Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Contoh Kasus Perubahan Iklim yang Terjadi di Indonesia
8 Mei 2025 17:24 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada banyak contoh kasus perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya dapat memberikan dampak serius bagi kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perubahan iklim didefinisikan sebagai peralihan kondisi cuaca yang mencolok dalam suatu wilayah antara dua periode tertentu. Perubahan ini biasanya ditandai dengan peningkatan suhu, kekeringan berkepanjangan, dan curah hujan yang ekstrem.
Dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Lantas, dapatkah Anda berikan contoh kasus perubahan iklim yang terjadi di Indonesia? Yuk, cari tahu jawabannya di sini!
Berikan Contoh Kasus Perubahan Iklim yang Terjadi di Indonesia!
Perubahan iklim telah menjadi isu lingkungan yang cukup serius. Sebab, dampak yang ditimbulkan pun sangat merugikan, mulai dari merusak tempat tinggal, harta benda, hingga menghilangkan nyawa.
Ada banyak contoh kasus perubahan iklim yang terjadi di Indonesia, di antaranya yakni sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Kenaikan Muka Air Laut
Naiknya permukaan air laut dapat dipicu oleh mencairnya es kutub dan penurunan permukaan tanah akibat perubahan iklim. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di kawasan pesisir.
Contoh nyata dari kasus ini yaitu peristiwa yang terjadi di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Di kawasan ini, sebuah bangunan yang dulu berdiri kokoh tenggelam di tengah laut. Bangunan tersebut adalah Masjid Wal Adhuna.
Menurut laporan kumparanNEWS, kawasan di sekitar masjid yang terendam dulunya merupakan daratan. Namun, sejak permukaan laut terus naik, tempat ini perlahan berubah menjadi hunian ikan. Sementara, tanggul yang sekarang berdiri di sekitar kawasan tersebut dulunya adalah jalanan.
Warga setempat mengungkapkan bahwa Masjid Wal Adhuna mulai tenggelam sekitar tahun 2012, bersamaan dengan banjir rob yang sering melanda daerah tersebut. Masjid yang dulunya menjadi tempat ibadah warga sekitar kini menjadi simbol kota yang perlahan hilang ditelan air laut.
ADVERTISEMENT
2. Kebakaran Hutan
Perubahan iklim dapat berdampak langsung pada kerusakan ekosistem. Hal ini dapat memicu terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Penyebabnya yakni kenaikan suhu akibat pemanasan global.
Karhutla besar kerap terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Menurut data kumparanNEWS, pada tahun 2019 saja, luas area hutan yang terbakar mencapai 942 ribu hektar.
Kebakaran ini tidak hanya menghanguskan hutan, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Banyak warga yang terpapar asap pekat menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Dampak Karhutla bahkan terbawa hingga ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kualitas udara di negara tersebut kian memburuk.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar kebakaran hutan terjadi di lahan gambut yang memiliki karakteristik khusus. Mengutip kumparanPLUS, lahan gambut terbentuk dari tumpukan reruntuhan tumbuhan yang membusuk secara perlahan di dalam rawa-rawa, di mana prosesnya melibatkan bakteri.
Pembusukan ini menghasilkan panas yang terperangkap di dalam lapisan gambut. Hingga akhirnya dapat memicu kebakaran saat suhu kian meningkat.
Kondisi semakin diperparah oleh gas metana dan asetilena yang dihasilkan selama proses pembusukan. Jika gas tersebut terpapar api, maka akan terjadi ledakan yang memperparah kebakaran.
3. Kekeringan
Perubahan iklim dapat memengaruhi siklus hujan dan memperparah kekeringan di berbagai wilayah Indonesia. Ketika kekeringan melanda, pasokan air bersih menjadi langka dan menimbulkan dampak serius bagi masyarakat.
Mengutip buku Mengenal Perubahan Iklim karya Ajeng Rachmatika Dewi A. dkk., Bappenas mencatat bahwa tingkat kekeringan pada musim kemarau semakin memburuk seiring waktu. Kondisi ini turut mengancam ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa penurunan ketersediaan air di Pulau Jawa akan terjadi pada rentang 2020-2034. Daerah lain yang diprediksi akan mengalami kekeringan adalah Nusa Tenggara pada tahun 2030-2045.
Fenomena kekeringan ini sudah dirasakan di berbagai wilayah Indonesia. Menurut laporan kumparanNEWS, banyak petani di Pulau Jawa sering mengalami gagal panen akibat kurangnya pasokan air.
