Habitat Semakin Rusak, Beberapa Hewan Terpaksa Mencuri Makanan dari Perkebunan

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2020 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, berinteraksi dengan hewan adalah hal yang menyenangkan. Namun, perkembangan kota yang pesat sebagai respons pertumbuhan populasi manusia memiliki dampak buruk bagi satwa liar. Hewan yang bahkan hidup di habitat tertutup semakin ditemukan hidup berdampingan dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Respons awal hewan yang habitatnya habis digunduli bisa menjadi kejengkelan dan kemarahan sebagai tekanan untuk bertahan hidup. Akibatnya, konflik manusia dan fauna liar tidak dapat dihindarkan. Mengutip dari BBC Earth, beberapa kasus hewan di bawah ini mengingatkan manusia untuk selalu bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam, agar keseimbangan ekosistem selalu terjaga.

Simpanse berjari hijau

Seekor Simpanse. Foto: mtanenbaum from Pixabay
Simpanse di sebuah tempat di Guinea, ditemukan menanam kebun kakao sendiri yang berbatasan langsung dengan permukiman manusia. Simpanse memakan daging buah kakao dan mengeluarkan bijinya atau menelannya utuh, kemudian dikeluarkan dalam bentuk tinja.
Bibit kakao terus didistribusikan penyebarannya di seluruh area jangkauan simpanse. Namun terkadang, petani melakukan intervensi untuk menghentikan vegetasi lain yang tumbuh di lingkungannya. Akibatnya, petani mengumpulkan dan menjual buah kakao simpanse.
ADVERTISEMENT
Spesies Pan troglodytes dikenal lihai dalam menghadapi masalah. Dalam kasus ini, kecerdasan primata ditemukan dapat beradaptasi dengan perubahan yang belum pernah terjadi di habitat liar. Tetapi, para ilmuwan masih memiliki keterbatasan tentang pengetahuan seberapa fleksibel hewan dalam menghadapi gangguan semacam itu.
Simpanse yang kehilangan makanan utamanya di alam liar cenderung terpaksa mencuri hasil panen dari penduduk. Bahkan, simpanse jantan ditemukan rela berbagi pepaya jarahan dengan betina. Ketika berburu mencari makan dalam koloni, jantan dewasa memimpin atau tetap di belakang kelompok, sedangkan betina dan anak-anak tetap aman dalam perjalanan.
Dr. Kimberley Hockings, dari Oxford Brookes University, berpendapat, kegiatan perlindungan justru tidak hanya dilakukan pada habitat asli. Simpanse atau hewan lain yang hidup dekat dengan permukiman manusia, dinilai lebih rawan, sehingga upaya konservasi juga diperlukan pada wilayah ini. Tak disangkal, inisiasi tersebut bertujuan untuk melestarikan populasi liar yang tersisa.
ADVERTISEMENT

Gajah melakukan pencurian malam hari

Gajah dan Anak Gajah. Foto: NeilMorell from Pixabay
Gajah telah terbukti menerapkan strategi perampasan tanaman dan pada saat yang sama menghindari potensi risiko yang ditimbulkan oleh manusia. Gajah mampu aktif selama 24 jam, tetapi lebih memilih mencuri tanaman pada malam hari. Bahkan, makhluk raksasa ini menunjukkan perilaku yang bervariasi tergantung siklus bulan dan seberapa gelapnya malam.
Dr. Jody Gunn, dari Komisi Alam Liar dan Taman dari Australia bagian utara, mengamati sekelompok gajah di Taman Nasional Mikumi, Tanzania. Gajah ternyata lebih sering merampok makanan selama bulan purnama. Para ilmuwan menduga ini sebagai bentuk perilaku penghindaran risiko dari aktivitas manusia. Cahaya bulan dapat membantu gajah dalam mendeteksi kehadiran manusia dan ancaman lainnya.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan dari penemuan tersebut adalah gajah ternyata mampu mengembangkan perilaku sesuai dengan kondisi yang terjadi. Saat cahaya bulan yang terang, memungkinkan gajah menggunakan indra visual sebagai pendukung indra pendengaran dan penciuman dalam aksi penjarahan.

Jalan serigala

Seekor Serigala. Foto: Wilda3 from Pixabay
Di negeri Skandinavia, serigala (Canis lupus lupus) terbukti memiliki respons “ambivalen” terhadap habitat mereka. Ambivalen mengacu pada perasaan atau kondisi bertentangan dalam waktu yang bersamaan. Dalam kasus ini, serigala tetap menggunakan jalan buatan manusia. Di sisi lain, makhluk karnivora itu juga menghindari jalanan yang lebih besar dan dekat pemukiman.
Dalam satu penelitian, serigala melintasi jalan yang tidak alami tersebut dengan berjalan lebih cepat, hampir dua kali lipat kecepatan biasanya, terutama saat berkembang biak. Serigala lebih memilih jalan kerikil yang lebih kecil daripada jalan utama untuk berjalan dan istirahat. Selain itu, malam hari adalah waktu favoritnya untuk menjelajah.
ADVERTISEMENT
Penulis Barbara Zimmermann, dari Hedmark University College, Norwegia, mengatakan kemampuan adaptasi serigala mungkin telah membantu populasi pulih di daerah perkotaan. Namun, penggunaan jalan raya saat ini dapat mengancam kelangsungan hidup di masa depan. Selain itu, akses jalan dapat memfasilitasi perburuan serigala.
Menanggapi masalah tersebut, para ilmuwan menganjurkan langkah-langkah untuk mengurangi akses manusia ke wilayah serigala atau hewan lainnya. Ancaman terhadap pelestarian satwa liar, seperti hilangnya sumber makanan alami, dan perburuan liar, tidak boleh diabaikan.