Konten Media Partner

Netizen Indonesia Rasis ke Guinea, Pakar di Surabaya Ungkap Fakta Ini

14 Mei 2024 17:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rasisme. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Rasisme. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kegagalan timnas Indonesia untuk lolos ke Olimpiade Paris 2024 tak diterima oleh sebagian netizen tanah air, usai dikalahkan oleh Guinea pada play-off yang berlangsung Kamis 9 Mei 2024 lalu. Sebagian netizen Indonesia lantas menumpahkan kekesalannya dengan menyerang akun media sosial Guinea dan beberapa pemainnya dengan ujaran bernuansa rasisme.
ADVERTISEMENT
Di media sosial beberapa warganet memberikan serangan rasisme di media sosial milik Guinea usai pertandingan yang berkesudahan 0-1. Banyak yang menggunakan emoji atau meme bergambar monyet. Ilaix Moriba yang mencetak gol tunggal kemenangan Guinea juga jadi sasaran serangan rasisme.
Merespons hal tersebut, Radius Setiyawan Pakar Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) turut angkat bicara.
Menurut Radius, ujaran rasisme yang menimpa Guinea tidak selayaknya dianggap sesuatu hal yang wajar dan dapat dimaklumi, karena ini sangat memprihatinkan.
“Sikap rasis yang dilakukan warganet bisa jadi sudah mendarah daging dan berada di alam bawah sadar. Ungkapan ketidaksukaan terhadap yang berbeda dengan mudah diekpresikan dengan melabeli orang tersebut dengan identitas suku atau ras tertentu yang dianggap rendah,” ujar Radius, dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Selasa (14/5).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, persoalan rasisme yang dilakukan oleh warganet Indonesia bukan kali pertama dilakukan. Kasus rasisme dan diskriminasi terhadap mereka yang cenderung berbeda warna kulit juga masih kerap ditemukan di ruang-ruang publik seperti media sosial.
“Dalam relasi sosial ini merupakan perpanjangan dari dinamika rasisme pada zaman perbudakan,” imbuhnya.
Relasi-relasi ini berupaya untuk menempatkan kehidupan orang kulit hitam di luar ranah kemanusiaan sebagaimana yang disampaikan filsuf Sylvia Winter, sebagai nyawa yang tak perlu diberikan harkat martabat, dan hanya sebagai properti, sehingga mendorong lahirnya kekerasan terhadap orang kulit hitam, baik di Amerika Utara maupun di seluruh dunia.
Radius menjelaskan bahwa pembentukan informasi dalam diri manusia yang penuh dengan labeling atau stereotype tentunya sesuatu hal yang bermasalah. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut terbentuk tentunya terkait dengan berbagai faktor. Dari persoalan sejarah politik, relasi masa lalu yang tidak setara, hingga jejak-jejak kolonialisme.
ADVERTISEMENT
“Stereotype atas Guinea menjadi contoh bagaimana sikap rasis seringkali mengemuka di ruang publik kita. Stereotype tersebut sudah terbentuk lama sehingga cenderung membuat seseorang tidak melakukan proses berpikir panjang, hati-hati, atau sistematis ketika mengeluarkan perilaku rasis,” tutur Radius lagi.
Radius juga menambahkan bahwa bekal pengetahuan atau wawasan yang diperoleh sedari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label atau stereotype pada orang yang berbeda. Dalam sejarah Indonesia sikap rasis tentunya mempunyai akar sejarah.
“Sejarah dan peninggalan kolonialisme negara menjadi pemicu atas situasi tersebut, sehingga anggapan terhadap masyarakat kulit hitam ditempatkan masih sebagai makhluk yang belum dewasa (mature), terbelakang, bodoh dan layak untuk dijadikan hinaan atau lelucon. Khas cara berpikir kolonial,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT