Konten dari Pengguna

Merawat dan Mewariskan Ingatan: Peringatan Bencana Sangiang 1980 yang Terlupakan

Budi Gustaman
Dosen Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
29 Desember 2024 13:18 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Gustaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang 26 Desember 2024 lalu, masyarakat Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka cukup disibukkan dengan rutinitas tahunan berupa peringatan bencana banjir bandang yang terjadi pada 26 Desember 1980, suatu bencana dengan jumlah korban terbanyak di Indonesia pada kisaran waktu sekitar 1980. Mereka bahu membahu mempersiapkan rangkaian acara, mulai dari panggung, pengisi acara, hingga pernak-pernik yang menjadi pengingat bencana yang terjadi 44 tahun lalu itu.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, acara puncak peringatan bencana pun sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya hanya dilakukan doa bersama dan ziarah, maka tahun 2024 ini ide peringatan tidak hanya seremonial belaka. Esensi edukasi bencana dan penyuguhan visualisasi Sangiang tahun 1980 dikemas sedemikian rupa. Sejak pagi hingga malam, masyarakat diajak ikut serta napak tilas ke wilayah-wilayah yang terdampak bencana, memetik edukasi bencana dari pemaparan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Majalengka, menikmati suguhan kesenian Sunda dari para pegiat budaya, hingga terlarut dalam acara puncak berupa tausiyah, doa bersama, dan ziarah ke makam para korban.
Digelar secara swadaya, masyarakat Sangiang mampu menghidupkan kembali ingatan tentang bencana, sekaligus mewariskannya kepada generasi muda perihal esensi edukasi dan mitigasi. Dengan mengusung tema Ngajaga alam, ngukir hikmah, nyoreang katukang, mieling tapak lembur, milangkala bencana banjir bandang, masyarakat Desa Sangiang menunjukkan karakteristik kuat sebagai masyarakat yang sadar bencana.
ADVERTISEMENT
Bencana Sangiang dalam Ingatan Kolektif Masyarakat
Setiapkali hujan besar, tubuhnya selalu mengigil dilanda rasa takut. Apalagi jika ia sedang berada sendirian di rumah. Bahkan, dulu sering secara spontan mempersiapkan baju yang dibuntal dalam kain jika terjadi hujan besar, sebagai bentuk kewaspadaan jika bencana tiba-tiba terjadi lagi. Kondisi itu lah yang dulu sempat dirasakan Yoyoh (83 tahun) dalam mengenang bencana banjir bandang yang melanda kampungnya. Meski telah berusia 83 tahun, ingatannya masih jelas pada peristiwa yang hampir merenggut nyawanya pada 44 tahun lalu itu. Sesekali Yoyoh terbata-bata dan berkaca-kaca mengingat peristiwa pilu tersebut, terutama saat ia mengingat suaminya yang tewas karena hanyut terbawa banjir. Juga saat ia mengingat kondisi dirinya yang terbawa arus, dengan lumpur, genteng, dan kayu yang menimbun dirinya. Beruntung, ia tersangkut pada akar dan pohon kopi hingga kemudian berhasil dievakuasi setelah hampir 3 jam menyelamatkan diri dari derasnya arus.
ADVERTISEMENT
Memori tentang bencana tahun 1980 pun masih jelas dalam ingatan Ooh (67 tahun), yang menyaksikan anaknya yang masih berumur 1 tahun terbawa arus. Dengan rasa putus asa, ia mengira anaknya telah tewas. Namun, atas pertolongan Tuhan, anaknya dapat terselamatkan setelah ditemukan dalam timbunan semak berlumpur. Anaknya pun kini telah tumbuh besar, yang membuat Ooh merasa tidak ingin kehilangannya lagi.
Meskipun berhasil selamat dari terjangan banjir besar, Yoyoh dan Ooh menyaksikan keluarga, kerabat, dan teman, termasuk harta benda terseret arus pada Jumat petang, 26 Desember 1980. Saat artikel ini ditulis, memori tentang bencana masih melekat di benak para penyintas, dengan penuturan yang penuh haru saat kembali menggali memori tentang segala hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan pada momen sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi. Mereka merupakan manifestasi dari memori kolektif bencana katastropik yang menerjang wilayah Sangiang dan Sunia, yang semakin terkikis karena faktor kerawanan usia.
