Konten dari Pengguna

Hukum Cerai Saat Hamil dalam Islam beserta Ketentuannya

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
26 Desember 2022 14:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu Hamil. Foto: Blue Planet Studio/shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu Hamil. Foto: Blue Planet Studio/shutterstock
ADVERTISEMENT
Menurut istilah hukum syara’, cerai diartikan sebagai proses melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. Istilah ini berasal dari bahasa Arab “thalaq” yang berarti terlepasnya suatu ikatan.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, hukum perceraian terbagi menjadi 5 jenis, yakni wajib, haram, makruh, mubah, dan dianjurkan. Semua itu ditetapkan berdasarkan illat (sebab dan waktu) yang melatarbelakanginya.
Terkadang, suami menceraikan istrinya dalam kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan karena beragam alasan. Salah satunya adalah menceraikan istri saat dalam kondisi hamil.
Perceraian biasanya dipicu oleh pertengkaran, perselisihan, perselingkuhan, dan lain-lain. Bagaimana Islam membahas hukum cerai saat hamil? Untuk mengetahuinya, simak penjelasan dalam artikel berikut ini.

Hukum Cerai Saat Hamil

Dijelaskan dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu'man Hasan (2018), jumhur ulama mengatakan bahwa hukum cerai saat hamil adalah mubah (boleh). Bahkan, Imam Ahmad menyebutnya sebagai bentuk cerai yang sejalan dengan sunnah.
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
Ketetapan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, ceraikanlah ia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim)
ADVERTISEMENT
Bagi istri yang diceraikan suaminya saat hamil, maka masa iddahnya baru berakhir setelah ia melahirkan. Dalam Surat At-Thalaq ayat 4, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Saat menjalani masa iddah tersebut, seorang istri wajib mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Semua itu tercantum dalam bab kajian fiqih khusus perempuan.
Mengutip jurnal berjudul Iddah dan Ihdad dalam Islam oleh Abdul Moqsith, perempuan yang bercerai karena talak berhak mendapat tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami. Rasulullah SAW bersabda:
ADVERTISEMENT
“Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya."
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
Namun, selama masa iddah seorang wanita tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun sindiran (ta’ridl). Larangan tersebut berlaku sampai ia melahirkan.
Kemudian, dilarang juga baginya untuk keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak. Hal ini sebagaimana disepakati jumhur ulama fiqih seperti Imam Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Layts.
Dijelaskan dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Muhammad Zaenal Arifin (2005), masa iddah yang dijalani oleh seorang perempuan memiliki beberapa hal yang kurang menguntungkan (salbiyy) bagi suami. Sebagai contoh, dia tidak boleh menikahi perempuan kelima jika beristri empat.
ADVERTISEMENT
Alasannya, istri yang menjalani masa iddah masih berstatus sebagai istri sahnya. Apabila masa iddah istri tersebut telah habis, maka sang suami baru boleh menikah lagi dengan perempuan lain yang dikehendaki dan halal dinikahi.
(MSD)