Konten Media Partner

Poverty Porn, Saat Konten Kreator Meraup Untung dari Kemiskinan Masyarakat

26 Oktober 2021 13:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Kisah kemiskinan seringkali dijadikan sebuah konten yang disuguhkan bagi masyarakat luas. Konten dengan tema ini rupanya sukses menuai views dan simpati publik.
ADVERTISEMENT
Buktinya, konten dengan tema kemiskinan sering menjadi trending di YouTube, dan memancing konten kreator lain untuk membuat konten serupa.
Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., Ph.D, pakar kajian studi media dari Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan, jika konten tersebut diproduksi secara terus-menerus dapat membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Hal itu terjadi akibat alienasi terhadap orang di bawah garis kemiskinan.
“Untuk itu, konten kreator harus kreatif, tidak mengeksploitasi kemiskinan orang lain. Orang miskin dikomodifikasi sudah tidak kreatif menurut saya,” ungkap Prof. Ida, Selasa (26/10).
Ida juga menturkan, kisah kemiskinan yang dijadikan konten merupakan bentuk dari poverty porn. Karena fokusnya menunjukan penderitaan kemiskinan.
Bahkan, tajuk ini sudah muncul sejak tahun 80-an, utamanya digunakan oleh lembaga penggalangan donasi dengan tujuan menggugah masyarakat untuk menyumbangkan uangnya.
ADVERTISEMENT
“Meskipun tujuannya untuk menggalang dana, tapi tidak harus dengan menunjukan penderitaan orang miskin. Poverty porn bisa disebut melanggar etika, dan dalam kajian media dikategorikan dalam konteks eksploitasi,” jelas guru besar media pertama di Indonesia ini.
Menurut Prof. Ida, Kemiskinan yang menimbulkan rasa iba, kerap menyentuh kebanyakan masyarakat Indonesia untuk terus menyukai konten ini. “Rasa iba jadi trigger dalam konten poverty porn, sehingga audiens memiliki kedekatan dan merasakan posisi orang tersebut,” jelasnya.
Prof. Ida menyebut, masyarakat kemungkinan lebih memilih menonton tayangan yang relate dengan mereka, daripada tayangan berupa pertengkaran dan tayangan politik yang tak kunjung usai. Selain itu, Indonesia dulu pernah menayangkan tontonan serupa sehingga konten poverty porn bukan merupakan hal baru di era digital ini.
ADVERTISEMENT
“Di Indonesia, kita suka setelah nonton cerita ke tetangga, sehingga tayangan yang kita tonton kemudian menjadi source of talk atau sumber pembicaraan,” sebutnya.
Untuk itu, Prof. Ida menyampaikan bahwa konten yang kreatif seharusnya menciptakan empowerment, dan dapat menunjukan dampaknya dalam keberlangsungan hidup.
“Harus memiliki sense of crisis, juga bisa mempunyai tidak hanya simpati namun juga empati. Bagi penikmat media, konten ini juga seharusnya tidak dijadikan orientasi, namun sebagai pembelajaran, karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain,” pungkasnya.