ADVERTISEMENT
Secara geologis, banjir bandang yang melanda 5 kampung di Desa Sangiang dan Desa Sunia, disebabkan adanya longsoran di Gunung Gegerhalang, yang berada sekitar 200meter dari Kampung Legok, pemukiman terdekat dengan zona longsor. Selain karena kondisi tanah yang labil, longsoran tersebut disebabkan hujan yang melanda selama berhari-hari. Longsoran di kaki bukit tersebut membendung aliran air secara alami, dan dalam hitungan jam, bendungan itu pun jebol dan menghanyutkan 5 kampung di bawahnya, yakni Legok, Pasir Bitung, Barujaksi, Sangiang, dan Tagerang. Akibatnya, sebanyak 139 orang tewas, 124 luka-luka, 14 orang dinyatakan hilang, serta sebanyak 600 kepala keluarga diungsikan ke pemukiman baru. Bencana itu pun menelan kerugian mencapai Rp. 2,1 Milyar pada masanya, berdasarkan pemberitaan Pikiran Rakyat pada 30 Desember 1980.
ADVERTISEMENT
Musibah yang berlabel bencana nasional tersebut sangat ‘viral’ pada masanya. Tercatat bahwa dua media ternama, yakni Kompas dan Pikiran Rakyat secara berkala mewartakan selama lebih dari dua pekan pascabencana. Terlebih, label bencana nasional semakin melekat tatkala Presiden Soeharto datang bersama para pejabat negara. Mereka terbang menaiki helikopter seiring dengan sulitnya akses menuju zona bencana. Memori ini terekam jelas dalam benak para korban, seperti Yoyoh (83 tahun) yang disalami dan diusap oleh Soeharto, serta dirawat langsung oleh dokter kepresidenan. Kondisi serupa dirasakan oleh Diding Jaenudin (54 tahun), yang hendak akan dibawa ke Jakarta untuk dijadikan sebagai anak asuh Sang Presiden.
ADVERTISEMENT
Selain melihat-lihat kondisi beberapa kampung pascabencana, presiden pun sempat berpidato di depan warga untuk memberikan dukungan moril kepada para korban, yang kemudian dijadikan headline dalam pemberitaan Kompas edisi 31 Desember 1980: "Penduduk Talaga Sabar dan Tawakallah". Hadirnya Sang Presiden sekaligus memberikan petunjuk bagi pemilihan budidaya pertanian yang tepat agar tidak menyebabkan longsor di kemudian hari. Presiden Soeharto pun memberi arahan perihal pemukiman baru bagi masyarakat. Berdasarkan penuturan para saksi hidup, kehadiran Presiden Soeharto sangat spesial di tengah rasa duka yang melanda. Hingga kini, mereka masih mengenangnya sebagai sebuah momen yang memorable bagi masyarakat Sangiang.
Partisipasi Peneliti Unpad
Penelitian tentang Bencana Sangiang sejatinya menjadi perhatian khusus para peneliti dari Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Tim peneliti yang terdiri atas Budi Gustaman, Gani A. Jaelani, dan Fadly Rahman, mulai melakukan penelitian sejak Februari 2024 lalu. Dengan dibantu oleh mahasiswa, para peneliti mewawancarai beberapa saksi hidup di beberapa kampung yang terdampak. Hasilnya, para peneliti melakukan pemetaan terkait sumber-sumber pengetahuan tentang Bencana Sangiang, yang dituturkan secara lisan, didokumentasikan melalui pemberitaan media massa, dan dianalisis dalam laporan geologis pascabencana.
ADVERTISEMENT
Penulis yang menjadi salah satu anggota Tim Peneliti Unpad memiliki kesan tersediri perihal kisah Bencana Sangiang 1980, yang seringkali menjadi dongeng pengantar tidur saat masih kanak-kanak. Tinggal sekitar 4 Km dari zona bencana, penulis mewarisi kisah Bencana Sangiang dari orang tua karena lahir dan tumbuh satu dekade pascabencana. Hal ini pun menjadi alasan lain dilakukannya penelitian tentang Bencana Sangiang.
Selain melakukan observasi ke wilayah Desa Sangiang, pencarian data dilakukan di berbagai tempat, seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, serta beberapa perpustakaan di Bandung, seperti Perpustakaan Museum Geologi, serta Perpustakaan Departemen Geologi, dan Perpustakaan Pusat Riset Lingkungan Hidup di lingkungan Institut Teknologi Bandung. Data-data yang didapat pun tidak hanya digunakan sebagai bahan untuk membuat kajian sejarah bencana, tetapi juga diberikan kepada masyarakat Desa Sangiang untuk dipergunakan sepenuhnya dalam pewarisan pengetahuan dan edukasi bencana di wilayahnya. Menariknya, data-data yang diberikan oleh Tim Peneliti menjadi penguat dalam penyelenggaraan peringatan bencana pada 26 Desember 2024.
