Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Banyak Kalangan Menengah ke Bawah Terjebak Judi Online, Pakar Ungkap Hal Ini
18 November 2024 6:44 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat mayoritas pemain judi online di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan temuan PPATK, nominal deposito untuk slot judi online kini dapat dijangkau masyarakat bawah hingga sebesar Rp 10 ribu.
ADVERTISEMENT
Terkait hal tersebut akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Radius Setiyawan turut angkat bicara. Radius menilai pencegahan judi online yang dilakukan pemerintah masih belum komprehensif, artinya belum menyasar kelas masyarakat bawah sehingga nyaris tak menyentuh akar masalah.
“Usaha pencegahan belum menyentuh hingga di level RT/ RW. Pembahasan soal judi online harus lebih aplikatif dan nyata. Hal tersebut penting karena memang persoalan judi online itu nyata di masyarakat,” kata Radius, dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Senin (18/11).
Kata Radius, RT/RW sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan bisa lebih cepat mendeteksi adanya kasus-kasus ini dan memberikan intervensi sebelum masalah semakin meluas.
Di level RT/RW, masyarakat lebih dekat dengan satu sama lain, sehingga memungkinkan adanya komunikasi dan interaksi yang lebih personal. Hal ini memudahkan deteksi dini terhadap perilaku-perilaku yang berisiko, seperti kecanduan judi, sehingga bisa langsung diberikan edukasi dan solusi.
ADVERTISEMENT
“Program pencegahan bisa lebih efektif jika dilakukan dalam skala kecil dan melibatkan partisipasi aktif warga,” tegas Radius.
Kata Radius, orang yang hidup dalam kondisi miskin sering kali merasa terdesak untuk mengubah keadaan mereka dengan cepat. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, atau pendidikan, dapat membuat mereka mencari solusi instan, salah satunya adalah berjudi untuk mendapatkan uang dengan cepat.
Lebih lanjut lagi, kata Radius, orang yang berasal dari keluarga miskin mungkin tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan keuangan atau literasi digital. Mereka bisa kurang memahami risiko finansial yang terkait dengan perjudian.
“Kurangnya pengetahuan ini membuat mereka lebih mudah terjerat dalam jebakan yang ditawarkan oleh situs judi online,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, beberapa orang yang hidup dalam ketidakpastian finansial merasa tidak memiliki banyak pilihan untuk memperbaiki situasi mereka. Mereka terjebak dalam pola pikir bahwa judi adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kemiskinan, meskipun pada kenyataannya judi justru berisiko menambah beban finansial mereka.
Radius menegaskan, pemberantasan judi online, terutama yang menyasar masyarakat miskin, memerlukan pendekatan yang holistik dan multi-sektoral, di mana pemerintah memiliki peran yang sangat penting.
“Selain menyentuh level bawah seperti RT/RW peran pemerintah dalam hal ini bisa dibagi dalam beberapa dimensi, yang melibatkan kebijakan, regulasi, edukasi, serta perlindungan sosial dan ekonomi seperti peningkatan regulasi dan penegakan hukum,” katanya.
Radius juga mencontohkan, terutama yang berfokus pada masyarakat rentan, karena sejauh ini ada, tapi belum masif. Kampanye ini bisa dilakukan melalui media sosial, televisi, radio, dan kegiatan di tingkat komunitas.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Radius menegaskan pemerintah harus memainkan peran utama dalam menanggulangi masalah ini melalui kebijakan yang melibatkan banyak sektor.
“Ini persoalan serius, jika sedikit saja abai tentu akan memperpanjang tingginya kriminalitas dan persoalan-persoalan lain, pasalnya mereka bisa beralih ke tindakan kriminal untuk menutupi kerugian mereka, seperti mencuri, penipuan, atau tindakan ilegal lainnya,” pungkasnya.