitas. Tengok saja ketika bursa transfer dibuka, tim-tim itu kalang kabut memburu-buru full-back yang bagus. Karena dengan tugas yang lebih besar, kini hitungan seorang full-back bukan yang cepat larinya saja, namun juga piawai melepaskan umpan silang, handal melakukan tusukan, pintar mencari ruang, dan tentunya juga memiliki atribut defensif yang teramat baik.
Sialnya, full-back dengan kemampuan yang sedemikian komplet seperti itu tak banyak. Dan untuk mendapatkannya pun klub-klub itu harus berebutan. Makanya kita tahu, tak setiap tim selalu berhasil mendapatkan full-back yang bagus. Kecuali satu tim ini. Ya, ada satu tim yang amat beruntung karena mereka selalu saja berhasil mendapat full-back yang bagus. Mereka bukan sebuah klub, melainkan sebuah tim nasional. Mereka adalah Brasil.
ADVERTISEMENT
***
Sejak era 1940 dan 1950-an, di mana kala itu formasi 3-2-2-3 --atau yang akrab disebut formasi WM-- sedang tenar-tenarnya, full-back hebat Brasil sudah muncul. Dengan formasi itu, dua full-back --dua dari tiga pemain di posisi paling belakang pada formasi WM-- sudah diberikan tugas menyerang yang lebih. Mereka bermain melebar dan turut dituntut agresif menyerang dalam memanfaatkan ruang di sisi lapangan.
"Mereka (Brasil) sudah melihatnya. Bahwa mereka memiliki ruang di depan mereka, di sepanjang garis pinggir lapangan yang bisa mereka manfaatkan. Ini adalah template dasar untuk sepak bola Brasil sejak saat itu," begitu tulis jurnalis BBC untuk Brasil dan Amerika Selatan, Tim Vickery, perihal bagaimana Brasil sudah menggunakan full-back sebagai strategi menyerang mereka.
ADVERTISEMENT
Kemudian ketika pada Piala Dunia 1958 formasi WM sedikit dimodifikasi pelatih Brasil kala itu, Vicente Feola, menjadi formasi 4-2-4, semakin terlihat jelas pentingnya full-back dalam tim Brasil. Dan pada turnamen itu, munculah duet full-back terbaik dalam sejarah sepak bola Brasil, Nilton Santos dan Djalma Santos.
Djalma Santos (kiri) dan Nilton Santos (kanan) (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Djalma Santos (kiri) dan Nilton Santos (kanan) (Foto: Wikimedia Commons)
Kedua pemain memiliki lari yang kencang, mempunyai tusukan-tusukan yang begitu tajam. Permainan menyerangnya begitu agresif. Tak hanya itu, Nilton Santos juga memiliki tendangan keras yang kerap ia gunakan untuk memecah kebuntuan Brasil, sementara Djalma lebih memiliki kemampuan defensif yang apik. Keduanya bermain di tiga Piala Dunia berbeda, di mana dua di antaranya berhasil dimenangi.
Setelah era dua Santos berakhir, Brasil belum kehabisan full-back hebat. Pada Piala Dunia 1970, ketika formasi 4-2-4 --yang ketika itu juga kerap dimodifikasi menjadi 4-2-3-1-- Brasil masih mengandalkan agresivitas full-back dalam melakukan serangan. Dan sosok yang mencuat, hadir di sisi kanan. Dia adalah Carlos Alberto.
ADVERTISEMENT
Alberto adalah salah satu full-back terkomplet yang pernah dimiliki Brasil. Dalam hal menyerang, dia cukup cepat, memiliki teknik individu yang luar biasa, dan juga bertubuh kekar. Dia adalah sosok yang tepat untuk menjadi alternatif serangan Brasil kala itu. Kebetulan di tim asuhan Mario Zagallo itu, full-back kiri Brasil, Everaldo, adalah penyeimbang yang bagus dalam bertahan.
Dalam era Alberto, Brasil juga berhasil meraih satu trofi Piala Dunia. Hebatnya, Alberto adalah kapten tim kala itu dan dia juga adalah penentu gelar Brasil setelah mencetak gol cantik ke gawang Italia di partai final. Gol itu bahkan sampai saat ini, menjadi salah satu gol terbaik yang pernah dicetak di gelaran Piala Dunia.
Setelah era Alberto, Brasil kembali dianugerahi full-back hebat. Pada Piala 1982 di mana mereka hanya menjadi semifinalis, Brasil memiliki duet Junior di kiri dan Leandro di kanan yang sangat agresif dan begitu apik dalam melancarkan serangan. Kedua pemain itu adalah penyempurna permainan Jogo Bonito yang diperagakan Brasil era tersebut. Junior bahkan oleh salah satu analis sepak bola, Benjamin Dalusma, disebut sebagai bek kiri terbaik yang pernah ada di dunia.
ADVERTISEMENT
Lompat agak jauh setelah era Junior-Leandro, ke era sepak bola yang lebih modern, Brasil kembali memiliki duet full-back yang begitu luar biasa. Bahkan duet ini disebut-sebut sebagai salah satu duet full-back yang pernah ada di dunia. Ini adalah duet Cafu dan Roberto Carlos. Cafu sebagai full-back kanannya dan Carlos sebagai full-back kiri.
Bek kanan legenda Brasil, Cafu. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bek kanan legenda Brasil, Cafu. (Foto: Wikimedia Commons)
Dalam formasi 4-3-2-1 yang diterapkan Luiz Felipe Scolari, Cafu dan Carlos adalah kunci serangan Brasil dari sisi-sisi sayap kala itu. Pasalnya, dalam formasi ini, tak ada satu pun pemain tengah atau depan Brasil yang merupakan seorang pemain sayap atau winger. Maka, Cafu dan Carlos dituntut harus bisa lebih agresif saat menyerang. Dan mereka memang melakukannya, dengan sangat baik bahkan.
