Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.6
24 Ramadhan 1446 HSenin, 24 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Geopolitik Nikel: Bagaimana Menavigasi Kepentingan China, AS, dan Eropa?
23 Maret 2025 10:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan

Nikel telah menjadi komoditas strategis di era transisi energi global. Permintaan nikel meningkat pesat karena perannya yang vital dalam produksi baterai kendaraan listrik (Electric vehicle, EV), baja tahan karat, dan berbagai aplikasi industri lainnya. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, memiliki posisi strategis dalam rantai pasok global. Namun, keberadaan Indonesia di panggung geopolitik nikel juga membawa tantangan tersendiri, terutama untuk menavigasi kepentingan negara-negara besar seperti China, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE). Artikel ini membahas bagaimana Indonesia mengelola dinamika geopolitik ini, menyeimbangkan kepentingan domestik, investasi asing, serta strategi diplomasi ekonomi dan sumber daya.
ADVERTISEMENT
Dominasi Indonesia dalam Pasar Nikel Global
Berdasarkan data produksi tahun 2024, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, dengan sekitar 59,5% dari total produksi global (Tabel 1), dengan cadangan yang melimpah di Sulawesi dan Maluku. Beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, termasuk larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 untuk mendorong hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi nasionalisme sumber daya yang lebih luas, yang bertujuan menarik investasi ke dalam sektor pemrosesan dan manufaktur berbasis sumber daya (Simmons & Marcilly, 2024). Kebijakan ini bertujuan untuk menarik investasi ke dalam industri pengolahan dan pemurnian nikel, terutama produksi produk bernilai tinggi seperti nikel sulfat yang digunakan dalam baterai EV.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini telah mengubah lanskap industri global, dengan dampak yang berbeda bagi negara-negara pengimpor utama seperti China, AS, dan UE. China menjadi mitra dominan dalam industri nikel Indonesia, sementara AS dan UE mulai mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada rantai pasok yang dikendalikan oleh Beijing.
Tabel 1. Produksi, cadangan, dan kebijakan ekspor Nikel Indonesia
Kebijakan Indonesia untuk membatasi ekspor nikel telah berdampak signifikan terhadap produksi dalam negeri, dengan peningkatan jumlah produksi dari tahun ke tahun. Kebijakan hilirisasi ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen utama nikel dunia tetapi juga menggeser dinamika rantai pasok global (Tabel 1). Peran Indonesia dalam pasar nikel internasional teridentifikasi pada tabel berikut. Tabel 2 menyajikan perbandingan produksi dan cadangan nikel di berbagai negara. Dari tabel ini, terlihat bahwa Indonesia mendominasi produksi global dengan selisih yang signifikan dibandingkan negara lain, sekaligus memiliki cadangan terbesar yang menjadikannya pemain kunci dalam geopolitik nikel.
ADVERTISEMENT
Tabel 2. Produksi dan cadangan Nikel dunia
Kepentingan China: Investasi dan Kontrol Rantai Pasok
China merupakan investor terbesar dalam industri nikel Indonesia (Tritto, 2023), terutama melalui perusahaan-perusahaan seperti Tsingshan Holding Group dan Huayou Cobalt. Investasi besar China di Indonesia difokuskan pada pembangunan smelter nikel dan ekosistem rantai pasok baterai EV. Langkah ini sejalan dengan ambisi China untuk mengamankan pasokan bahan baku utama guna mempertahankan dominasinya dalam industri kendaraan listrik global.
Namun, hubungan ini juga menimbulkan berbagai tantangan. Ketergantungan Indonesia pada modal dan teknologi China bisa mengurangi daya tawar Indonesia dalam negosiasi harga dan kebijakan perdagangan. Selain itu, munculnya isu tenaga kerja asing dari China serta dampak lingkungan dari proyek-proyek tambang telah memicu kontroversi di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Strategi AS: Diversifikasi Pasokan dan Pengaruh Geopolitik
AS, di bawah kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) 2022, berupaya mengurangi ketergantungannya pada China dalam rantai pasok mineral kritis, termasuk nikel. Pemerintah AS telah meningkatkan upaya untuk memperkuat hubungan dengan Indonesia melalui mekanisme seperti Mineral Security Partnership (MSP), yang bertujuan mengembangkan rantai pasok nikel yang lebih terdiversifikasi. Namun, keterlibatan AS dalam industri nikel Indonesia masih terbatas. Salah satu kendala utama adalah dominasi perusahaan China di sektor pemrosesan nikel Indonesia, yang membuat investor AS ragu terlibat lebih jauh. Selain itu, regulasi lingkungan dan hak tenaga kerja yang lebih ketat di AS menjadi tantangan tersendiri dalam membangun kemitraan yang setara dengan Indonesia (Korteweg & Kranenburg, 2024). Perusahaan-perusahaan AS seperti Tesla dan Ford mulai tertarik untuk membangun rantai pasok yang lebih terintegrasi, tetapi masih kalah agresif dibandingkan investasi China. Selain itu, AS juga memiliki regulasi lingkungan dan standar tenaga kerja yang lebih ketat, yang dapat memperlambat proses investasi dan kerja sama.
