Apa yang (Tidak) Relevan untuk Menjadi Pemimpin dalam Pemerintahan?

Daniel Chrisendo
European Contributor at Kumparan. Content Writer for Lampu Edison.
Konten dari Pengguna
15 Januari 2020 6:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada tiga pemimpin di Eropa yang menarik perhatian saya selama saya tinggal di benua biru ini; Sadiq Khan, Angela Merkel, dan Elio di Rupo. Bagi yang tidak tahu siapa mereka, Sadiq Khan adalah mayor kota London, Angela Merkel adalah kanselir Jerman, sementara Elio di Rupo adalah bekas perdana menteri Belgia.
Sadiq Khan, Angela Merkel, dan Elio di Rupo. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
Bukan jabatan mereka yang menarik buat saya, tapi latar belakang mereka dan bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sadiq Khan adalah warga Inggris keturunan Pakistan. Layaknya mayoritas orang-orang di Pakistan, ia adalah seorang Muslim. Pada 2016, Khan maju dalam pemilihan mayor kota London dari Partai Buruh. Saingan terberatnya saat itu adalah Zac Goldsmith dari Partai Konservatif.
Mayoritas penduduk kota London beragama Kristen (48,4%) atau tidak beragama (20,7%). Sementara masyarakat Muslim jumlahnya hanya 12,4%. Meskipun begitu, Khan memenangkan pemilihan setelah melalui dua kali putaran dengan total suara 56,8%. Sementara Goldsmith harus mengaku kalah setelah kampanyenya dituduh rasis dan Islamophobia.
Khan menerima banyak penghargaan selama berpolitik. Salah satunya adalah Politician of the Year oleh British’s GQ. Khan yang Muslim menjadi mayor kota London yang mayoritas adalah Nasrani.
Angela Merkel juga punya cerita menarik. Ia merupakan pemimpin partai terbesar di Jerman, yaitu Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU). Di Jerman, pemimpin partai yang mendapatkan suara terbanyak secara otomatis akan menjadi kanselir negara otomotif tersebut sampai pemilihan selanjutnya. Karena CDU terus-terusan memenangkan partai dalam beberapa pemilihan terakhir, Merkel telah menjadi kanselir Jerman selama hampir 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Merkel berkali-kali dinobatkan sebagai perempuan paling berkuasa di dunia menurut majalah Forbes. Ia juga merupakan pemimpin Uni Eropa (UE) secara de facto. Ia menyelamatkan Eropa dari krisis ekonomi dan membuka lebar pintu Jerman terhadap pengungsi dari negara-negara Timur Tengah, terutama Suriah.
Menariknya Merkel besar di Jerman Timur, seorang Protestan, dan yang paling terlihat adalah seorang perempuan. Hal tersebut agak bertentangan dengan CDU yang banyak memiliki pendukung beragama Katolik, lebih kuat di Jerman Barat, dan fakta bahwa Katolik tradisional memiliki preferensi laki-laki sebagai seorang pemimpin. Merkel yang merupakan Protestan, perempuan, dan dari Jerman Timur menjadi perempuan pertama yang memimpin CDU yang konservatif.
Selanjutnya ada Elio di Rupo. Ia adalah warga Belgia keturunan Italia. Orang tuanya datang ke Belgia sebagai imigran dan hidup dalam kemiskinan. Pada 2011, Raja Belgia Albert II menunjuk Di Rupo untuk memimpin formasi dan koalisi pemerintahan yang telah kosong selama 589 hari. Ia-pun menjadi Perdana Menteri Belgia sejak 2011 sampai 2014 karena jejak politiknya, terutama dalam memberantas korupsi di Belgia.
ADVERTISEMENT
Di Rupo adalah seorang homoseksual. Ia adalah satu dari tiga orang pemimpin negara berdaulat kedua yang terbuka akan homoseksualitasnya. Selain Di Rupo ada Perdana Menteri Islandia Jóhanna Sigurðardóttir dan Perdana Menteri Luksemburg Xavier Bettel.
Lalu mengapa Khan, Merkel, dan Di Rupo dapat menjadi pemimpin pemerintahan meskipun mereka punya latar belakang yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan?
Jawabannya mudah, karena kepemimpinan mereka dinilai dari hal-hal yang relevan. Contoh hal-hal yang relevan yang sebaiknya dimiliki oleh pemimpin adalah jujur dan memiliki integritas, mampu menginspirasi, advokator yang baik, dapat mengambil keputusan dengan tepat, transparan, dan lain sebagainya.
Sementara seseorang harus beragama Kristen, berjenis kelamin laki-laki, dan berorientasi heteroseksual bukanlah hal yang relevan dalam kepemimpinan seseorang.
ADVERTISEMENT
Dalam Bahasa Latin ada sebuah terminologi yang disebut dengan “Argumentum Ad Hominem” yang sering disingkat dengan “Ad Hominem”. Secara harafiah, frase ini berarti “argumen yang tertuju pada karakter seseorang”. Ad hominem adalah sebuah strategi untuk menghindari kebenaran suatu klaim atau diskusi dengan cara menyerang sifat atau karakter orang tersebut yang tidak relevan. Ad hominem adalah salah satu contoh kesesatan dalam berlogika.
Contoh argumen yang ad hominem dalam budaya populer adalah: “Whitney Houston itu pemakai narkotika, maka pasti lagu-lagunya tidak bagus.” Padahal kita tahu, bahkan sampai Houston tewas karena penggunaan kokain-pun, ia masih dikenal sebagai diva yang memiliki lagu-lagu hits yang sering ada di tangga lagu teratas dunia. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Houston itu indah. Dan keindahan tersebut tidak jadi berkurang setelah kita tahu bahwa ia memakai narkotika.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh ad hominem lain yang dulu pernah membuat saya geregetan adalah argumen yang dilontarkan untuk Tsamara Amany. Mungkin sebagian dari kita masih ingat ketika Amany pernah menentang Fahri Hamzah pada 2017 yang lalu. Saat itu Amany dan Hamzah saling berdebat mengenai KPK.
Terlepas dari perdebatan yang mereka lakukan, banyak sekali yang menyerang Amany karena umurnya, bukan isi argumennya. Komentar Amany dimentahkan oleh Hamzah dan pendukungnya karena umurnya yang masih muda. Jadi kurang lebih kesimpulannya seperti ini: karena Amany muda maka argumennya salah dan ia tidak bisa berpolitik. Ini ad hominem. Kalau memang argumen Amany salah, maka debatlah argumennya, jangan umurnya.
Pemimpin negara termuda di dunia, Sanna Mirella Marin. Dalam umur 34 tahun menjadi Perdana Menteri Finlandia. Sumber gambar: Wikimedia Commons.
Kalau muda adalah indikator bahwa seseorang tidak bisa berpolitik, maka Sanna Mirella Marin tidak akan bisa jadi pemimpin negara termuda di dunia saat ini. Tapi nyatanya, ia menjadi Perdana Menteri Finlandia di umurnya yang hanya 34 tahun.
ADVERTISEMENT
Sudah selayaknya kita, masyarakat Indonesia, menilai sesuatu berdasarkan hal-hal yang relevan. Tidak perlu lagi kita menilai seseorang dari agama, orientasi seksual, jenis kelamin, suku, ras, dan lain sebagainya ketika mencari pemimpin dalam pemerintahan. Selama ia bisa memimpin, ia pantas untuk jadi pemimpin.
Saya mau berbicara tentang hal yang lain. Tapi pasti jadi heboh. Jadi saya akhiri sampai di sini.