ADVERTISEMENT
Situs Zonal Marking bahkan menyebut: "Mereka berlari lebih maju dari (era) sebelum-sebelumnya)." Atas dasar itu pula, banyak yang menyebut apabila formasi yang diterapkan Scolari sebenarnya adalah 3-4-1-2, dengan Edmilson selaku jangkar kerap mundur membantu Lucio dan Roque Junior sebagai bek tengah sementara Cafu dan Carlos merangsek naik membantu serangan.
Akan tetapi, Carlos dan Cafu bukannya cakap dalam menyerang saja. Mereka memang memiliki agresivitas dalam menyerang yang luar biasa, memiliki tusukan-tusukan yang amat baik, lihai dalam olah bola, dan umpan-umpan silang keduanya luar biasa. Carlos bahkan memiliki tendangan yang amat kencang dan akurat. Namun karena tumbuh di era modern, mereka juga adalah dua full-back yang piawai dalam bertahan. Cafu misalnya juga terkenal karena ia begitu sulit dilewati lawan.
ADVERTISEMENT
Kini era Carlos dan Cafu telah cukup lama berakhir. Duet kedua pemain yang memberikan trofi Piala Dunia 2002 untuk Brasil itu telah sama-sama pensiun dari dunia sepak bola. Namun (lagi-lagi) Brasil belum berhenti melahirkan full-back hebat. Pasalnya setelah era Carlos dan Cafu kini datang era Dani Alves dan Marcelo.
Alves serta Marcelo datang di saat era sepak bola yang semakin berkembang. Seperti yang sudah dituliskan di paragraf-paragraf awal: mereka berada di era di mana peran full-back menjadi semakin penting.
Mereka ada di era di mana mereka adalah sosok yang bertugas menyisir flank, melancarkan serangan dari sisi lapangan, juga kadang-kadang ditugaskan menusuk ke halfspace. Mereka juga dituntut pintar mencari ruang, cepat dalam melakukan transisi, dan kokoh dalam bertahan.
ADVERTISEMENT
Dan mereka adalah full-back yang bisa menjalankan tugas-tugas di atas. Mereka adalah contoh terbaik dari full-back masa kini. Mereka bukan hanya berperan seperti para full-back Brasil di atas, namun Alves dan Marcelo juga semakin menyempurnakan peran itu. Sayang saja memang, mereka belum berhasil mempersembahkan gelar Piala Dunia untuk Brasil.
Namun untuk ukuran klub, kedua pemain ini adalah pemain yang begitu sukses. Baik Marcelo dan Alves sama-sama sudah berhasil memenangi segala gelar di level klub. Mulai domestik sampai level Eropa. Menariknya, pada musim ini, untuk semakin menyempurnakan perolehan mereka, mereka bakal berduel demi memperebutkan sebuah gelar yang amat prestisius.
ADVERTISEMENT
Bersama klubnya masing-masing --Alves dengan Juventus dan Marcelo bersama Real Madrid-- mereka akan berduel dalam sebuah partai besar. Mereka akan bentrok dalam partai final Liga Champions musim ini yang akan dihelat di Millenium Stadium, Cardiff, pada Minggu (4/6) dini hari WIB kelak.
Alves dan Marcelo juga akan bentrok secara langsung. Bahkan selama 90 menit penuh. Pasalnya, mengingat keduanya adalah tumpuan serangan di sisi sayap, Alves sebagai bek kanan pasti akan kerap berduel dengan Marcelo yang seorang bek kiri. Kedua pemain ini akan saling mengalahkan demi bisa memaksimalkan serangan tim-tim yang mereka bela.
Lebih menarik lagi, saat ini kedua pemain juga tengah dalam performa yang bagus-bagusnya. Tengok saja, pada musim ini, sisi kiri yang dihuni Marcelo menjadi sisi di mana Madrid paling sering melancarkan serangan. Pasalnya 40 persen serangan Madrid berasal dari sisi Marcelo. Tak heran, jika pemain berambut keriting itu merupakan pemain dengan rataan dribel terbanyak kedua di kubu Madrid. Juga menjadi pemilik umpan kunci terbanyak kedua pula.
ADVERTISEMENT
Salah satu sosok penting Madrid. (Foto: Reuters/Miguel Vidal)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sosok penting Madrid. (Foto: Reuters/Miguel Vidal)
Kebetulan, hal yang sama berada di kubu Juventus. Sisi kanan yang dihuni Alves juga menjadi sisi di mana Juventus paling sering melakukan serangan. 40 persen serangan "Si Nyonya Tua" berasal dari sisi tersebut. Tiga gol dan empat assist yang diciptakan Alves juga menjadi bukti Juventus tak sia-sia menyerang dari sisi tersebut. Belum lagi ditambah catatan apabila Alves merupakan pemain Juventus dengan rataan umpan kunci paling banyak.
Karenanya tak heran apabila pada laga kelak bentrok kedua kesebelasan akan lebih banyak terjadi di area di mana kedua pemain itu berada. Pertanyaannya, siapa yang bisa lebih unggul? Marcelo bersama Madrid-nya atau Alves bersama Juventus-nya?
Oiya, sedikit trivia. Jangan lupakan pula sisi sayap seberangnya juga akan menghadirkan duel antar-dua pemain Brasil. Di mana Danilo selaku full-back kanan Madrid bakal berduet dengan full-back kiri Juventus yang dihuni Alex Sandro. Well, menurutmu, siapa yang akan jadi pemenangnya?
ADVERTISEMENT