Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Misi Diplomasi: Tanpa Kerah
25 Maret 2021 21:05 WIB
Tulisan dari Clemens Triaji Bektikusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diplomat juga manusia. Di balik berbagai misi diplomasi yang diemban, diplomat tetaplah sosok pribadi layaknya insan pada umumnya. Ia tidak kebal terhadap resesi, butuh afeksi, ingin bersosialisasi, memiliki ekspektasi dan ambisi, serta segudang sifat manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
"Tanpa Kerah" akan menjadi pamungkas dari trilogi Misi Diplomasi. Menyusul "Kerah Putih" dan "Kerah Biru" yang telah menyuguhkan seluk-beluk beragam misi diplomasi, artikel ini akan menilik "dapur" pribadi mayoritas diplomat Indonesia.
Tantangan diplomasi tidak hanya berada di ruang-ruang perundingan, atau di keriuhan medan perang. Lebih daripada itu, tantangan diplomasi juga tersembunyi di balik “pintu-pintu rumah” para diplomat.
Manusia Nomad
Para diplomat pada prinsipnya serupa manusia nomad. Tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya, para diplomat memiliki siklus berpindah tiga hingga empat tahun sekali. Pola hidup semacam ini memberikan tantangan tersendiri bagi mereka.
Tahun pertama seorang diplomat di suatu tempat biasanya akan digunakan untuk menyesuaikan diri, baik dengan pekerjaan maupun lingkungan. Pada masa-masa inilah sebenarnya ketangguhan seorang diplomat ditempa. Tempat baru pastinya membawa berbagai tekanan tersendiri; mulai dari mencari rumah atau apartemen, perbedaan kultur, bahasa, hingga belumnya terbentuknya support system di lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Sukses melewati tahun pertama, barulah para diplomat bisa sedikit “bernapas” di tahun kedua. Pada masa-masa ini biasanya para diplomat berada dalam “peak performance”, profesional ataupun personal. Selain telah beradaptasi dengan kota atau negara tempat mereka ditugaskan, para diplomat pun sudah mapan dalam mengusung misi mereka.
Waktu berselang, dan ketika tengah menikmati ranumnya hidup, datanglah kawat mutasi. Perintah tour of duty ini biasanya datang di tahun ketiga atau keempat. Para diplomat pun kembali sibuk melakukan penyesuaian ritme hidup; packing, loading, dan berbagai pernak-pernik bermigrasi lainnya.
Tentu sebagian dari kita pernah merasakan letihnya bermigrasi, baik di dalam maupun luar negeri. Sering kali sulit bagi kita meninggalkan zona nyaman untuk kembali beradaptasi di tempat yang baru; pastinya menjadi beban jiwa dan raga. Nah, bayangkan jika siklus ini menjadi proses rutin dalam hidup kita.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang juga penting diingat, siklus ini tidak hanya memberikan dampak kepada para diplomat, namun juga dependent mereka; isteri, suami, anak, orangtua atau dependent lainnya.
Work Life Balance
Jangan berbaik sangka dulu. Tidak ada istilah work life balance dalam “kamus” para diplomat. Your work is your life, 24 jam sehari, dan tujuh hari seminggu. Misi diplomasi tidak memiliki sisi.
Kebanyakan diplomat sulit untuk memiliki waktu pribadi alias “me time”. Ritme kehidupan pribadi mereka kerap ditangguhkan oleh pekerjaan, terlebih ketika tengah bertugas di luar negeri. Membantu WNI yang mengalami masalah, menghadiri undangan jamuan counterpart yang datang silih berganti, atau mengurus kunjungan delegasi Indonesia, menjadi sebagian kecil dari banyaknya interupsi terhadap kehidupan pribadi para diplomat.
ADVERTISEMENT
Duta-duta bangsa ini juga telah didoktrin bahwasanya mereka merupakan representasi negara; persis seperti ungkapan Louis XIV, “L'État, c'est moi!”. Tentu saja dalam kasta dan interpretasi yang berbeda. Stigma ini tidak dapat ditanggalkan dalam diri diplomat. Singkat kata, mereka harus memperhatikan lisan dan prilaku; cela di keduanya dapat berujung pada insiden diplomatik.
Para diplomat juga tidak mudah dalam menjalin relasi. Bukan berarti mereka sulit bergaul atau bersosialisasi. Sebaliknya, para diplomat sangatlah luwes dalam hal ini. Namun demikian, berbeda dengan orang kebanyakan, para diplomat harus harus berhati-hati dalam pertemanan. Bukan tidak mungkin seorang diplomat menjadi objek penggalangan intelijen negara asing apabila lengah dalam pergaulan.
