Gua Bokimaruru dan Cerita Rakyat Orang Halmahera Tengah

Konten Media Partner
16 Mei 2021 6:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sungai yang mengalir dari dalam gua dan bermuara di Desa Sagea. Foto: Supriyadi Sudirman/jalamalut
zoom-in-whitePerbesar
Sungai yang mengalir dari dalam gua dan bermuara di Desa Sagea. Foto: Supriyadi Sudirman/jalamalut
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gua Bokimaruru tak sekadar destinasi wisata bahkan potensi Kawasan Bentangan Alam Karst ataupun yang disebut Geopark di Halmahera bagian tengah. Gua ini bahkan memiliki cerita—legenda secara turun-temurun yang hidup di tengah masyarakat Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara.
ADVERTISEMENT
Keunikan dan potensi gua ini pun menjadi perhatin pemerintah setempat, untuk mengembangan kawasan wisata Gua Bokimaruru.
Husen Ali, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah, pada tahun 2020 kemarin, pernah merilis, bahwa pemerintah setempat telah mengusulkan Gua Boki Maruru sebagai Kawasan Bentangan Alam Karst dan Geoheritage pada tahun 2019.
Air sungai mengalir dari dalamgua Bokimaruru. Foto: Supriyadi Sudirman/jalamalut
“Usulan telah disampaikan langsung kepada kepada Kepala Badan Geologi, Kementerian ESDM, Dr. Rudy Suhendar, M.Sc. Usulan tersebut juga disaksikan Ketua Pusat Masyarakat Geowisata Indonesia dan Anggota Tim Penilai Geopark Indonesia, Dr. Heryadi Rachmat,” ungkap Husen,dalam keterangan tertulis.
Sebelumnya, Supriyadi Surdirman, Kru jalamalut pernah mengabadikan cerita ini pada tahun 2019, bertajuk Mendengar Cerita Rakyat Tentang Gua Bokimaruru, yang disunting oleh Faris Bobero, CEO cermat partner resmi kumparan. Artikel ini pun menjadi arsip jalamalut Media Grup.
ADVERTISEMENT

Gua, Bokimaruru, dan cerita rakyat

Berikut legenda tentang Gua Bokimaruru---cerita yang diabadikan oleh Supriyadi Sudirman dengan cara mewawancara beberapa tetua di kampungnya:
Ngos nom pai joo ma boki, ta nim fei fie re birahi tantei” [putri raja siapakah engkau sehingga begitu cantik dan jelita]. Sambil memegang tangan perempuan itu, Mon Takawai bertanya menggunakan bahasa Sawai. Saat itu di gerbang Gua yang dialiri sungai nan jernih.
Dua orang ibu sedang membawa sampan bermuatan kelapa di Sungai yang mengalir dari Gua Bokimaruru. Foto: Faris Bobero/jalamalut
Dahulu kala, di Pulau Halmahera, orang-orang hidup nomaden. Pola hidup seperti itu karena kebiasaan mereka dalam mencari makan, berburu, mencari damar di tengah hutan belantara, membangun rumah-rumah tanpa sekat di dekat sungai-sungai, berkebun dan melakukan aktivitas untuk kelangsungan kehidupan mereka.
Di tanjung, teluk, muara sungai, bantaran sungai, hingga di bukit dan lembah disinggahi. Menapaki jejak hidup. Mereka membangun peradaban di sana. Begitu juga kisah komunitas-suku Sawai yang hidup di teluk Weda, Halmahera Tengah (Halteng).
Paox Iben, salah satu penjelajah saat berkunjung ke Gua Bokimaruru. Foto: Faris Bobero/jalamalut
Dalam sejarah lisan warga Sagea, Halteng, dahulu, hidup sepasang suami istri bersama seorang anak laki-laki yang mulai tumbuh dewasa. Anak ini diberi nama Mon Takawai. Seperti biasa suku-suku Halmahera yang saat itu nomaden, keluarga ini hiduap di tepian sungai Kobe nan jernih.
ADVERTISEMENT
Tokoh Pemuda Junaidi Muslim bercerita, Mon Takawai meminta izin kepada orang tuanya untuk mencari daerah baru di bagian utara. Atas izin orang tuanya, Mon Takawai kemudian pergi. Berjalan dan memutuskan mendiami sebuah kawasan di dekat muara sungai nan jernih. Geplun nama kawasan itu. Sungainya luas dan panjang. Lewat cerita yang berkembang, sungai ini diberi nama Dagasuli. Kisah Junaidi seperti yang diceritakan tetua kampung.
Paox Iben, saat memasuki Gua Bokimaruru. Foto: Faris Bobero/jalamalut
Setelah menemukan tempat itu, Mon Takawai kembali lagi di Kobe, dia lalu mengajak orang tuanya untuk pindah dan tinggal di kawasan yang ia temukan. Lewat ceritanya mereka pun pergi di kawasan Geplun, dan hidup menetap di tepian sungai itu.