ADVERTISEMENT
Posisi Uni Eropa: Regulasi dan Keinginan pada Kemandirian
Uni Eropa, sebagai salah satu pasar utama kendaraan listrik, juga berupaya mengurangi ketergantungannya pada nikel yang diproses di China. UE telah mengajukan gugatan terhadap Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel, dengan alasan bahwa kebijakan tersebut mendistorsi pasar global. Pada 2022, WTO memutuskan bahwa kebijakan Indonesia melanggar aturan perdagangan internasional, tetapi Indonesia tetap mempertahankan kebijakan hilirisasi sebagai strategi pembangunan nasional. UE juga memperkenalkan regulasi baru terkait rantai pasok hijau dan keberlanjutan, yang dapat menjadi tantangan bagi industri nikel Indonesia yang masih menghadapi masalah lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran akibat pertambangan. Jika Indonesia ingin tetap menjadi pemasok utama bagi pasar Eropa, perlu ada upaya serius untuk meningkatkan standar keberlanjutan dan transparansi rantai pasok.
ADVERTISEMENT
Strategi Indonesia dalam Menavigasi Kepentingan Global
Indonesia telah menerapkan beberapa strategi utama untuk menghadapi dinamika geopolitik ini. Pertama, diversifikasi mitra dagang dan investasi
Indonesia berusaha mengurangi ketergantungan pada satu negara dengan menarik lebih banyak investor dari AS, UE, Korea Selatan, dan Jepang untuk menciptakan keseimbangan dalam industri nikel. Kedua, peningkatan hilirisasi dan nilai tambah. Dengan membangun lebih banyak smelter dan industri pemurnian, Indonesia dapat memastikan bahwa ekspor nikel memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, sekaligus meningkatkan daya tawar dalam perdagangan global. Indonesia memainkan peran penting dalam koordinasi regional ASEAN, dengan peningkatan kapasitas pemrosesan dan manufaktur mineral strategis, khususnya nikel. Ekspansi proyek smelter dan hilirisasi yang besar di Indonesia memperkuat posisi tawar Indonesia dalam rantai pasok global (IISD 2023). Ketiga, negosiasi dalam diplomasi ekonomi. Pemerintah Indonesia terus berupaya menyeimbangkan tekanan dari berbagai kekuatan global, baik melalui forum bilateral maupun organisasi internasional seperti G20 dan ASEAN. Keempat, keberlanjutan dan tata kelola industri yang lebih baik. Indonesia harus meningkatkan standar lingkungan dan sosial dalam industri nikel Untuk tetap kompetitif di pasar global, termasuk dalam pengelolaan limbah tambang, tenaga kerja, dan regulasi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Penutup
Indonesia berada di pusat geopolitik nikel dunia, dengan peran strategis dalam rantai pasok kendaraan listrik dan industri berbasis logam. China mendominasi investasi dan produksi, AS mencari diversifikasi pasokan, dan UE menekan melalui regulasi dan kebijakan perdagangan. Indonesia harus terus menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan politik global dengan prioritas pembangunan nasionalnya. Keberhasilan strategi ini akan menentukan apakah Indonesia dapat memanfaatkan statusnya sebagai raksasa nikel dunia untuk memperoleh keuntungan jangka panjang, atau justru menjadi korban dari perebutan kepentingan negara-negara besar.
Referensi:
Tritto, A. (2023). How Indonesia Used Chinese Industrial Investments to Turn Nickel into the New Gold. Carnegie Endowment for International Peace.
IISD. (2023). ASEAN-IGF Minerals Cooperation: Scoping Study on Critical Minerals Supply Chains in ASEAN. International Institute for Sustainable Development.
ADVERTISEMENT
Simmons, B., & Marcilly, J. (2024). Resource Nationalism and Downstreaming: Lessons for African Producers of Critical Minerals from Indonesia. Atlantic Council.
Korteweg, R., & Kranenburg, V. (2024). The Good, the Bad, and the Ugly: Resource Nationalism, Geopolitics, and Processing Strategic Minerals in Indonesia, South Africa, and Malaysia. Clingendael Institute.