Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Rendahnya Kesadaran Menghormati Privasi di Indonesia
28 September 2020 19:41 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 18 Agustus 2021 6:08 WIB
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Para fotografer sering mem-posting gambar wajah seseorang. Foto-foto yang dikategorikan portrait ini sering terlihat menarik. Biasanya berupa foto orang tua atau anak-anak yang ditampilkan secara artistik. Para youtuber lain lagi, mereka merekam street video atau prank yang menampilkan wajah seseorang dengan jelas.
ADVERTISEMENT
Kreativitas ini kemudian merambah pula ke dunia pemerintahan. Masih menggunakan media sosial, hasil rekaman kamera-kamera CCTV di jalan-jalan diunggah ke ruang publik. Tujuan awalnya untuk menunjukkan kondisi jalanan tetapi kadang-kadang kamera di-zoom in hingga memperlihatkan wajah seseorang. Umumnya foto atau video CCTV yang diunggah menampilkan perbuatan yang lucu atau pelanggaran aturan lalu lintas.
Follower atau penonton mungkin suka dengan foto dan video tersebut. Terlihat lucu, keren dan kreatif. Tetapi apakah itu etis? Sesungguhnya tidak. Bukan hanya tidak etis tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Tentu saja gambar public figure di ruang publik dikecualikan asal dalam pose wajar.
UUD 1945
Hak privasi dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) pasal 28G ayat 1:
ADVERTISEMENT
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Foto atau video yang diambil tanpa seizin orang tersebut bisa saja menyangkut kehormatan dan martabatnya atau rasa tidak aman untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Ambil contoh, mengorek hidung atau menggaruk bagian sensitif seperti pantat dan kemaluan. Perbuatan itu adalah hak asasi seseorang dan tidak melanggar hukum atau norma tetapi jika direkam kemudian disebarkan, maka bukan tidak mungkin menggangu kehormatan dan martabat orang tersebut.
UU Hak Cipta
Jika foto atau video seseorang disebarluaskan maka aturannya ada di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pasal 20 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa:
ADVERTISEMENT
Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang dibuat:
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret,
UU ITE
Jika foto atau video yang diambil tanpa izin tersebut disebarluaskan melalui media elektronik, maka jeratan hukumnya ada di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Pasal 27 UU ITE telah melarang:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, dan memiliki muatan pemerasan/pengancaman.
ADVERTISEMENT
KUHP
UU Hak Cipta dan UU ITE memang lebih mengatur tentang publikasi gambar tetapi proses pengambilan foto atau video itu sendiri bisa melanggar hak privasi bahkan menjadi pelecehan seksual. Misalnya mengambil foto atau video bagian tubuh seseorang secara diam-diam. Jika dianggap memenuhi unsur pidana, maka pelaku bisa dijerat dengan KUHP Pasal 289-296 tentang pencabulan (Kusumasari, 2011 ).
Komnas Perempuan sendiri mendefinisikan pelecehan seksual sebagai “tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.” (Alaidrus, 2019 ).
Kalau gambar yang diambil kemudian berbuntut penghinaan atau pencemaran nama baik, pidananya diatur dalam KUHP Pasal 310 yaitu tentang perbuatan menista dengan gambar.
ADVERTISEMENT
UU Pornografi
Lain lagi ceritanya kalau gambar yang diambil itu mengandung unsur pornografi seperti ketelenjangan, persenggamaan, masturbasi, kekerasan seksual, alat kelamin atau pornografi anak. Perbuatan memproduksi gambar semacam itu jelas dilarang oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) pasal 4 ayat 1.
UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik
Bagaimana jika pengambil dan penyebar gambar adalah jurnalis alias wartawan? Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur hak tolak yang harus dilayani oleh wartawan (Pasal 5 ayat 1 huruf c). Artinya narasumber memiliki hak untuk menolak diliput (Tobing, 2014 ).
Kode Etik Jurnalistik juga mewajibkan wartawan untuk menunjukkan identitas diri dan menghormati hak privasi narasumber dan orang lain (Pasal 2). Jadi, tidak ada ceritanya seseorang mengaku-ngaku wartawan kemudian mengambil gambar secara diam-diam lalu kemudian tayang di media massa. Jangan lupa, media massa zaman now sudah lebih banyak berbentuk online dan media sosial bahkan sering membawa dampak yang lebih dahsyat dari pada media massa.
