Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Waspada: Penyertaan Modal Negara atau Penyelamatan Krisis Keuangan?
4 Maret 2025 10:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyertaan modal negara (PMN) dan talangan (bailout) sering kali dianggap sebagai dua konsep yang berbeda dalam kebijakan ekonomi dan keuangan publik. Bailout umumnya merujuk pada intervensi pemerintah untuk menyelamatkan entitas bisnis atau sektor tertentu yang mengalami krisis keuangan, sementara penyertaan modal lebih sering dikaitkan dengan investasi strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, batas antara kedua konsep ini sering kali menjadi tipis dan sulit dibedakan. Ketika suatu proyek atau perusahaan mengalami kesulitan finansial, intervensi pemerintah yang awalnya dimaksudkan sebagai dukungan investasi dapat berujung pada bentuk bailout terselubung.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini banyak terjadi, terutama dalam proyek infrastruktur dan industri strategis di berbagai negara. Misalnya, proyek-proyek yang awalnya dirancang dengan skema Business-to-Business (B to B) sering kali beralih ke Business-to-Government (B to G) ketika menghadapi kendala keuangan. Pergeseran ini membuat beban pembiayaan yang semula ditanggung oleh entitas swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya beralih ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Konsekuensinya, negara tidak hanya harus menanggung risiko keuangan yang meningkat, tetapi juga menghadapi tantangan dalam menjaga kesehatan fiskal dan menghindari distorsi pasar yang dapat melemahkan sektor swasta.
Di satu sisi, bailout dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mencegah dampak sistemik dari kegagalan perusahaan besar terhadap perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, penggunaan dana publik untuk menyelamatkan entitas bisnis yang tidak efisien dapat menciptakan moral hazard. Perusahaan atau BUMN selalu merasa nyaman mengambil risiko berlebih dengan asumsi bahwa pemerintah akan selalu turun tangan jika terjadi kesulitan. Situasi ini tidak hanya dapat merugikan keuangan negara, tetapi juga dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat dalam ekonomi pasar.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, penting untuk menelaah sejauh mana batas antara bailout dan penyertaan modal dapat ditentukan dengan jelas, serta bagaimana kebijakan ekonomi dan regulasi keuangan dapat dirancang untuk memastikan bahwa intervensi pemerintah tetap berada dalam koridor investasi yang produktif tanpa menjadi beban fiskal yang tidak terkontrol.
Penyertaan modal pemerintah seharusnya difokuskan pada investasi strategis yang memiliki dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimbang sekadar menjadi instrumen penyelamatan entitas bisnis yang mengalami kesulitan keuangan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap alokasi dana investasi dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas, sehingga dapat menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional secara berkelanjutan. Selain itu, regulasi yang jelas perlu diterapkan untuk membedakan antara intervensi dalam bentuk investasi produktif dan bailout terselubung yang berpotensi menciptakan moral hazard. Dengan demikian, penyertaan modal pemerintah tidak hanya berperan dalam menopang sektor-sektor strategis tetapi juga mendorong inovasi, meningkatkan daya saing industri domestik, serta menciptakan lingkungan bisnis yang lebih sehat dan berdaya tahan terhadap krisis di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kasus bailout Lufthansa oleh pemerintah Jerman pada tahun 2020 merupakan salah satu contoh intervensi negara dalam menyelamatkan entitas bisnis yang mengalami krisis keuangan akibat faktor eksternal, dalam hal ini pandemi COVID-19. Lufthansa, sebagai salah satu maskapai penerbangan terbesar di Eropa, mengalami tekanan keuangan yang luar biasa akibat penurunan tajam dalam permintaan perjalanan udara serta berbagai pembatasan mobilitas yang diberlakukan untuk menekan penyebaran virus. Untuk menghindari kebangkrutan yang dapat berdampak sistemik terhadap ekonomi Jerman, pemerintah menyetujui paket bailout senilai €9 miliar. Melalui skema penyelamatan ini, negara menjadi pemegang saham terbesar di Lufthansa dan memperoleh dua kursi dalam dewan pengawas perusahaan.
Intervensi ini menimbulkan perdebatan terkait batas antara bailout dan penyertaan modal strategis. Di satu sisi, penyelamatan Lufthansa dianggap strategis untuk melindungi ribuan lapangan kerja serta menjaga keberlanjutan industri penerbangan Jerman yang memiliki dampak luas terhadap sektor lainnya, termasuk pariwisata dan perdagangan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai moral hazard, yakni potensi bagi perusahaan untuk mengambil risiko keuangan yang lebih besar dengan asumsi bahwa negara akan selalu memberikan dukungan saat mengalami krisis. Selain itu, keterlibatan pemerintah sebagai pemegang saham utama juga menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi distorsi pasar, terutama dalam hal persaingan bisnis dengan maskapai lain yang tidak menerima bantuan serupa.
ADVERTISEMENT
Kasus Lufthansa mencerminkan bagaimana batas antara bailout dan investasi pemerintah sering kali menjadi kabur. Awalnya, dukungan finansial ini dapat diklaim sebagai langkah strategis untuk mempertahankan daya saing industri nasional, tetapi dalam praktiknya, negara terpaksa menanggung risiko finansial yang besar untuk menyelamatkan entitas bisnis tertentu. Oleh karena itu, kebijakan bailout semacam ini harus diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat guna memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar bersifat sementara dan tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap dana publik.
Kasus seperti Lufthansa bukanlah fenomena yang terisolasi, tetapi telah banyak terjadi di berbagai negara dengan pola yang serupa. Intervensi pemerintah dalam bentuk bailout sering kali menjadi beban berat bagi APBN, terutama ketika penyelamatan perusahaan tidak disertai dengan strategi keberlanjutan yang jelas. Ketergantungan entitas bisnis terhadap bantuan negara juga dapat menciptakan moral hazard, di mana perusahaan merasa aman mengambil risiko finansial karena mengandalkan intervensi pemerintah saat mengalami kesulitan. Selain itu, penggunaan dana publik untuk menanggung risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab sektor swasta berpotensi mengurangi alokasi anggaran untuk sektor yang lebih mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih ketat dalam menentukan batas antara investasi strategis dan bailout, guna memastikan bahwa intervensi negara tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT