Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Hukum Membatalkan Puasa Karena Tidak Kuat, Apakah Boleh?
11 April 2023 15:45 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan oleh umat Muslim yang baligh dan berakal sehat. Perintah ini termuat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183. Allah SWT berfirman:
ADVERTISEMENT
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Meski diwajibkan, Islam menetapkan sejumlah keringanan (rukshah) bagi umat Muslim. Dalam kondisi tertentu, umat Muslim diperbolehkan untuk membatalkan puasanya atau tidak puasa sama sekali.
Syaratnya, yaitu harus dilandasi dengan alasan syar’i, seperti ibu yang sedang memberikan ASI eksklusif, orang yang sedang safar (musafir), orang tua renta, dan lain-lain. Namun, bagaimana dengan hukum membatalkan puasa karena tidak kuat? Simak jawabannya dalam artikel berikut.
Hukum Membatalkan Puasa Karena Tidak Kuat
Hukum asal puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain. Namun, Allah SWT memberikan keringanan kepada hamba-Nya yang tidak mampu menjalankan puasa Ramadhan karena alasan tertentu.
Seseorang diperbolehkan untuk membatalkan puasanya atau tidak puasa sama sekali. Namun, ia diwajibkan membayar qadha atau fidyah senilai hari puasa yang ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika seseorang membatalkan puasa karena merasa tidak kuat? Dalam hal ini, para ulama telah memberikan pandangannya yang didasarkan dalil-dalil shahih.
Menurut jumhur ulama, orang yang tidak kuat menjalankan puasa Ramadhan karena sakit diperbolehkan untuk membatalkan puasanya. Ini berlaku jika sakit yang dideritanya tergolong parah.
Mengutip buku Fiqih Ibadah Mazhab Syafii susunan Dr. Syaikh Alauddin Za'tari (2019), batasan sakit parah tersebut, yaitu sakit yang membolehkan seseorang untuk bertayamum. Jika sakitnya terus-menerus atau berkelanjutan, ia boleh meninggalkan niat puasa di malam hari.
Bahkan, beberapa ulama menyebutkan bahwa ia wajib berbuka dan membatalkan puasanya. Jika ia memilih terus berpuasa, lalu ia meninggal dunia, maka ia meninggal dalam keadaan durhaka karena melanggar firman Allah SWT.
ADVERTISEMENT
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Sementara, orang yang sakitnya kadang kambuh kadang tidak, diberlakukan hukum yang berbeda. Jika seorang demam secara berkala dan ia demam sejak awal masuknya waktu puasa, maka ia boleh meninggalkan niat.
Namun jika tidak, ia wajib berniat puasa pada malam harinya. Adapun ketika demamnya kambuh di siang hari dan mengharuskan ia membatalkan puasa, maka diperbolehkan untuk membatalkannya.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan dalam buku Syarah Fathal Qarib Diskursus Ubudiyah, hukum membatalkan puasa karena sakit adalah wajib jika dikhawatirkan bisa membahayakan kesehatan seseorang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dan disepakati oleh Imam Adzra’i.
Rukshah ini juga berlaku bagi orang yang dilanda kelaparan hebat dan haus yang tak tertahankan. Ia dibolehkan menghentikan puasanya sebagaimana orang yang sedang sakit.
(MSD)