Suatu hari, Mon Takawai menyusuri tepian Sungai Dagasuli berkeinginan mencari hulu sungai. Setelah cukup jauh perjalanannya, Mon Takawai beristirahat di bawah pohon yang rindang. Cabang pohon itu menjorok ke sungai dengan tali-tali dari pohon bergantungan layaknya ayunan.
Para ibu di Sagea, Halmahera Tengah, terlihat membawa sampan bermuatan buah kelapa di aluran sungai dari di desa tersebut, yang terhubung ke Gua Bokimaruru. Foto: Paox Iben
Mon Takawai menikmati keindahan alam yang begitu takjub dibuatnya, tiba-tiba dia mendengar samar-samar suara perempuan dari dalam Gua menggema keluar bersamaan air sungai yang mengalir jernih. “Dia [Mon Takawai] pun terkejut mendengar senandung suara itu,” Kata Junaidi, Kepala Pemuda Sagea, yang juga seorang sarjana Ilmu Sejarah.
ADVERTISEMENT
Pada Selasa, 01 Januari 2019, Supriyadi menemui Nenek Saoda (55) yang biasa disapa Nenek Oda, keturunan klan Gelet Geplun. Di Sagea, ada tiga klan yakni, Gelet Geplun, Gelet Somole, dan Sageyen. Dan Nenek Oda salah salah satu keturunan penutur hikayat orang Sagea.
Nenek Oda pun melanjutkan cerita rakyat tentang Mon Takawai.
Ketsa alam di Desa Sagea, Halmahera Tengah. Akses suangi ini untuk dapat masuk ke Gua Bokimaruru. Foto: Faris Bobero/jalamalut
Mon takwai penasaran, dia pun turun ke tengah sungai. Rasa Penasaran Mon Takwai semakin menjadi-jadi. Ia pun melangkah, turun ke tengah sungai. Tiba-tiba ia terkejut akan sosok yang dilihatnya, seorang perempuan bak bidadari sedang mandi, menghanyutkan tubuhnya dari Gua hingga ke tengah sungai, sambil bersenandung.
Sampai di tengah, perempuan itu berenang lagi, kembali masuk ke dalam Gua yang terbentuk batu cadas yang tinggi dan kokoh. Ia kembali membiarkan tubuhnya di bawah arus hingga ke tepian gundukan batu kali.
ADVERTISEMENT
Melihat itu, Mon Takawai kemudian mengendap-endap di semak-semak yang tumbuh digundukan di sekitar sungai sambil mengintip gerak-gerik perempuan yang menikmati air nan jernih itu.
Mon Takawai akhirnya keluar dari semak-semak dan mendekati perempuan itu. Mendengar suara semak-semak yang disibak, perempan itu menoleh ke arah semak-semak. Ia perempuan itu pun terkejut, ketika melihat seorang lelaki sedang berjalan kearahnya.
Suasana pengunjung di destinasi Wisata Bokimaruru, Halmahera Tengah, pada saat libur lebaran Idulfitri 2021. Foto: Julfikar Sangaji/JMG
Melihat laki-laki asing itu berjalan ke arahnya, perempuan itu bergegas, berenang semakin jauh ke dalam Gua. Perempuan itu pun menghilang dari pandangan Mon Takawai.
Mon Takawai pun terus berenang hingga ke dalam Gua. Ia melihat pemandangan batu-batu putih yang indah di dalam Gua itu, sambil mencari perempuan itu. Sesekali ia berteriak memanggil perempuan yang belum ia kenali.
ADVERTISEMENT
“Hingga Petang tiba, ia tak berhasil. Mon Takawai pun pulang kembali ke rumah, kembali ke muara sungai Dagasuli,” kata Nene Oda.
Setelah pulang, pikiran Mon Takawai terus dibayang-bayangi oleh kecantikan perempuan itu. Dua hari kemudian, Mon Takawai kembali ke hulu sungai menumpangi perahu. Sambil bersembunyi di dekat gerbang Gua, menunggu penuh harap akan datang perempuan yang dilihatnya dua hari lalu, kembali mandi di sungai. Namun hingga matahari terbenam, si perempuan tak kunjung muncul. Dia pun kembali lagi ke rumah, dilanda kecewa dan semakin gunda.
Destinasi Gua Bokimaruru dipadati pengunjung saat libur lebaran Idulfitri 2021. Foto: Julfikar Sangaji/JMG
Semakin penasaran dengan perempuan gua itu, beberapa hari kemudian Mon Takawai kembali ke hulu di dekat gerbang Gua. Sejak pagi Mon Takawai menunggu dengan sabar, dia bertekad harus bertemu kembali perempuan ini, “Apapun risikonya, saya harus bertemu,” kata Mon Takawai dalam hati.
ADVERTISEMENT
Matahari tepat di atas kepala, Mon Takawai mendengar suara senandung sang perempuan. Mon Takawai menunduk di semak-semak. Di tengah persembunyiannya Mon Takawai memutar otak, mulai menyusun siasat untuk menangkap perempuan ini. Dengan langkah perlahan tanpa suara, Mon Takawai menyusuri pinggiran sungai sampai ke dalam gua di antara batu cadas dan turun ke dalam sungai berenang pelan sambil mendekati perempuan tersebut.