Kekhawatiran seperti ini sering kali mempengaruhi “kualitas” pertemanan seorang diplomat dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Tapi jangan heran apabila kita melihat para diplomat sering terlihat sangat akrab dan guyub; diplomats are good at masquerading.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di sini, khusus bagi diplomat perempuan Indonesia, mereka harus berpikir dua-tiga kali apabila hendak menambatkan hati kepada lelaki warga negara asing (WNA). Para diplomat perempuan Indonesia yang memutuskan menikah dengan lelaki WNA, harus “menunda” penugasan mereka ke luar negeri hingga proses naturalisasi pasangannya dirampungkan.
Salah satu imbas dari sulitnya mengadopsi konsep work life balance juga tercermin pada tingginya persentase diplomat Indonesia yang masih melajang. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri , dari 1.939 diplomat Indonesia, 458 orang di antaranya, atau sekitar 23%, belum menikah. Tentunya analisis ini dilakukan dengan tetap menghormati mereka yang secara sadar memutuskan untuk tetap berstatus single.
Efek Samping
Tidak berhenti pada diri sang diplomat, tantangan misi diplomasi juga harus dipanggul oleh keluarga dan orang-orang terdekat lainnya. Para pasangan dari diplomat Indonesia; baik istri, suami, atau anggota keluarga lainnya acapkali terimbas “efek samping” kerasnya dunia diplomasi.
ADVERTISEMENT
Banyak pasangan dari diplomat Indonesia dengan pekerjaan dan karier yang menjanjikan. Namun demikian, kebersinambungan pekerjaan dan karier mereka sering kali menjadi pertaruhan tersendiri.
Terdapat kebijakan yang tidak memungkinkan bagi para pendamping diplomat untuk melakukan pekerjaan yang bersifat profit-oriented pada saat ditugaskan di luar negeri. Tidak ada referensi pasti terkait kebijakan ini. Namun konon, hal ini dilakukan mengingat terdapat keistimewaan dan/atau kekebalan diplomatik yang melekat dalam diri tiap-tiap diplomat beserta keluarga intinya. Keistimewaan dan/atau kekebalan diplomatik ini tentunya dapat menimbulkan kompleksitas tersendiri apabila bersinggungan dengan hubungan ketenagakerjaan di negara penugasan.
Keberlanjutan pekerjaan dan karier para pasangan dari diplomat ini kerap menjadi dilema ketika hal tersebut menjadi penyangga utama perekonomian keluarga. Apabila pekerjaan dan karier tersebut tidak dapat dipertahankan, maka tentunya akan berimbas terhadap kesejahteraan keluarga.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya berfungsi sebagai penyangga perekonomian keluarga, pekerjaan dan karier pasangan dari diplomat juga merupakan sarana penting aktualisasi diri. Konsep aktualisasi diri ini menjadi sangat krusial, khususnya untuk menjaga kesehatan mental para pendamping diplomat.
Tantangan ini semakin berlipat bagi para diplomat yang memiliki anak. Pola hidup nomad, dalam mayoritas kasus, dapat memberikan dampak kejiwaan bagi anak-anak. Ada yang positif, namun efek negatifnya pun tidak kalah besar.
Siklus hidup yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, dapat membuat anak-anak diplomat kerap kehilangan konsep kultur dan budaya asal. Fenomena ini disebabkan oleh begitu banyaknya kultur dan budaya yang harus mereka serap serta adaptasi.
Ketika semakin beranjak dewasa, anak-anak diplomat pun harus dihadapkan dengan dinamika pertemanan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Kondisi yang memaksa mereka untuk sering berganti peer group, tentunya dapat berpengaruh terhadap kejiwaan dan persepsi mereka terhadap konsep pertemanan.
ADVERTISEMENT
Semua ini masih ditambah lagi dengan penyesuaian terhadap berbagai sistem pendidikan. Parahnya, tidak jarang anak-anak diplomat harus menghadapi “benturan” sistem pendidikan dari satu negara yang pernah mereka tinggali ke negara lain. Untuk mencerna substansi materi suatu mata pelajaran saja sudah merupakan hal yang tidak mudah. Bayangkan jika kita masih harus dibebani dengan perbedaan sistem dan pendekatan yang menaunginya.
Epilog
Keberhasilan misi diplomasi tidak hanya bergantung pada kemampuan substansi seorang diplomat. Diperlukan juga kedewasaan emosi dalam mengelola tantangan internal yang mereka hadapi dalam keseharian.
Lebih dari itu, keberhasilan misi diplomasi sejatinya berada di pundak support system dari para diplomat. Suami, istri, anak-anak, dan pendukung lainnya menjadi bagian dari diplomat tanpa kerah yang berperan krusial dalam menentukan keberhasilan misi diplomasi.
Dalam banyak kasus, mereka adalah unsung heroes dari keberhasilan misi diplomasi Indonesia. Pertaruhan dan pertarungan yang mereka lakukan pun sering kali lebih epik dari yang dilakukan para diplomat di meja-meja perundingan atau medan perang.[]
ADVERTISEMENT