Berperang Sendirian Melawan Rusia

Daniel Chrisendo
European Contributor at Kumparan. Content Writer for Lampu Edison.
Konten dari Pengguna
27 Februari 2022 14:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah empat bulan lamanya tinggal di Finlandia, saya jadi paham bagaimana repotnya jadi tetangga Rusia. Sama seperti Ukraina, Finlandia juga berbatasan langsung dengan Rusia. Perbatasan darat antara kedua negara tersebut membentang sepanjang 1340 km atau lebih panjang dari Pulau Jawa (1064 km).
Senate Square di Helsinki (Foto: Daniel Chrisendo)
Di suatu sore di bulan November tahun lalu, saya bersama dengan beberapa kolega pergi minum kopi di sebuah kafe. Sebagaian besar dari mereka adalah warga Finlandia. Entah bagaimana awalnya, sampailah kami membicarakan masalah wajib militer. Sampai sekarang, negara yang beribu kota di Helsinki tersebut masih menerapkan wajib militer bagi warga laki-laki yang berumur lebih dari 18 tahun. Lamanya mengabdi adalah 165 hari, 255 hari, atau 347 hari tergantung tugas yang diemban. Jika tidak bisa atau tidak mau melakukan wajib militer, maka seseorang dapat melakukan pelayanan sipil. Kalau masih mencoba kabur padahal tidak sakit, maka siap-siap saja untuk mendekam di penjara selama 173 hari.
ADVERTISEMENT
Menariknya, sekitar 80 persen masyarakat laki-laki Finlandia berumur di bawah 30 tahun telah melakukan wajib militer. Sementara hanya sebagian kecil yang melakukan pelayanan sipil seperti di rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, dan lain sebagainya.
Hal tersebut berbeda dengan pengalaman saya ketika hidup di Jerman dulu. Hingga 2011, warga laki-laki Jerman masih harus melakukan wajib militer atau pelayanan sipil. Seingat saya, tidak ada satu pun teman saya warga Jerman yang menjadi tentara. Mereka semua memilih untuk melakukan pelayanan sipil. Mengingat Jerman adalah tokoh antagonis utama dalam Perang Dunia II, tidak heran mengapa banyak anak muda Jerman yang tidak mau berpartisipasi dalam militer. Kesan yang melekat pada militer adalah neo-Nazi atau kelompok sayap kanan. Pada akhir 2011, pemerintah Jerman pun menghapuskan wajib militer.
ADVERTISEMENT
Dalam acara minum kopi tersebut, semua kolega saya yang berasal dari Finlandia mengenang masa-masa seru mereka ketika bergabung dalam militer. Mereka tertawa dan berlomba-lomba menceritakan kisah mereka.
Saya yang baru pindah dari Jerman dengan naifnya bertanya “Kok bangga sih gabung di militer? Memangnya masih relevant ya belajar-belajar perang?”
Salah satu kolega saya menjawab, “Well, kalau kita hidup di sebelah Rusia, pasti relevant.”
Saya yang saat itu masih ignorant tentang hubungan Rusia dan negara-negara tetangganya tidak bisa membalas argumen tersebut. Tapi setelah bolak-balik mengunjungi beberapa museum di Helsinki, saya pun paham mengapa anak muda Finlandia sangat bangga untuk bergabung di militer.
Banyak yang tidak tahu bahwa Finlandia juga terlibat dalam Perang Dunia II. Menariknya bukan Jerman yang menjadi musuh mereka, melainkan Uni Soviet (sekarang Rusia). Saat itu, Uni Soviet yang merasa terancam dengan tentara Jerman meminta Finlandia dan negara Baltik Estonia, Latvia, dan Lithuania untuk memberikan sedikit tanah mereka agar dijadikan basis militer Rusia. Basis militer tersebut dibangun untuk mempertahankan Leningrad (sekarang kota Saint Petersburg). Estonia, Latvia, dan Lithuania yang merupakan negara kecil merasa tidak punya kuasa untuk menolak permintaan tersebut dan dengan terpaksa mengabulkannya. Hanya Finlandia yang tidak mau memberikan tanahnya. Uni Soviet pun mendeklarasikan perang terhadap Finlandia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Finlandia saat itu tidak terlalu khawatir karena berpikir bahwa tentara-tentara Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Swedia akan datang dan membantu mereka melawan Uni Soviet. Namun karena negara-negara barat tersebut saat itu sedang melawan Nazi Jerman bersama-sama dengan Uni Soviet, maka bantuan yang diharapkan tidak kunjung datang. Mereka tidak ingin punya masalah dengan Uni Soviet yang saat itu sedang mengembangkan bom atom. Alhasil, Finlandia harus melawan Uni Soviet yang raksasa sendirian dengan sedikit bantuan dari Nazi yang oportunistik mencari dukungan.
Suomenlinna, benteng laut di Helsinki yang pernah digunakan sebagai pertahanan dari invasi Rusia. Foto: Daniel Chrisendo.
Ketika Perang Dunia II berakhir, ternyata Estonia, Latvia, dan Lithuania tidak lagi jadi negara merdeka, melainkan menjadi bagian dari Uni Soviet. Tiga negara Baltik tersebut mendapatkan kembali kemerdekaannya hanya pada 1991 ketika Uni Soviet bubar. Belakangan dokumen milik tentara Uni Soviet bocor dan ketahuan jika Uni Soviet juga ingin menginvasi Finlandia dengan atau tanpa perang.
ADVERTISEMENT
Meskipun kalah dalam perang, warga Finlandia berhasil mempertahankan kedaulatan negara mereka. Mereka juga berhasil membuat Uni Soviet rugi besar dan membuat kemenangan negara tersebut tidak setimpal dengan apa yang mereka korbankan. Cerita tentang negara kecil Finlandia yang saat ini hanya berpenduduk lima juta jiwa dan pernah berhasil melawan Uni Soviet membuat warga Finlandia menjadi patriotik dan mau mengabdi pada negara mereka.
Bukan berarti Finlandia menjadi besar kepala dan berani mengambil tindakan yang dapat membuat Rusia marah. Finlandia sangat berhati-hati dalam berpolitik. Apalagi sekarang Rusia memiliki senjata nuklir. Meskipun negara demokrasi, mereka kadang berkompromi untuk menyenangkan hati Rusia. Bahkan dalam bahasa Inggris dikenal kata Finlandization yang mendapatkan referensi dari hubungan antara Rusia dan Finlandia tersebut. Finlandization artinya proses di mana sebuah negara mendukung atau menahan diri untuk tidak menentang kepentingan negara yang lebih kuat meskipun tidak bersekutu secara politik.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut sering dikritik oleh negara-negara demokrasi lainnya. Namun, Finlandia telah belajar dari sejarah. Jika mereka membuat Rusia marah dan akhirnya harus berperang, ternyata tidak ada negara sekutu yang membantu mereka. Ujung-ujungnya, Finlandia harus mempertahankan negaranya sendirian.
Saya rasa sama kisahnya dengan Ukraina sekarang. Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat telah memberikan sanksi macam-macam ke Rusia dan memberikan bantuan senjata ke Ukraina. Tapi di medan perang, Ukraina tetap sendirian.