ADVERTISEMENT
Ancaman hukum
Bagaimana sanksi terhadap perbuatan mengambil gambar orang secara diam-diam lalu menyebarluaskannya? UU Hak Cipta mengancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150 juta. Sementara dalam UU ITE diberikan ancaman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.
KUHP sendiri menetapkan pidana paling lama 9 tahun untuk pelanggaran pasal 289-296 dan untuk pasal 310 adalah penjara selama-lamanya 9 bulan dan 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4,5 juta.
UU Pornografi menjerat pelaku dengan penjara 6 bulan hingga 12 tahun dan/atau denda Rp 250 juta hingga Rp 6 miliar. UU Pers sendiri mengancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta untuk pelanggaran ketentuan jurnalistik, sedang sanksi lainnya dapat dijatuhkan oleh Dewan Pers.
ADVERTISEMENT
Kaidah internasional
Di negara-negara maju, hak privasi sangat diperhatikan, termasuk gambar pribadi. Mengambil gambar orang lain tanpa sepengetahuannya adalah tindakan yang tidak etis, apalagi menyebarluaskannya.
Di Jerman etika memotret di ruang publik cukup ketat. Tak jarang mereka menolak untuk difoto bahkan menegur dan meminta fotonya dihapus, sekalipun itu pekerja di tempat umum seperti pembersih, pekerja konstruksi, polisi, paramedis dan lainnya. Foto anak di bawah 18 tahun tidak boleh dipublikasi tanpa seizin orang tuanya. Foto keramaian diperbolehkan asal tidak terdapat pose yang memalukan (Kurniawan, 2017 ).
Pernah suatu kali di sebuah acara di Selandia Baru, seorang peserta dari Indonesia secara diam-diam mengambil foto seorang bule di dekatnya. Si bule ternyata menyadarinya dan sontak memrotes, “I’m not a public property!” yang artinya dia bukan fasilitas umum yang bebas untuk dipotret.
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda melihat wajah orang di Google Map? Kamera Google telah memotret hampir seluruh pelosok bumi ini tetapi setiap wajah yang tertangkap kamera akan dikaburkan. Hal ini dilakukan untuk menghormati privasi setiap orang yang ada di jalanan.
Pada portal-portal fotografi internasional atau ketika mengikuti kontes, pengelola biasanya meminta persetujuan (release) orang yang wajahnya terlihat jelas dalam foto yang dikirimkan. Pemilik foto tidak bisa mengunggah foto wajah orang lain tanpa seizin orang yang bersangkutan.
Pada tahun 2019 Facebook dinyatakan bersalah oleh pengadilan Federal AS atas pengambilan gambar wajah tanpa sepengetahuan penggunanya (“Pengajuan,” 2019 ). Facebook digugat pada tahun 2018 karena penggunaan teknologi pengenalan wajah yang menyimpan data biometrik wajah jutaan penggunanya.
Kesimpulan
Hampir semua negara memiliki aturan tentang privasi seseorang, tak terkecuali Indonesia. Sayangnya, masih banyak warga net di nusantara ini yang belum memahaminya, bahkan mereka yang bekerja untuk institusi pemerintah. Well, sebagian generasi milenial—penghuni terbanyak dunia maya—mungkin belum mengerti tentang hak privasi ini. Oleh karena, itu para pejabat berwenanglah yang bertanggung jawab untuk memberi arahan alias sosialisasi.
ADVERTISEMENT
Pengawasan dan penindakan adalah faktor lain dalam hal pelanggaran hak privasi ini. Karena sudah terbiasa dan tidak ada teguran apalagi sanksi maka pelaku-pelaku lain pun merasa nyaman mengambil dan menyebarluaskan gambar orang lain. Pengawasan dan penindakan tidak selamanya harus dari penegak hukum tetapi juga oleh masyarakat itu sendiri.
Faktor terakhir mungkin soal tingkat kebebalan seseorang. Seperti halnya membuang sampah, rasanya hampir semua orang dewasa tahu bahwa perbuatan membuang sampah sembarangan adalah salah, apalagi di sungai, danau atau laut. Tetapi toh masih banyak juga orang yang melakukan itu.
Sosialisasi, pengawasan dan penindakan seyogyanya memberi dampak penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menghormati privasi orang lain, termasuk untuk penurunan tingkat kebebalan tersebut. (*)
ADVERTISEMENT