Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Rendahnya kesadaran pekerja akan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), membuat empat mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menciptakan sebuah inovasi pesawat tanpa awak (drone) berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligent/AI).
ADVERTISEMENT
Inovasi drone pengawas lingkungan kerja karya Hammam Dhiyaurrahman Yusdin, Muhammad Adrian Fadhilah, Inggita Nirmala, dan Alif Aditya Wicaksono ini diberi nama Environment and Human Safety Surveillance (ERASTY).
Hammam selaku ketua tim menjelaskan, drone ini terintegrasi dengan AI yang menggunakan nama algoritma You Only Look Once (YOLO) dan dilengkapi rangkaian sensor arduino.
Teknologi tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya indikator tindakan tidak aman dari Alat Pelindung Diri (APD) pekerja seperti rompi, baju lengan panjang, helm, kacamata, dan sarung tangan.
Selain itu, ERASTY juga dilengkapi dengan sensor yang dapat digunakan untuk mendeteksi ancaman kebakaran dan gas berbahaya. Bahkan pada drone juga dilekatkan sensor proximity sehingga secara otomatis dapat mendeteksi potensi terjadinya tabrakan dengan objek.
ADVERTISEMENT
“Kami namakan itu fitur Smart Collision untuk menghindarkan drone dari halangan di lingkungan kerja,” tutur mahasiswa dari Departemen Teknik Sistem dan Industri ITS ini, Jumat (5/3).
Terkait cara kerja dari ERASTY, Hammam menjelaskan jika dimulai dari sistem perangkat kerasnya. Dimana perangkat keras berupa rangkaian sensor akan menerima sinyal dari kondisi lingkungan kerja, dan nantinya sinyal ditangkap lalu dikirim ke perangkat lunak yang akan menentukan potensi bahaya di lingkungan kerja.
Apabila ERASTY mengidentifikasi tindakan atau kondisi yang tidak aman, maka sistem peringatan akan diaktifkan sebagai pengingat pekerja tentang bahaya tersebut. “Dari proses identifikasi itu, hasil scan akan diterima dan disimpan oleh operator computer,” jelasnya.
Menurutnya, untuk membuat AI dari ERASTY bisa mendeteksi suatu objek, timnya harus melatih program tersebut terlebih dahulu dengan memasukkan kumpulan data yang relevan. Salah satu data yang dimasukkan berupa foto-foto APD.
ADVERTISEMENT
Selama 14 hari masa pelatihan, Hammam mengungkapkan durasi rata-rata ERASTY untuk mengidentifikasi objek adalah 410,1 milidetik, dengan tingkat akurasi tertinggi yang dapat dicapai dalam identifikasi objek ERASTY adalah 90,87 persen. Sedangkan waktu penangkapan gas tercepat diperoleh dalam durasi satu detik dengan jarak sumber gas 10 sentimeter.
“Semakin lama waktu latihan, akurasi pendeteksiannya semakin tinggi dan semakin cepat. Drone juga dapat melakukan pengawasan pada area yang sulit terjangkau oleh alat pengawas konvensional seperti CCTV,” ujarnya.
Ke depan, ia dan tim berharap drone akan menjadi teknologi yang dapat digunakan secara massal. Karena dengan teknologi Internet of Things (IoT) dan revolusi industri 4.0, drone memiliki banyak kelebihan dalam implementasinya.
Berkat inovasi tersebut, ia dan tim berhasil meraih medali emas pada ajang Asean Innovative Science Environmental and Entrepreneur Fair (AISEEF) 2021 yang diselenggarakan Indonesian Young Scientist Association (IYSA) pada 23 Februari lalu.
ADVERTISEMENT