Konten dari Pengguna

Menyoal Politik kabupaten Kaimana: Sentimen di atas Gagasan

Boban Abdurazzaq Sanggei
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
7 Oktober 2024 7:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boban Abdurazzaq Sanggei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Canva.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah beberapa pekan setelah resminya dua pasangan calon bupati dan wakil bupati Kaimana. Dinamika yang telah berjalan, baik itu pada tataran elit hingga masyarakat terlihat hanya berputar pada sentimen-sentimen personal. 2024 menjadi tahun yang cukup mengejutkan dan banyak sekali drama yang terjadi mulai dari tingkat nasional hingga daerah.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan yang lalu penulis sempat membuat beberapa tulisan, yang menanggapi kontestasi politik tingkat nasional yang berlangsung di sepanjang bulan Desember hingga Februari lalu. Pesta demokrasi yang dilakukan setiap lima tahun seharusnya menjadi pembelajaran berkala bagi masyarakat seiring bertambahnya generasi yang mengikuti pemilihan. Namun di kabupaten Kaimana seakan ada batu besar yang menghalangi masyarakat Kaimana untuk berkembang dalam memandang pemilu itu sendiri.
Penulis bisa menggambarkan bahwasanya masyarakat Kaimana diibaratkan sebagai gelondongan kayu di tengah 2 pusaran arus, mereka masing-masing berputar mengikuti arus yang pada akhirnya akan tenggelam ke dasar. Mereka tidak lagi memandang apa yang akan di bawa oleh dua PASLON ini namun karena ketidaksukaan pada personal atau sakit hati mereka yang akhirnya mereka memilih untuk ikut pada arus tertentu.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya fenomena ini bisa disebut sebagai Appeal to Popularity atau dalam bahasa latinnya “argumentum ad Populum” yang merupakan bentuk dari Logical Fallacy di mana argumen dianggap benar hanya karena banyak orang yang mendukungnya atau karena calon tersebut populer. Atau jika di kaitkan dengan konteks pemilihan, ini juga disebut sebagai “Bandwagon Fallacy”.
Hal ini yang mendasari banyaknya masyarakat Kaimana kebanyakan hanya ikut-ikutan secara fanatik tanpa memandang gagasan dan isi dari kedua pasangan tersebut. Hal-hal seperti ini yang harusnya menjadi perhatian khusus bagi kita karena akan sangat berdampak buruk ke depannya jika pola seperti ini dibiarkan.
Jika kita amati juga di media sosial, banyak sekali akun buzzer dari kedua kubu yang saling menyudutkan bukan tentang gagasannya akan tetapi personal dari kedua pasangan ini. akhirnya hal ini akan berujung pada tidak sehatnya kehidupan politik di Kaimana serta berkurangnya kemampuan berpikir kritis masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat hanya dibenturkan pada persoalan masing-masing calon, misalnya dari Umur, etnis dan sebagainya yang bersifat personal. Tentu ungkapan-ungkapan yang sedang tersebar di media sosial tersebut dapat menjadi bahan untuk di pidana, namun itu terserah bagi yang bersangkutan.
Kesalahan berpikir seperti ini akan diwariskan kepada generasi selanjutnya seperti generasi Z dan juga generasi Alpha, meskipun gen Alpha masih belum mengikuti pemilihan Akan tetapi penggunaan media sosial pada era ini sudah di normalisasi bagi masyarakat bahkan pada anak yang belum berumur 13 tahun ke atas.
Akibatnya postingan-postingan yang berisi tentang ujaran kebencian atau penghinaan pada calon tertentu akan dikonsumsi dan terbawa ke lingkungan dua generasi ini. Akhirnya kita akan menjadi saksi kedua generasi ini akan mewariskan hal yang sama di hari esok.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu di tahun 2024 ini dengan luasnya persebaran informasi kita sebaiknya bisa memfilter apa pun yang membawa pengaruh buruk bagi generasi selanjutnya. Dan bagi para pengguna media sosial mungkin bisa lebih bijak dalam membuat postingan, jika berbeda pilihan dengan yang lain ada baiknya dijelaskan secara spesifik visi, misi dan program mana yang ingin dia kritisi beserta argumen yang rasional. Di satu sisi hal ini akan meningkatkan objektifitas pemilih dalam pesta demokrasi ini.
Ada satu hal yang sempat dipikirkan oleh penulis untuk mengubah dinamika ini, yakni forum diskusi yang di fasilitasi oleh organisasi, lembaga non pemerintah dan organisasi pemuda yang mengundang dua calon ini secara terpisah. Dan tentunya para audiens yang mengikuti kegiatan tersebut wajib menanyai secara kritis setiap visi, misi dan program yang ingin dibawanya.
ADVERTISEMENT
Hal ini perlu di jelaskan secara detail apa yang ingin mereka lakukan selama 5 tahun ke depan jika terpilih. Serta jadikan ini sebagai budaya yang akan berlanjut terus walaupun masa pemilu telah usai, agar menjadi investasi bagi generasi penerus untuk dapat membuat hal yang lebih inovatif dalam berdemokrasi di Kabupaten Kaimana.
Pada akhirnya kita mesti memotong budaya ikut-ikutan ini dan lebih objektif dan kritis terhadap pilihan kita. Setiap warga di negara demokrasi memiliki hak untuk memilih dan berhak egois terhadap pilihannya akan tetapi harus berdasarkan pada akal sehat bukan sentimen.
Setiap program yang ditawarkan kedua PASLON harus di telaah secara kritis dan mereka harus menjawab secara spesifik, agar ke depan generasi yang akan melanjutkan bisa bertengkar pada tataran intelektual bukan lagi pada sentimen.
ADVERTISEMENT