ADVERTISEMENT
Peringatan Bencana dan Misi Edukasi untuk Mitigasi Berkelanjutan
Dalam keseharian masyarakat Sangiang, pengingat tentang bencana sebetulnya selalu hadir, tetapi terkadang dimaknai hanya menjadi monumen berlumut semata. Ya, di tengah-tengah lapangan di sekitar Kantor Desa Sangiang, tertambat suatu monumen bencana dan pembangunan pemukiman baru yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi pada 21 Agustus 1981. Monumen tersebut menjadi saksi bisu yang menjadi pengingat bencana tahun 1980 silam. Namun demikian, saksi bisu tersebut nyatanya tidak benar-benar bisu karena pada realitasnya monumen tersebut tidak berdiri sendiri dan selalu disuarakan setiap 26 Desember melalui peringatan bencana. Acara pada tahun-tahun sebelumnya selalu difokuskan pada doa bersama, dan ziarah kubur ke pemakaman di Desa Sangiang, serta pemakaman massal di Pasir Melati, Kota Majalengka. Pemakaman massal tersebut merupakan makam para korban yang ditemukan hanyut di sekitar Kadipaten dan Bendungan Rentang, Jatitujuh, yang berjarak sekitar 30 Km dari zona bencana.
Monumen tentang bencana dan pembangunan pemukiman baru di Desa Sangiang. (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2024).
Diding Jaenudin, salah seorang saksi hidup sekaligus pegiat budaya di Desa Sangiang menuturkan:
ADVERTISEMENT
Pernyataan Diding pada dasarnya memerlukan perhatian khusus dari para pemangku kebijakan karena pada dasarnya Bencana Sangiang merupakan salah satu bencana nasional yang terlupakan. Suatu pengetahuan yang bukan hanya harus diwariskan untuk sesama masyarakat Desa Sangiang, juga untuk masyarakat Kabupaten Majalengka dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Pada acara Peringatan Bencana Sangiang 26 Desember lalu, upaya pewarisan dan edukasi kebencanaan pun sudah dilakukan meskipun dengan berbagai keterbatasan. Setidaknya, seluruh komponen masyarakat, terutama para generasi muda telah dilibatkan dalam rangkaian acara yang dimulai dengan telusur ke zona bencana dengan menggandeng BPBD Kabupaten Majalengka. Menariknya, masyarakat secara visual diberikan edukasi dari pihak BPBD mengenai kerentanan secara geologis serta pelestarian alam berbasis kearifan lokal.
BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Majalengka melakukan edukasi bencana kepada masyarakat Desa Sangiang. (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2024).
Dalam peringatan bencana tersebut, kreativitas masyarakat Desa Sangiang berupaya untuk menyuguhkan memori 44 tahun silam secara visual melalui pemutaran video yang berisikan foto-foto dan berita tentang bencana, serta menampilkan panggung bambu yang menyerupai rumah-rumah tahun 1980-an. Seluruh komponen panggung, mulai dari bahan, desain, hingga berbagai perkakas yang dihadirkan, merepresentasikan kondisi rumah di Desa Sangiang yang tersapu banjir.
Panggung peringatan bencana Sangiang 1980. (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2024).
Setelah dilakukan edukasi bencana, puncak acara pun digelar berupa tausiyah, doa bersama, dan ziarah ke makam para korban. Seluruh rangkaian acara berhasil membawa masyarakat, khususnya para saksi hidup, ke dalam suasana sedih nan mengharukan mengenang para keluarga, kerabat, atau teman yang menjadi korban. Sebagai sebuah peringatan bencana, acara itu pun sukses dalam menghadirkan dan menyuguhkan berbagai memori tentang bencana.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, masyarakat Desa Sangiang telah berhasil menjaga, memupuk, melestarikan, sekaligus mewariskan memori dan edukasi tentang bencana. Semua itu didapat dari pemaknaan yang luhur terhadap sejarah dan budayanya. Pertanyaannya, bagaimana pemerintah kabupaten dan provinsi memaknai dan menyikapi upaya kongkrit masyarakat Desa Sangiang? Setidaknya peringatan di tahun 2024 ini menjadi langkah awal untuk meniti upaya yang lebih terarah seputar edukasi, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis sejarah dan kearifan lokal. Suatu hal yang sejatinya selaras dengan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki ketahanan bencana, di tengah kerentanan yang menyebar dan mengancam di berbagai wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Budi Gustaman
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran