Konten dari Pengguna

Budaya Pamer dan Hedonisme di Kalangan Mahasiswa

CITRA NESSA ARINALHAQ
Mahasiswa Aktif Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan Journalistic
26 Juni 2024 14:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CITRA NESSA ARINALHAQ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berbelanja. Foto: 89stocker/Shuttersock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berbelanja. Foto: 89stocker/Shuttersock
ADVERTISEMENT
Hedonisme adalah pandangan hidup yang percaya bahwa kebahagiaan tercapai dengan terus mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Saat ini, fenomena ini semakin marak di kalangan mahasiswa, sering kali terlihat dalam bentuk konsumsi barang-barang mewah dan gaya hidup glamor. Artikel ini akan membahas penyebab perilaku hedonis di kalangan mahasiswa, dampaknya, serta solusi untuk mengatasi masalah ini.
ADVERTISEMENT
Hedonisme membuat kesenangan atau kebahagiaan menjadi prioritas utama dalam hidup seseorang. Di kalangan mahasiswa, hal ini sering terlihat melalui pembelian barang-barang mewah, kunjungan ke kafe mahal, dan pemilihan tempat-tempat elite untuk bersosialisasi. Mahasiswa yang terjebak dalam budaya ini cenderung boros, egois, selektif dalam berteman, dan sangat materialistik.
Perilaku hedonis dipicu oleh faktor internal dan eksternal. Dari sisi internal, banyak mahasiswa yang menginginkan kebahagiaan yang mereka ciptakan sendiri. Sering kali, konsep self-reward disalahartikan dan digunakan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak perlu, hanya karena mengikuti tren.
Secara eksternal, latar belakang keluarga dan lingkungan sosial memainkan peran penting. Mahasiswa dari keluarga yang berkecukupan biasanya terbiasa dengan fasilitas mewah sejak kecil, sehingga gaya hidup hedonis menjadi kebiasaan. Lingkungan sosial juga mendorong perilaku ini, karena banyak mahasiswa merasa perlu mengikuti tren untuk diterima dan diakui oleh teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari hedonisme sangat signifikan. Secara psikologis, tekanan untuk selalu tampil sempurna dan memenuhi standar sosial yang tinggi dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Mahasiswa yang tidak mampu mengikuti tren ini mungkin merasa rendah diri dan terisolasi. Secara sosial, budaya ini menciptakan kesenjangan antara mahasiswa yang mampu dan yang tidak mampu, memicu konflik, dan memperburuk kondisi mental.
Sebagai contoh, di banyak kampus terlihat jelas perbedaan antara mahasiswa yang selalu tampil dengan barang-barang mewah dan mereka yang hidup sederhana. Hal ini sering menimbulkan perasaan minder di kalangan mahasiswa yang tidak bisa mengikuti gaya hidup tersebut.
Contoh nyata perilaku hedonis di kalangan mahasiswa adalah kebiasaan menghabiskan uang untuk nongkrong di kafe atau mall mewah. Mahasiswa sering memilih tempat-tempat ini untuk mengerjakan tugas atau bersosialisasi, dibandingkan dengan perpustakaan yang lebih murah dan kondusif untuk belajar. Selain itu, mahasiswi yang rutin berbelanja makeup dan skincare setiap bulan demi tampil menarik dan mendapat perhatian sosial juga mencerminkan perilaku hedonis.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi budaya hedonisme, mahasiswa perlu cermat dalam membatasi diri dan mengatur skala prioritas. Prioritas untuk mendapatkan prestasi akademik jauh lebih penting dibandingkan mencari pengakuan sebagai mahasiswa yang bergaya hidup mewah. Hidup sesuai dengan kemampuan finansial juga akan membuat seseorang lebih bahagia karena tidak ada tekanan untuk membeli sesuatu di luar kemampuan.
Penting juga untuk mencari circle pertemanan yang sehat, yang tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan atau barang yang dimiliki, tetapi dari karakter dan prestasi. Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus bisa berpikir kritis tentang apa yang mereka lakukan dan memilih tren yang baik untuk diikuti.
Hedonisme di kalangan mahasiswa adalah fenomena yang mengkhawatirkan dengan dampak negatif yang luas. Mahasiswa perlu menyadari bahaya dari perilaku ini dan berusaha menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan sehat. Dengan membatasi diri dan mengatur skala prioritas, mahasiswa bisa menghindari tekanan sosial dan fokus pada pengembangan diri yang lebih bermakna. Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus mampu memilih tren yang baik dan berpikir kritis untuk tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
ADVERTISEMENT