Mimpi Buruk Anak-anak Korban Penculikan ISIS

10 Mei 2017 16:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ahmed Ameen Koro korban penculikan ISIS. (Foto: AP)
Akram Rasho Khalaf selalu bermimpi buruk didatangi ISIS. Tidurnya tidak nyenyak, mulai sering mengompol, padahal usianya sudah 10 tahun. Tabiat bocah Yazidi ini juga berubah kasar dan agresif.
ADVERTISEMENT
Perilaku yang sama juga terlihat pada adik-adik Akram, yaitu Raiid, 8, dan Jumana, 5.
"Terkadang mereka sangat agresif dan memukuli anak-anak lain atau anak-anak kami. Mereka tidak seperti anak-anak normal lainnya. Kesehatan mental mereka sangat buruk," kata Hasar Haji Hasan, paman Akram.
Akram baru berusia 7 tahun saat ISIS menyerbu Khidir Sheikh Sipa, kota tempatnya tinggal di Irak, pada 23 Agustus 2014. Dia ditembaki, pecahan peluru menancap di perut dan tangannya. Akram ditangkap, dipisahkan dari ibu dan ayahnya.
"Saat saya tidur, saya melihat Daesh [ISIS] dalam mimpi dan mereka mengatakan, 'ayo'. Saya ketakutan dan terjaga, setelah itu tidak bisa tidur lagi," ujar Akram ketika ditemui Associated Press.
ADVERTISEMENT
Korban penculikan ISIS Akram Rasho Khalaf. (Foto: AP)
Akram sempat dikirim ke Raqqa, markas besar ISIS di Suriah. Di tempat itu, kata dia, militan ISIS menimpuk kepala anak-anak dengan bola. Jika anak itu menangis, maka mereka dipukuli. Yang tidak menangis, dipuji sebagai anak yang kuat dan suatu hari bisa jadi pengebom bunuh diri.
"Mereka mengaku kawan kami, tapi anak-anak ketakutan setengah mati," kata Akram yang kini tinggal di kamp pengungsi Kabarto, bersama paman, dua adik dan kerabatnya.
"Mereka mengatakan kepada kami, 'Ketika kalian besar, kalian akan meledakkan diri, insya Allah.' Lalu mereka bertanya kepada kami, 'siapa dari kalian yang ingin masuk surga?' Dan anak-anak tidak tahu harus berkata apa," lanjut Akram.
Di tempat itu, mereka dilatih berperang. Seperti melompati barikade ban yang terbakar dan melintasi halang rintang. Akram tidak cukup kuat untuk angkat senapan Kalashnikov, sehingga tidak dilatih senjata dan hanya jadi pelayan.
ADVERTISEMENT
Korban penculikan ISIS Akram Rasho Khalaf. (Foto: AP)
Hal yang sama dialami oleh anak korban penculikan ISIS lainnya, Ahmed Ameen Koro, 17. Seperti Akram, Ahmed sampai sampai saat ini masih mengalami mimpi buruk, kendati telah lepas dari cengkeraman ISIS.
"Bahkan di sini saya masih ketakutan. Saya tidak bisa tidur nyenyak karena melihat mereka dalam mimpi," kata Ahmed, yang kini tinggal di Kamp Esyan, utara Irak, bersama ibu, adik dan kakaknya - anggota keluarganya yang tersisa.
Ahmed baru berusia 14 tahun saat militan menyerbu desa Sinjar di Irak pada musim panas 2014. Warga desa Ahmed mayoritas Yazidi, suku minoritas yang memiliki keyakinan yang menggabungkan agama Islam, Kristen, Zoroaster dan Yudaisme. Bagi ISIS, mereka adalah musuh besar.
ADVERTISEMENT
Keluarga Ahmed berusaha kabur. Ayahnya membawa kerabat mereka yang lain dengan mobil ke desa terdekat untuk menyelamatkan diri. Sementara Ahmed dan adiknya serta empat sepupunya berjalan kaki, sembari menunggu dijemput ayahnya.
Tapi ayahnya tidak pernah datang, dia ditangkap ISIS. Sejak saat itu, ayahnya tidak pernah terlihat. Ahmed ditangkap di persimpangan jalan dan dibawa ke kota Tal Afar. Dari situ, dia dipindahkan ke penjara Badoush di Mosul dan disekap selama 15 hari.
Korban penculikan ISIS Ahmed Ameen Koro. (Foto: AP)
Kemudian dia diajari soal Islam, tentu saja dengan pemahaman radikal yang dianut ISIS. Bersama dengan sekitar 200 anak Yazidi lainnya, Ahmed selama dua bulan dilatih berperang dan dicuci otaknya.
ISIS mengajari mereka cara menembakkan senjata. Mereka juga dipaksa menonton cara meledakkan diri dengan rompi bom, melempar granat atau memenggal kepala tahanan.
ADVERTISEMENT
"Mereka mengatakan kepada kami untuk berperang melawan orang-orang kafir. Kami harus meledakkan diri dan membunuh mereka semua," kata dia.
***
Akram dibebaskan ISIS setelah dua tahun. Dia bebas setelah keluarganya meminjam uang sebesar 10.500 dolar AS dari komunitas Yazidi di Jerman untuk diberikan kepada ISIS.
Setelah uang dibayarkan, Akram diantarkan ke pos pemeriksaan tentara Kurdi peshmerga. Dia berkumpul kembali bersama keluarganya pada 29 November lalu - dua tahun tiga bulan setelah diculik.
Ahmed Ameen Koro di kamp pengungsian. (Foto: AP)
Sementara Ahmed, kabur sembilan bulan setelah diculik, tepatanya pada 4 Mei 2015. Ahmed bersama adiknya, Amin, dan sepupunya berhasil menyelinap kabur dari kamp latihan Tal Afar. Sepupunya tertangkap, tapi Ahmed dan adiknya bersembunyi di masjid hingga malam hari, lalu lari saat kondisi aman.
ADVERTISEMENT
Mereka terus berjalan kaki selama sembilan hari, menempuh jarak sekitar 90 km, hingga mencapai pegunungan Sinjar. Kondisi mereka sangat lemah ketika ditemukan tentara peshmerga, dehidrasi parah.
Baik Ahmed dan Akram kini tengah menjalani bimbingan kejiwaan untuk mengatasi trauma yang mereka alami. Namun tidak bisa dipungkiri, kekerasan yang mereka alami akan tetap menghantui seumur hidup.
Ditanya apa cita-citanya jika besar nanti, Ahmed menjawab lantang: "memerangi ISIS."