Apakah Pacaran Itu Dosa? Ini Penjelasannya dari Sudut Pandang Islam

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
29 September 2021 13:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasangan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rasa cinta dan kasih adalah fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Seorang Muslim bisa menyalurkannya kepada pasangan halal dalam ikatan pernikahan yang sah. Namun, ketidaksiapan mental dan finansial membuat seseorang lebih memilih pacaran dibanding menikah.
ADVERTISEMENT
Pacaran identik dengan hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung dalam waktu tertentu. Menurut Nessi Meilan, dkk. (2019) dalam buku Kesehatan Reproduksi Remaja: Implementasi PKPR dalam teman Sebaya, pacaran merupakan hubungan di mana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar lebih mengenal satu sama lain.
Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah, Islam mengenalnya dengan istilah khitbah atau meminang.
Lantas bagaimana dengan pacaran? Apakah pacaran itu dosa? Untuk mengetahui penjelasan lengkapnya, simak artikel berikut.

Hukum Pacaran dalam Islam

Ilustrasi pasangan. Foto: Shutter Stock
Ada banyak pendapat ahli agama yang membahas tentang hukum pacaran dalam Islam. Mayoritas mengatakan haram karena dapat mendekatkan pelakunya pada perbuatan zina.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, tidak sedikit pasangan yang berpacaran kerap menghabiskan waktu berdua di tempat yang sepi dan tenang. Mereka saling berbagi kasih satu sama lain melalui tindakan mesra yang dilarang dalam agama.
Yang demikian bisa menjadi permulaan dari perbuatan zina. Sehingga Allah Swt berfirman dalam surat al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”
Kemudian Rasulullah SAW juga bersabda:
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.” (muttafaq alaihi).
ADVERTISEMENT
Dua dalil tersebut secara tersirat menjelaskan bahwa, Islam memberikan peringatan kepada umat Muslim tentang larangan pacaran. Tujuannya agar seseorang tidak terjerumus kepada perzinaan yang umumnya diawali dengan situasi berduaan.
Ilustrasi pasangan atau jodoh. Foto: Pixabay
Pendapat serupa disampaikan oleh Abdurrahman Al-Mukaffi dalam buku Pacaran dalam Kacamata Islam. Beliau menyebutkan bahwa pacaran merupakan refleksi dari hubungan intim. Pacaran dapat memperbesar risiko terjadinya segala macam perzinahan.
Dosa pacaran dapat mengalir seiring dengan jalannya hubungan mereka. Setiap tindakan dan perbuatannya adalah maksiat yang dilarang dalam Islam. Sehingga beberapa pendapat mengatakan bahwa pacaran bisa mengantarkan pelakunya ke neraka jahannam.
Islam pun sudah melarang umatnya untuk bersentuhan kulit antar lawan jenis. Rasulullah Saw. bersabda:
ADVERTISEMENT
"Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam dari kepalanya dengan jarum dari besi, adalah lebih baik dlaripada menyentuh seseorang yang hukan muhrimnya" (HR Tabrani)
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan umat Muslim untuk menikah apabila mampu. Sebab, pernikahan dapat memuliakan seseorang dan mencegahnya dari fitnah. Sebagaimana dikatakan dalam hadist berikut:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
(MSD)