Kasus serupa juga terjadi di Gorontalo, di mana Danau Limboto pernah mengalami kekeringan parah pada tahun 2019. Akibatnya, warga sekitar kesulitan mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
4. Banjir
Selain kekeringan, perubahan iklim juga berpengaruh pada pola hujan yang dapat menyebabkan banjir. Ketika frekuensi hujan tinggi dan durasinya panjang, potensi banjir semakin besar.
ADVERTISEMENT
Daerah perkotaan diproyeksikan menjadi wilayah yang rentan terhadap banjir. Menurut buku Mengenal Perubahan Iklim oleh Ajeng Rachmatika Dewi A. dkk., pembangunan perkotaan di Indonesia sering kali tidak sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Di mana lahan hijau beralih fungsi menjadi area industri dan perumahan.
Mengutip kumparanNEWS, banjir besar yang terjadi pada Maret 2025 di Kota Bekasi, Jawa Barat, menjadi contoh nyata. Hujan lebat yang mengguyur area tersebut menyebabkan ketinggian banjir mencapai 3 meter.
Banjir ini mengakibatkan sejumlah layanan masyarakat lumpuh. Sebab, banyak kantor pelayanan publik yang terletak di area tersebut tidak bisa beroperasi secara optimal.
Menurut Dwikorita Karnawati selaku Kepala BMKG, meskipun curah hujan pada Maret 2025 tidak lebih tinggi dibandingkan banjir pada tahun 2020, dampaknya justru lebih parah.
ADVERTISEMENT
Curah hujan yang tercatat saat itu mencapai 100-150 mm/hari, dikategorikan sebagai hujan lebat. Namun, banjir terlihat lebih parah jika dibandingkan banjir tahun 2020 karena diperburuk oleh kondisi lingkungan.
5. Produksi Padi Menurun
Menurut Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi di Indonesia. Jika masalah ini tidak segera ditangani, prediksi Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tentang krisis pangan global bisa menjadi kenyataan.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Hasjim Bintoro, seperti yang dikutip dari kumparanBISNIS, mengingatkan bahwa Indonesia berisiko kehilangan lumbung padi nasional. Wilayah-wilayah penghasil padi utama kini terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
5. Cuaca Panas
Dampak nyata lainnya dari perubahan iklim yang terjadi di Indonesia adalah cuaca ekstrem yang sangat panas, seperti yang tercatat pada Mei 2024.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan kumparanNEWS, kondisi ini diperburuk oleh faktor geografis Indonesia yang berada di kawasan maritim. Laut yang hangat dan topografi pegunungan memicu kenaikan gerakan udara.
Selain itu, suhu panas ini juga merupakan dampak dari pemanasan permukaan. Pemanasan ini terjadi akibat berkurangnya pembentukan awan dan menurunnya curah hujan.
Pada saat itu, suhu udara maksimum di Indonesia bahkan tercatat mencapai 37,8 derajat celcius. Fenomena serupa juga terjadi di negara-negara Asia, dengan suhu maksimum di Vietnam mencapai 44 derajat celcius.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, Fachri Radjab, menjelaskan beberapa faktor penyebab suhu panas ekstrem pada Mei 2024. Pertama, gerakan semu matahari pada akhir April dan awal Mei 2024 yang berada di atas lintang 10 derajat LU, bertepatan dengan wilayah Asia Tenggara daratan. Sehingga, menyebabkan penyinaran matahari yang sangat terik.
ADVERTISEMENT
Kedua, fenomena El Nino yang mengakibatkan kenaikan suhu hingga 2 derajat di atas rata-rata normal. Ketiga, pengaruh pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin memperburuk kenaikan suhu tahunan.
6. Meningkatnya Risiko Penyebaran DBD
Perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada cuaca ekstrem, tetapi juga meningkatkan risiko masalah kesehatan, salah satunya penyebaran demam berdarah (DBD). Mengutip situs Kemenkes, suhu yang semakin panas dan intensitas hujan yang lebih sering dapat meningkatkan penyebaran nyamuk pembawa virus DBD.
Studi yang dipublikasikan dalam Environmental Research oleh KL Ebi dan J Nealon menunjukkan bahwa perubahan iklim menciptakan kondisi ideal bagi perkembangan nyamuk Aedes.
Perubahan iklim ini menyebabkan curah hujan yang semakin tinggi dan frekuensinya lebih sering. Akibatnya, genangan air yang terbentuk setelah hujan menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes penyebab DBD.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan kumparanNEWS, pada 2024, Kemenkes mencatat terdapat 76.132 kasus DBD dengan 540 kematian di Indonesia. Daerah dengan kasus tertinggi meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Bandung, Kota Bogor, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Lebak di Banten.
(NSF)