Hati-hati, Kebiasaan Menghakimi di Medsos Bisa Jadi Perilaku Menetap

Konten Media Partner
2 Maret 2022 10:57 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay
ADVERTISEMENT
Istilah cancel culture biasanya diterapkan di negara Korea Selatan. Di mana para artis atau idola yang melakukan kesalahan fatal dan merugikan orang, tidak akan bisa lepas dari cancel culture.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, istilah cancel culture mulai ramai diperbincangkan di media sosial. Bentuk ketidaksukaan ini umumnya diutarakan demi menghilangkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Namun saat ini, cancel culture tidak hanya digunakan untuk menghilangkan perilaku yang melawan norma. Tapi juga sebagai pelampiasan netizen dalam bermedia sosial.
Dimana hal ini dialami oleh influencer Rachel Vennya. Rachel menjadi bulan-bulanan netizen usai persidangan atas kasus kabur dari karantina.
Atas kasus tersebut, perempuan yang akrab disapa Buna ini sempat berhenti menggunakan media sosial. Namun, belum lama ini, ia diduga kembali membuka jasa endorse di tengah kondisi netizen yang masih marah.
Bahkan hal tersebut juga berdampak pada produk yang dipromosikan Rachel yang turut menjadi bulan-bulanan netizen.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, Pakar komunikasi Universitas Airlangga, Nisa Kurnia Illahiati SIKom, MMedKom mengatakan, bahwa perilaku ini dapat menjadi pola perilaku pada pengguna media sosial di Indonesia.
“Netizen memiliki kecenderungan untuk terburu-buru mengakses kekuasaan untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak, tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya seperti apa. Saya lihat semakin kesini menjadi salah satu behavioral pattern dari netizen Indonesia,” ucapnya, Rabu (2/3).
Menurutnya, hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya literasi disertai oleh nafsu ingin menghakimi oleh warganet. “Lack of literacy, akhirnya menyebabkan seseorang menutup diri dari realitas yang sebenarnya bisa dicari, dan langsung menghakimi seseorang," tuturnya.
Ia menuturkan, standar ganda terhadap diri sendiri juga menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi budaya ini. “Perilaku yang ditunjukan public figure, bila dilakukan oleh netizen akan menimbulkan perlakuan yang berbeda. Misalnya dia tidak boleh, dan saya boleh,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Nisa menyebut, media sosial kerap digunakan sebagai media escapism yaitu pelarian dari dunia nyata yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
“Meski dapat dipahami, namun hate comment merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Karena saat kita melakukan cancel pada seseorang, ada perspektif dimana kita tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi pada orang tersebut,” sebutnya.
Untuk itu, Nisa mengingatkan warganet untuk tetap bijak dalam bermedia sosial. “Sebelum kita melakukan cancel pada seseorang, kita harus mengonfirmasi dan memberikan hak jawab pada orang tersebut. Sebagai netizen, kita mungkin tidak memiliki hak untuk cancel dia, karena tidak benar-benar tahu apa yang terjadi,” tutupnya.