RUU Perampasan Aset, Akan Dibahas ke Arah Mana?

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
14 Mei 2023 20:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dari Mvezo Karamchand Hay from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto dari Mvezo Karamchand Hay from Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) akan dilakukan minggu depan oleh pembentuk undang-undang. kumparan mewartakan Presiden telah bersurat kepada DPR dan DPR telah menerima surat presiden untuk urusan itu.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana tersurat dari judul RUU (titulus est lex) tersebut, fokus kebijakan ini adalah pemulihan aset (assets recovery) dan berencana akan ditempuh jalan tanpa putusan pengadilan pidana (civil forfeiture) di mana menurut perkataan Boucht (2014) dalam tulisannya berjudul Civil Asset Forfeiture and the Presumption of Innocence Under Article 6(2) ECHR bahwa "a fundamental principle underpinning criminal justice policy is that the perpetrator must not profit from his crime".
Adapun, penulis merujuk RUU Perampasan Aset tahun 2010 antara lain materi muatannya yaitu perampasan aset tidak menyasar kepada tindak pidana khusus semata tetapi menyasar tindak pidana umum dengan ancaman pidana empat tahun atau lebih yang memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi dan keuangan nasional.
ADVERTISEMENT
Kemudian mengakomodir perampasan in rem (non-conviction bases assets forfeiture) tanpa adanya putusan pengadilan pidana; nilai minimal aset hasil atau yang berhubungan dengan tindak pidana adalah Rp 100 juta; masalah mutual legal assistant; serta terkait institusi yang mengelola rampasan aset hasil tindak pidana.
Artikel ini menyoroti beberapa hal yaitu pergeseran konsep perampasan in rem dari in personam, isu perlunya pengaturan elemen kesalahan (mesn rea) terdakwa serta hambatan pemulihan aset (barriers on assets recovery). Berikut uraiannya.

Konsep Perampasan In Rem (Non-conviction Based For Asset Forfeiture)

Arsul Sani (dua dari kiri), Suparji Ahmad (3 dari kiri) dan Muhammad Nasrul Djamil (kanan) dalam diskusi bertajuk "Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset" di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (20/9/2022). Foto: Zamachsyari/kumparan
Pertama, "titik tekan perampasan in rem adalah mengungkap hubungan aset (in rem) dengan tindak pidana, bukan hubungan aset dengan pelaku (in personam)," kata Saputra (2017) dalam tulisannya berjudul Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-conviction Based For Asset Forfeiture) Dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Artinya, pihak-pihak yang berperkara di pengadilan adalah negara sebagai penggugat melawan aset sebagai tergugat disertai pihak ketiga atau yang berkepentingan yang hendak mempertahankan aset.
Lebih jauh, masih menurut Saputra (2017), dinyatakan bahwa "perampasan aset (in rem) bukan bypass dengan maksud menggantikan proses hukum pidana" dan argumentasi ini in line terkait kondisi-kondisi yang dikehendaki dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) RUU Perampasan Aset yakni terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya.
Jadi, penuntut umum sedapat mungkin mengoptimalkan proses hukum pidana untuk merampas aset hasil tindak pidana (dan juga terdakwa) disamping tersedianya perampasan in rem.
Konsep perampasan in rem di atas dianggap sebagai kemajuan yang radikal jika disandingkan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di mana menekankan pembuktian kesalahan terdakwa dan ketentuan Pasal 69 jo.
ADVERTISEMENT
Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di mana perampasan in rem masih menekankan kondisi hanya Terdakwa meninggal dunia dan tanpa pembuktian tindak pidana asal (predicate crimes) berdasarkan penetapan/putusan pengadilan pidana.

Elemen Kesalahan (Mens Rea) dan Pengaturannya

Arsul Sani (dua dari kiri), Suparji Ahmad (3 dari kiri) dan Muhammad Nasrul Djamil (kanan) dalam diskusi bertajuk "Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset" di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (20/9/2022). Foto: Zamachsyari/kumparan
Kedua, mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) bukan isu dalam perampasan in rem. Secara singkat, in rem lawan mens rea. Namun, yang mengemuka adalah isu fair trial dalam konteks hak asasi manusia.
Bagi Boucht (2014), yang meneliti hubungan asas presumption of innocence (POI) sebagai derivatif asas non-self incrimination dengan civil asset forfeiture (CAF) menyatakan orang yang hartanya ditargetkan untuk dirampas pasti bersalah secara pidana, yakni "it is not possible to ‘separate criminals from the proceeds of their criminal activity’ and that this means ‘that persons whose property is targeted for forfeiture are presumed guilty’."
ADVERTISEMENT
Kemudian, Boucht (2014) menyatakan terlepas skema perdata maupun pidana untuk perampasan in rem yang lebih penting adalah "what due protections will be available under the scheme, regardless of whether the procedure embodies a 'criminal charge' or not".
Jadi, RUU Perampasan Aset mesti mempromosikan solusi perlindungan hak terdakwa sebagai the moral of story dari narasi kebijakannya sehingga jangan sampai mencederai harta kekayaan dari aktivitas yang legal oleh Terdakwa termasuk milik pihak yang berkepentingan.
Misalnya, ada pengaturan tentang mens rea dalam RUU Perampasan Aset yang sebenarnya in line dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi perampasan aset. Foto: Shutter Stock
Ketiga, secara umum hambatan pemulihan aset bahwa lack of trust antara institusi domestik bahkan antar negara berupa pertukaran informasi atau membagi data intelijen (keuangan dan perpajakan), mengumpulkan bukti untuk penyidikan, penuntut dan pembuktian di persidangan ditambah kompleksitas sistem hukum, sistem politik dan sistem peradilan antar negara masih menjadi isu.
Menurut Stephenson et. al dalam Barriers to Asset Recovery: An Analysis of the Key Barriers and Recomendations for Action menyatakan bahwa antara lain "a requested jurisdiction should not refuse a request for MLA for due process reasons unless it has precise and strong evidence that the originating jurisdiction has not guaranteed due process to the defendants".
ADVERTISEMENT
Jadi, negara-negara di dunia dapat bekerja sama dan berkomunikasi untuk menciptakan kebijakan agar tidak menolak permohonan mutual legal assistance dari counterpart-nya.
Menurut penulis, argumentasi di atas juga berlaku bagi kondisi Indonesia bahwa masalah integrasi data, membangun mutual trust, dan keterbukaan informasi harta kekayaan yang radikal agar dapat diawasi oleh publik di tengah-tengah kondisi struktrual/lembaga yang bersifat sektoral perlu pengaturan.
Bukan tidak mungkin, meminta data untuk perampasan in rem kepada kementerian/lembaga domestik tak mulus. Sepengetahuan penulis, hanya dibidang perpajakan bahwa otoritas pajak mampu mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang maju pengaturannya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, penulis menduga bahwa perdebatan yang akan menjadi hot issues dalam pembahasan RUU Perampasan Aset adalah masalah tugas, fungsi dan wewenang institusi mana yang akan menanggung amanah kebijakan mengelola aset hasil tindak pidana apakah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan atau Kejaksaan Agung serta mengatur prioritas tindakan.
Setiap kewenangan diikuti pertanggungjawaban, maka logis jika si pengelola aset hasil tindak pidana yang memiliki wewenang untuk itu dilengkapi sanksi hukum baik administratif, perdata hingga pidana jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang dimaksudkan untuk mencegah "lahan basah" atau gap dalam formulasi hingga implementasi kebijakannya kelak.
Sebagai penutup, RUU Perampasan Aset adalah perkembangan sistem hukum pidana dari segi hukum acara pidana sehingga mesti disambut dengan suka cita dan diarahkan perubahannya kepada perlindungan Terdakwa dan masalah pengawasan dan pemberian sanksi hukum bagi si pengelola aset hasil tindak pidana.
ADVERTISEMENT
RUU Perampasan Aset sebagai harapan kita di tengah-tengah perlawanan terhadap kekuasaan dan kekayaan yang semakin terkonsentrasi kepada kaum minoritas. Kesadaran ini mesti dirawat dan dilatih agar timbul kepekaan melalui akal sehat. Caranya disesuaikan dengan peran dan porsi masing-masing orang, antara lain menulis. Semoga bermanfaat.