Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Ini Pilihan Sekolah Terbaik untuk Anak dengan Autisme
18 Februari 2023 15:53 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti autisme, mungkin saja merasa bingung ketika si kecil sudah memasuki usia sekolah.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, anak dengan kondisi tersebut memerlukan perhatian khusus, sehingga orang tua tidak bisa asal memilih sekolah.
Lantas, bagaimana sekolah yang cocok untuk anak dengan autisme?
Menjawab hal itu, Muhammad Nurul Ashar, S.Pd., M.Ed. dosen pendidikan luar biasa Unesa menjelaskan, jika ada dua pilihan sekolah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut.
Pertama, sekolah yang khusus untuk anak berkebutuhan khusus saja. Kedua, mereka bisa ke layanan pendidikan inklusif, artinya mereka sekolah dengan anak-anak yang non berkebutuhan khusus.
"Dalam hal ini, kalau sekolah ini siap menerima anak berkebutuhan khusus entah dari sumber daya manusianya atau sumber daya fisiknya, secara otomatis mereka siap. Selama sekolah itu ada layanannya ada SDM-nya itu bisa dikatakan sekolah itu inklusif," kata Ashar dalam Webinar Pendidikan Inklusif untuk ABK?: SLB atau Sekolah Umum (Inklusif), Sabtu (18/2).
ADVERTISEMENT
Terkait kekurangan dan kelebihan dari kedua sekolah tersebut, Ashar menuturkan, jika sekolah umum banyak dan dekat dengan jangkauan rumah. Sehingga orang tua mudah mengantar jemput anak dan bisa memantau kondisi anak.
Selain itu, di sekolah umum anak-anak berkebutuhan khusus ini bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang lain, sehingga ketika mereka sudah mandiri atau waktunya kerja mereka bisa siap untuk sosialisasi dan bertemu dengan berbagai macam orang.
"Tapi tidak semua sekolah umum siap menerima anak berkebutuhan khusus, dan jarang juga sekolah umum yang SDM-nya mumpuni dan sumber daya fisiknya layak. Di sekolah umum juga, apalagi sekolah negeri itu gratis tidak perlu bayar," tuturnya.
Sementara di sekolah luar biasa (SLB), siswa-siswinya otomatis yang berkebutuhan khusus. Kadang ada juga yang spesifik seperti SLB khusus autis atau tunanetra, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya, jumlah SLB di Indonesia tidak terlalu banyak. Jadi orang tua yang dalam kondisi ekonominya kurang ini sangat terbatas dan kalau di swasta harganya macam-macam, kadang bisa tidak terjangkau juga dengan kondisi orang tua kita," ungkapnya.
Lantas, mana yang lebih baik? SLB atau sekolah inklusif?
Ashar mengatakan, autis merupakan gangguan di perkembangan saraf, sehingga anak satu dengan yang lain kondisinya tidak sama.
Untuk itu, orang tua harus memperhatikan karakteristik anak-anak dengan kondisi autis.
Caranya, dengan melihat apakah anak-anak dengan berkebutuhan khusus ini sebelum masuk usia sekolah atau di bawah 6 tahun sudah mendapatkan program terapi atau belum.
"Biasanya kalau yang sudah dia secara perilaku, komunikasi, dan secara kesiapan akademik, mereka bisa ke sekolah umum," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Tapi, kalau yang sebelumnya belum pernah ikut program terapi, atau ada orang tua yang denial dengan kondisi anaknya, kami tidak menyarankan ke sekolah umum, tapi kami menyarankan ke SLB. Dalam artian mereka bisa sekolah sambil terapi. Sehingga aspek-aspek perkembangan anak bisa tercapai," tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, dr. Niken Sasadhara Sasmita, M.Med.Kom selaku praktisi komunikasi kesehatan menambahkan, jika di sekolah umum, siswa-siswi berkebutuhan khusus tersebut harus mempunyai guru pembimbing khusus untuk membantu mereka belajar di sekolah.
Di mana, para guru pembimbing khusus ini biasanya merupakan lulusan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus. Selain itu, guru pendamping tersebut biasanya sudah ikut pelatihan di instansi yang bisa dipertanggung jawabkan.
"Kalau di SLB guru-gurunya adalah lulusan pendidikan luar biasa. Jadi, secara keilmuan, treatment, semua ada ilmunya masing-masing," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Diketahui, kegiatan ini merupakan kolaborasi Walk For Autism (WFA), JCI East Java, dan Divisi Difabel Universitas Negeri Surabaya.