Konten dari Pengguna

Tax Amnesty jilid III : Untuk Kepentingan Siapa?

Brian Situmorang
Seorang mahasiswa PKN STAN yang tertarik dengan bidang keuangan, pajak, bea cukai, dan investasi
6 Februari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brian Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: DJP
zoom-in-whitePerbesar
sumber: DJP
ADVERTISEMENT
Sebelum akhir tahun 2024, DPR dan pemerintah mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali program pengampunan pajak (tax amnesty) untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara. Rancangan Undang-Undang mengenai tax amnesty jilid III resmi dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, sebagai revisi atas UU Nomor 11 Tahun 2016. Usulan RUU tax amnesty ini muncul pertama kali dalam rapat kerja Badan Legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD pada hari Senin (18/11/2024). Oleh karena itu, RUU ini tercatat sebagai usulan dari Baleg DPR. Selanjutnya, Komisi XI DPR mengambil alih usulan RUU tax amnesty tersebut dari Baleg. Namun, Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, menyatakan tidak mengetahui siapa yang mengusulkan RUU tax amnesty dan hanya mengambil usulan tersebut dari Baleg. Di sisi lain, Ketua Baleg DPR, Bob Hasa, mengatakan bahwa RUU tax amnesty sudah tercantum dalam Prolegnas sebelum periode DPR 2024-2029.
ADVERTISEMENT
Fajry Akbar, Manajer Riset Center for Indonesian Taxation Analysis, mengungkapkan bahwa kebijakan pengampunan pajak saat ini tidak mendesak untuk diterapkan dan dapat membahayakan keadilan bagi pembayar pajak yang taat. Sementara itu, Prianto Budi S., Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, menyatakan bahwa pengampunan pajak merupakan cara sederhana untuk mengejar penghindaran pajak dan kebijakan ini sesuai dilaksanakan saat negara membutuhkan dana secara instan. Beberapa pengusaha juga berpendapat bahwa pengampunan pajak dinilai kurang ideal, namun diperlukan untuk menambah penerimaan negara. Menurut Ajib Hamdani, seorang Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, kebijakan tax amnesty memiliki aspek negatif yang menciptakan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang patuh. Karena tax amnesty telah diterapkan dua kali sebelumnya, masyarakat cenderung untuk meremehkan kebijakan-kebijakan umum perpajakan.
ADVERTISEMENT
"Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal," jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).
Perlu dicatat bahwa undang-undang tentang pengampunan pajak (tax amnesty) sudah dilaksanakan dua kali sebelumnya di Indonesia. Pertama, pada periode 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, dengan tarif yang bervariasi antara 2 persen hingga 10 persen. Selanjutnya, program tersebut berganti nama menjadi Program Pengungkapan Sukarela, yang dilaksanakan dari 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Program ini dibagi menjadi dua kelompok: wajib pajak yang mengikuti tax amnesty jilid I namun masih memiliki aset yang belum dilaporkan, serta wajib pajak yang belum berpartisipasi dalam program pengampunan pajak periode 2016-2020. Tarif yang dikenakan pada jilid II lebih tinggi, yaitu antara 6-11 persen untuk kelompok pertama dan 12-18 persen untuk kelompok kedua.
ADVERTISEMENT
Meskipun tax amnesty telah dilaksanakan sebelumnya, pelaksanaan kebijakan ini di Indonesia masih menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup siapa saja yang mendapat keuntungan dari kebijakan tersebut, apakah tax amnesty benar-benar efektif dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menaikkan penerimaan pajak, serta bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Analisis meta-studi menunjukkan bahwa program ini berhasil memotivasi pembayar pajak untuk mengungkapkan aset yang sebelumnya tidak dilaporkan, sehingga memperluas basis perpajakan di Indonesia (Mamesah,2021). Selain itu, tax amnesty juga berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara, meskipun tidak mencapai target yang ditetapkan (Pravasanti, 2018). Kebijakan ini juga dapat meningkatkan ketersediaan likuiditas dalam negeri dan memfasilitasi investasi, yang vital bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Meskipun pelaksanaan tax amnesty dapat memotivasi pembayar pajak untuk mengungkapkan aset yang sebelumnya tidak dilaporkan, hal ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan oleh pembayar pajak yang tidak jujur. Kebijakan ini dapat menjadi preseden yang buruk bagi wajib pajak yang telah patuh dan taat membayar pajak. Beberapa kritikus berpendapat bahwa tax amnesty menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah mematuhi kewajiban mereka, karena memberikan perlakuan khusus kepada pelanggar pajak (Sa'adah, 2018). Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memfasilitasi praktik pencucian uang dan mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Secara ekonomi, meskipun tax amnesty bertujuan meningkatkan penerimaan pajak, hasilnya sering tidak sesuai harapan. Banyak studi menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan sementara dalam pendapatan pajak, efek jangka panjangnya terhadap kepatuhan pajak tidak selalu positif. Beberapa penelitian bahkan mengindikasikan bahwa ekspektasi adanya program amnesti di masa depan dapat menurunkan kepatuhan pajak secara keseluruhan, karena wajib pajak mungkin menunda pelaporan pajak mereka dengan harapan kebijakan serupa akan diterapkan lagi di masa mendatang. Lebih jauh lagi, kebijakan tax amnesty dapat menciptakan ketergantungan pada program amnesti sebagai solusi untuk masalah kepatuhan pajak. Hal ini dapat mengalihkan perhatian dari perlunya reformasi perpajakan yang lebih mendasar dan berkelanjutan, seperti peningkatan sistem administrasi pajak dan penegakan hukum yang lebih ketat. Dengan demikian, alih-alih memperbaiki sistem perpajakan, kebijakan tax amnesty jilid III ini dapat memperburuk masalah kepatuhan pajak dalam jangka panjang.
sumber: @contextdotid on instagram
Dalam menghadapi kemungkinan pemberlakuan tax amnesty jilid III, Indonesia dihadapkan pada titik krusial dalam kebijakan perpajakannya. Meskipun program ini menjanjikan peningkatan penerimaan negara dalam jangka pendek, pengalaman dari dua program serupa sebelumnya menunjukkan bahwa solusi cepat tidak selalu menjadi langkah terbaik. Daripada bergantung pada program pengampunan pajak yang berulang, Indonesia perlu fokus pada reformasi sistem perpajakan yang lebih mendasar dan berkelanjutan. Hal ini mencakup penguatan administrasi perpajakan, peningkatan transparansi, serta penegakan hukum yang lebih tegas. Tanpa perubahan mendasar tersebut, tax amnesty berisiko hanya menjadi solusi sementara yang justru dapat melemahkan budaya kepatuhan pajak jangka panjang. Pada akhirnya, keberhasilan sistem perpajakan Indonesia tidak semata-mata bergantung pada kebijakan temporer, melainkan pada komitmen bersama untuk membangun sistem perpajakan yang adil, efisien, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT