Konten dari Pengguna

Gus Miftah, Sang Tokoh Agama Bermulut Tak Pantas

Cici Famelya Sari
Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas
5 Desember 2024 12:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cici Famelya Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Nghia .8pm dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/makanan-orang-jalan-bekerja-11514498/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Nghia .8pm dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/makanan-orang-jalan-bekerja-11514498/
ADVERTISEMENT
Perbedaan kelas sosial di Indonesia bukanlah suatu hal yang aneh dan asing. Sistem perbedan kelaas ini dikenal dengan istilah social- stratification (stratifikasi sosial) dalam kajian ilmu Sosiologi. Kata "stratification" berasal stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Sorokin (1959) memberikan batasan social stratification sebagai suatu pembeda penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. sedangkan dasar dan inti lapisan masyarakat itu adalah tidak adanya keseimbangan/ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
ADVERTISEMENT
Stratifikasi sosial tidak hanya terjadi dalam aspek politik dan ekonomi saja, tetapi juga terjadi dalam aspek agama. Masyarakat Indonesia terkadang begitu mengagung-agungkan tokoh agama. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang baik karena menunjukkan rasa hormat kepada tokoh cendekiawan. Namun masrayakat terkadang tidak bisa membedakan mana tokoh yang benar-benar berilmu dan tokoh yang yang hanya menyampaikan omong kosong semata.
Kebanyakan Masyarakat tradisional hanya berpikir jika tokoh tersebut terkenal, memiliki rekam jejak agama, dan pandai membuat maka tokoh tersebut pantas dihormati. Perlakuan ini membuat beberapa tokoh ‘gadungan’ menjadi besar kepala dan memandang rendah orang-orang yang memiliki kelas dibawahnya. Sayangnya, para pemujanya terkadang menganggap ini sebagai hal yang wajar.
Contohnya adalah kejadian yang tengah heboh saat ini, yaitu seorang tokoh agama bernama Gus Miftah yang menghina seorang penjual es teh. Kejadian ini berlangsung di acara agama yang berlokasi di Lapangan Drh Soepardi, Sawitan, Magelang pada hari Rabu 20 November silam. Saat itu sang pedagang berusaha menjajakan es tehnya tetapi belum terlalu laku karena hari yang hujan. Bukannya membantu, tokoh agama seperti Gus Miftah malah mengolok-oloknya dan mengatakan hal yang kasar kepada penjual tersebut. Mirisnya para tokoh agama di sekitar Gus Miftah malah tertawa terbahak bahak.
ADVERTISEMENT
Banyak netizen yang merasa ini bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh seorang yang dipanggil dengan sebutan ‘Gus’ tetapi para pendukungnya tetap membela Gus Miftah dengan mengatakan bahwa ia hanya bercanda dan cara berbicaranya memang seperti itu. Betapa lucunya, menghina orang lain disebut sebagai bercanda dan dianggap wajar. Setelah hal ini viral banyak orang yang bersimpati kepada pedagang tersebut dan memberikan berbagai bantuan. Bukannya sadar, pendukung Gus Miftah malah menyuruh pedagang tersebut bersyukur karna Gus Miftah sudah membantunya mendapat rezeki.
Peristiwa ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas SDM di Indonesia sehingga menormalisasikan dan membela hal yang bertentangan dengan norma yang ada. Masyarakat harusnya bisa berpikir lebih jernih dan berhenti membela orang yang bersalah. Tentu di luar sana masih banyak Gus Miftah lainnya, mari berdoa semoga masyarakat segera terbuka akal pikirannya sehingga tidak lagi mengagung-agungkan para sampah yang berkedok tokoh agama.
ADVERTISEMENT