Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Hari Buruh Sedunia, Profesor di Surabaya Soroti Kesejahteraan Pekerja
1 Mei 2025 6:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Masyarakat dari berbagai belahan dunia pada Kamis (1/5/) memperingati Hari Buruh. Hari Buruh atau biasa dikenal dengan May Day merupakan peringatan diakuinya hak-hak kelas pekerja dan perannya dalam kehidupan sosial ekonomi. Bukan hanya sebagai perayaan, May Day juga menjadi momentum refleksi mengenai kesejahteraan buruh di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Guru besar Sosiologi Unair, Prof Dr Sutinah Dra MS, menilik sejauh mana kesejahteraan buruh di Indonesia sudah terwujud. Prof Sutinah menilai kesejahteraan buruh menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan ini ditandai dengan upah minimum tingkat nasional yang pemerintah naikkan sebesar 6,5 persen di tahun 2025. Selain upah, kesejahteraan buruh juga mendapat perhatian pemerintah melalui perlindungan hak-hak pekerja dan jaminan sosial.
Meski demikian, Prof Sutinah berpendapat bahwa peran pemerintah belum optimal.
“Secara nasional memang upah naik, tetapi tidak merata di seluruh provinsi. Bahkan, masih ada upah minimum di bawah dua juta. Selain itu, UU Cipta Kerja masih banyak dikritik oleh serikat buruh karena dinilai mengurangi hak pekerja, seperti fleksibilitas outsourcing dan penghapusan cuti panjang wajib," terang Prof Sutinah dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Kamis (1/5).
ADVERTISEMENT
Prof Sutinah juga menjelaskan tantangan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh, khususnya buruh outsourcing. Posisi tawar buruh yang rendah dan tidak tergabung dalam serikat pekerja berdampak pada lemahnya kekuatan kolektif. Lemahnya kekuatan kolektif ini membuat para buruh outsourcing mengalami kendala dalam negosiasi upah atau kondisi kerjanya. Para buruh ini juga tidak berani bersuara kritis karena khawatir kontraknya tidak diperpanjang.
Lebih lanjut, Prof Sutinah menyoroti tidak adanya jaminan bagi beberapa jenis buruh.
“Sistem outsourcing, kerja kontrak, dan gig economy menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja, tunjangan, dan jaminan sosial. Ada juga perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS dan sebagainya,” jelas Prof Sutinah.
Melihat kondisi pemerintahan dan ekonomi saat ini, Prof Sutinah menilai kesejahteraan buruh masih berada dalam tahap yang sangat krusial. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang sempat terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu menunjukkan adanya permasalahan. Beberapa kebijakan pemerintah juga lebih pro-investor, bukan pro-pekerja. Selain itu, masih terdapat perusahaan yang membayar upah di bawah standar yang pemerintah tetapkan.
ADVERTISEMENT
Merespons berbagai tantangan tersebut, Prof Sutinah menekankan bahwa perjuangan buruh memerlukan kolaborasi antara serikat buruh, pemerintah, dan masyarakat sipil.
“Masyarakat harus menjadi konsumen yang teliti dengan tidak membeli produk perusahaan yang sering melakukan PHK massal, mempekerjakan anak, dan perusahaan yang buruhnya sering melakukan unjuk rasa. Perlu adanya peningkatan kesadaran, solidaritas, dan advokasi kebijakan yang kuat," pungkasnya.