Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Pengertian dan Ciri-Ciri Konflik Vertikal di Masyarakat
12 Agustus 2022 17:57 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 27 April 2023 18:01 WIB
Tulisan dari Berita Terkini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu jenis konflik sosial yang ada di Indonesia adalah konflik vertikal. Konflik vertikal merupakan konflik antar golongan yang berbeda. Berikut adalah pengertian dan ciri-ciri konflik vertikal yang terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Konflik sosial sangat mungkin terjadi di lingkungan masyarakat yang majemuk. Berdasarkan kedudukan pelaku, konflik sosial terbagi atas dua jenis, konflik vertikal dan konflik horizontal.
Jika pada konflik vertikal adalah konflik antar golongan yang berbeda, maka konflik horizontal adalah konflik antar pihak yang sederajat.
Pengertian dan Ciri-Ciri Konflik Vertikal
Konflik sosial umumnya terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman yang ada dalam masyarakat . Berikut adalah pengertian dan ciri-ciri konflik vertikal yang masih menjadi permasalahan di Indonesia.
Dikutip dari Manajemen Konflik Berbasis Sekolah oleh Ana Widyastuti, dkk., (2020: 16), pengertian konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara pihak yang tidak memiliki kedudukan sama dalam organisasi, konflik antara golongan rendah dengan golongan tinggi, atau konflik antara atasan dengan bawahan.
ADVERTISEMENT
Contoh konflik vertikal yang terjadi di Indonesia adalah konflik negara dengan masyarakat atau konflik buruh dengan pengusaha. Tidak jarang konflik vertikal yang terjadi berakhir dengan kekerasan. Namun, kekerasan hanya merupakan indikator dalam menilai intensitas konflik yang terjadi.
Ciri-Ciri Konflik Vertikal
Terdapat ciri-ciri pada konflik vertikal yang dikutip dari Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat oleh Bagja Waluya (2007: 33), antara lain:
ADVERTISEMENT
Contoh Konflik Vertikal di Indonesia beserta Penjelasannya
Berikut adalah beberapa contoh konflik vertikal di Indonesia beserta penjelasannya.
1. Kasus OPM (Organisasi Papua Merdeka)
Kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan contoh konflik vertikal yang terjadi karena adanya tuntutan atas perlakukan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah dan tersumbatnya saluran aspirasi.
Hal itu terjadi karena semua urusan yang ada di daerah diputuskan oleh pusat. Penyelesaian masalah menjadi terhambat dan terlalu lama untuk pengambilan kebijakannya, sehingga persoalan di daerah lain semakin bertambah.
Dikutip dari Dinamika Pola Pengawasan Dana Otonomi Khusus dan Istimewa oleh Nyimas Latifah Letty Aziz, dkk., (2019: 132), OPM terbentuk oleh sebagian Orang Asli Papua (OAP) yang berontak akibat pembunuhan politik hingga pengambilan paksa hak adat.
ADVERTISEMENT
Permasalahan tersebut membuat konflik vertikal antara pemerintah Indonesia dan OAP karena sering dicurigai sebagai kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
2. Konflik Buruh dengan PT Megariamas Sentosa
Konflik buruh dengan PT Megarimas Sentosa terjadi akibat para buruh yang menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan tersebut.
PT Megarimas Sentosa adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang tekstil dengan salah satu produksinya yaitu pakaian dalam dengan merek Piere Cardin, Sorela, dan sebagainya.
Konflik ini pecah ketika sekitar 500 buruh yang bergabung dalam PT Megarimas Sentosa tidak menerima pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Padahal, THR merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
3. Penembakan Mahasiswa Trisakti Tahun 1998
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1998 merupakan contoh konflik vertikal lainnya yang terjadi di Indonesia. Dalam unjuk rasa yang dilakukan pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan di kampus Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Penembakan tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian dari satuan Brigade Mobil Polri maupun TNI yang berjaga. Penembakan inilah yang memicu kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998, yang akhirnya menurunkan Soeharto dari kekuasaannya.
4. Konflik Aceh
Konflik vertikal masyarakat Aceh dengan pemerintah dipicu oleh penguasaan alokasi sumber daya ekonomi yang tidak adil, kebebasan politik yang terbelenggu, dan hukum yang diskriminatif.
Selain itu, konflik Aceh juga terjadi akibat penghargaan kehidupan agama dan sosial budaya yang tidak mempertimbangkan karakteristik masyarakat Aceh yang agamis.
Perbedaan pandangan antara Pemerintah pusat dan Aceh sering terjadi diskriminatif dan ketidakadilan dalam pengambilan kebijakan sehingga menimbulkan kekerasan.
Konflik Aceh menyebabkan kemunculan gerakan separatisme, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976. GAM menyatakan kemerdekaan Aceh dan keinginan untuk memisahkan diri dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Konflik Aceh menyebabkan hilangnya puluhan ribu jiwa, kehilangan harta benda, kehidupan ekonomi, luka sosial, serta terkelupasnya tatanan kehidupan agama dan adat budaya yang menjadi identitas masyarakat Aceh itu sendiri.
5. Konflik Buruh dengan PT Tjiwi Kimia Sidoarjo
Konflik antara perusahaan dan para buruh yang terjadi di PT. Tjiwi Kimia Sidoarjo pada tahun 2012 adalah contoh konflik vertikal lainnya yang terjadi antara pihak penguasa (perusahaan) untuk kepentingan politik perusahaan.
Konflik ini menyebabkan sekitar 72 buruh mengalami pemutusan kerja secara sepihak. Akibatnya, para buruh menuntut haknya, tetapi tidak ditanggapi oleh perusahaan.
6. Konflik Maluku
Konflik Maluku pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan agama dan kepentingan sebagian kecil rakyat Maluku agar lepas dari kedaulatan Indonesia.
Dikutip dari Moderasi Beragama dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Mubadalah oleh Agus Hermanto, dkk., (2021: 12), ada pula konflik vertikal bernuansa ideologi di Maluku yang direpresentasikan melalui konflik Republik Maluku Selatan (RMS) dengan pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Konflik Maluku secara umum terjadi karena adanya penguasa yang mempunyai kepentingan politik strategis. Konflik tersebut berimbas hampir ke semua daerah yang berpotensi memicu konflik yang lebih luas.
Pengertian hingga contoh konflik vertikal di atas diharapkan dapat membawa kesadaran masyarakat bahwa tidak selamanya konflik harus diakhiri dengan kekerasan. Konflik tidak sama dengan kekerasan, melainkan proses sosial yang akan terus terjadi dalam masyarakat.
(DK & SFR)