Perempuan gua yang sedang asyik menikmati arus sungai yang menghanyutkan tubuhnya tak menyadari kehadiran Mon Takawai. Matanya terpejam menikmati dinginnya air Sungai Dagasuli.
Beberapa pengunjung terlihat menyewa sampan untuk menikmati destinasi Gua Bokimaruru di Desa Sagea, Halmahera Tengah. Foto: Julfikar Sangaji/JMG
Tiba-tiba perempuan itu merasa ada tangan yang menggenggam pergelangan tangannya. Dia terkejut, dan membuka mata lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Mon Takawai.
Perempuan itu pun mendorong tubuh Mon Takawai, namun tangannya tak mampu menandingi Kekuatan Mon Takawai. Sadar bahwa dia tak mungkin lepas dari gengaman lelaki asing ini, dengan wajah ketakutan perempuan itu akhirnya terdiam dan menundukkan wajahnya.
ADVERTISEMENT
Ketika perempuan itu mulai diam dan tetap menunduk malu ketakutan, Mon Takawai berkata, “Ngos nom pai joo ma boki, ta nim fei fie re birahi tantei” [Putri raja siapakah engkau sehingga begitu cantik dan jelita].
Perempuan ini tidak menjawab, hanya coba berupaya melepaskan diri dari tangan Mon Takawai, gengamannya erat-kuat. Mon Takawai kali ini tak mau gagal. Karena sudah menunggu kehadiran perempuan itu beberapa hari. Melihat perempuan ini terus diam, Mon Takawai kemudian merangkul tubuh perempuan itu, menggendongnya, dinaikkan ke dalam perahu yang telah disiapkan.
“Karena khawatir perempuan melariakan diri, Mon Takawai mengikat tangan perempuan ini dengan kain pengikat kepalanya, kemudian keluar menyusuri sungai bersama perempuan hingga ke muara lalu membawanya ke rumah,” ucap Nene Oda.
ADVERTISEMENT
Orang tua Mon Takawai terkejut melihat anaknya pulang dengan membawa seorang perempuan, merekapun bertanya siapakah gerangan perempuan ini.
Mon Takawai menjawab, “Perempuan ini saya bawa dari sebuah gua di kaki bukit. Tujuh hari lalu dia biarkan tubuhnya hanyut dibawa arus sungai. Saat saya mendekat dia lari dan menghilang di dalam gua, hari ini saya menunggunya dan temukan dia, dan saya mau bawa dia ke hadapan Papa dan Mama."
ADVERTISEMENT
Ibu Mon Takawai pun bilang, "Dia sangat cantik, perempuan secantik ini pasti bukan orang sembarangan, Mon Takawai. Kau harus kembalikan perempuan ini ke orang tuanya, kasihan dia."
“Tidak Mama, saya mau dia jadi istri saya,” jawab Mon Takawai.
Ibunya memandang wajah Mon Takawai sambil tersenyum, dia pun berkata, "Ya sudah, kamu makan dulu nanti ibu yang bicara dengan dia."
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, kata Nenek Oda, nama perempuan itu Sarimadago. Setelah dibujuk ibunya Mon Takawai, akhirnya Sarimadago bersedia menikahi Mon Takawai. Akhirnya, mereka pun membangun rumah tangga mereka sendiri, lalu hidup di dekat pesisir pantai di muara Sungai Dagasuli.
Beberapa bulan setelah menikah, Mon Takawai mengajak Sarimadago, menyusuri Sungai Dagasuli menggunakan perahu sampan. Setelah tiba di gerbang gua, Sarimadago berkeinginan mengulang kembali kebiasaan mandi sambil menghanyutkan tubuh di depan gerbang Gua.
Mon Takawai berkata kepada istrinya, “Istriku yang cantik laksana putri raja, gerbang gua ini jadi saksi perjuangan cintaku padamu yang biasanya mandi dan menghanyutkan diri di sungai. Gua ini akan aku beri nama yang melambangkan tingkahmu saat itu."
“Nama gua ini kuberikan untuk mengenang kisah awal pertemuan kita. Saya namakan gua ini dengan sebutan Gua Bokimaruru (Gua Putri yang menghanyutkan diri)," ucap Mon Takawai, seperti yang ditutur Nene Oda.
ADVERTISEMENT
Istrinya tersenyum dan mengangguk setuju. Mulai saat itu hingga saat ini, di hulu Sungai Dagasuli itupun dikenal dengan nama Gua Bokimaruru.
***
Legenda ini, telah berkembang turun-temurun. Warga Sagea sudah sebagian besar mendengar cerita Gua Bokimaruru, yang artinya putri yang menghanyutkan diri. Hingga sekarang, asal muasal perempuan tersebut belum ketahui.
---
Supriyadi Sudirman